Didin Hafidhuddin: Penyaluran Zakat itu Harus Bermartabat

Potensi uang zakat di Indonesia bisa mencapai 20 trilyun lebih. Sebuah angka yang cukup berdaya untuk pengentasan kemiskinan. Sayangnya, potensi ini terus terabaikan. Problem apa yang menjadikan potensi trilyunan ini lenyap begitu saja?

Berikut ini wawancara Eramuslim dengan Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional, Prof. DR. Didin Hafidhuddin di kantornya, jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat.

Bagaimana target perolehan zakat Baznas tahun ini?

Target idealisme kita adalah agar masyarakat mau mempercayai badan atau lembaga amil zakat. Sosialisasi kita selalu mengatakan bahwa sejak zaman Rasul selalu pembayaran zakat melalui amil, bukan secara langsung.

Karena itu satu-satunya ibadah yang disebut dalam Alquran mempunyai petugas pelaksana adalah zakat yaitu di surah At-Taubah 60 dan 103.

Ini yang kita sosialisasikan. Soal dipercaya atau tidak, itu urusan lain. Karena semua lembaga amil zakat yang ada di Indonesia itu setelah UU No. 38 tahun 99 sudah semakin profesional. Bahkan, tiap tahun mereka diaudit oleh akuntan publik.

Untuk target angka Baznas sendiri, memang tidak besar perolehannya. Untuk tahun 2008 ini, sampai agustus baru 6 milyar. Kalau target kita sih maunya 40 milyar. Wallahu a’lam, bisa atau tidak. Tahun lalu dapat 14 milyar. Tetapi secara keseluruhan, termasuk amil zakat di luar Baznas, di tahun 2006 mencapai 300 milyar. Di tahun 2007, 900 milyar. Kita berharap, di tahun 2008 ini bisa lebih dari satu trilyun. Sehingga, bisa kelihatan apa yang bisa dilakukan.

Tugas Baznas sendiri sebetulnya tidak hanya melulu pada aspek penghimpunan. Karena di antara tugas Baznas juga sosialisasi secara menyeluruh dan melakukan koordinasi dengan yang lain.

Gimana dengan kalkulasi potensi dari beberapa LSM yang memprediksi perolehan zakat bisa mencapai 20 trilyun?

Memang betul. Andaikan dari 180 juta umat Islam, 10 persennya membayar zakat. Dan per orang membayar misalkan 125 ribu rupiah, itu sudah 30 trilyun. Sebenarnya menghitung potensi itu sangat mudah. Masalahnya, bagaimana aktualisasi potensi.

Dalam hal ini, Baznas punya 4 program untuk mengaktualisasikan potensi ini. Pertama, sosialisasi yang terus menerus kepada masyarakat. Kedua, penguasaan kelembagaan. Di lembaga amil memang harus kuat, harus profesional, amanah. Ya, full time. Jangan ada lembaga amil yang sambilan, munculnya di tanggal 20 Ramadhan kemudian hilang setelah 1 Syawal. Sebetulnya, yang begitu bukan amil zakat.

Ketiga, penyaluran. Pendayagunaan yang lebih tepat sasaran dan sesuai syariah. Dan yang keempat, sinergi atau ta’awun antara satu lembaga dengan lembaga yang lain.

Dari keempat upaya inilah yang insya Allah bisa mengaktualisasikan potensi tadi. Tidak jalan sendiri-sendiri.

Kendala apa yang masih menghambat target potensi sampai saat ini?

Banyak kendalanya. Terutama adalah regulasi. UU nomor 38 itu memang bagus, kita syukuri lah. Tapi, UU itu tidak berbunyi apa-apa. Sanksi untuk muzaki tidak ada, kemudian struktur organisasi. Di situ tidak disebutkan Baznas sebagai apa, koordinatorkah, pengawaskah? Sama sekali tidak disebutkan. Juga tidak ada keharusan bahwa masyarakat harus berzakat ke Baznas.

Yang kedua, SDM. SDM yang mengerti zakat dan manajemen itu masih kurang. Dan dua kompetensi itu tidak boleh dipisahkan. Kendala ketiga adalah jaringan informasi. Misalkan, jangan sampai mustahik di Jakarta Barat jadi mustahik lagi di Jakarta Selatan. Sebenarnya ini bukan pekerjaan Baznas, tapi pemerintah.

Kemudian kita juga nggak punya data kemiskinan. Di mana sih kantong-kantong kemiskinan? Kok tiap pembagian BLT, orang miskin selalu banyak terus. Dalam soal ini, kita pernah ngecek langsung, ternyata di antara yang mengaku miskin ternyata rumahnya bagus.

Selain itu, ada kendala pemahaman masyarakat.

Seperti apa amandemen UU zakat yang diingikan?

Soal sanksi misalnya, bisa saja orang yang tidak bayar zakat tidak akan dilayani pemerintah. Misalnya, dalam mengurus KTP. Harus ada nomor pokok wajib zakat dulu, misalnya.

Yang kedua, struktur amil zakat itu harus jelas. Ada koordinasi dan sebagainya. Dan ketiga, zakat mestinya sudah bisa menjadi pengurang pajak. Selama ini, semua belum jelas.

Ada tanggapan dari beberapa kalangan bahwa RUU Amandemen zakat itu seperti ada upaya sentralisasi penghimpunan zakat dan menihilkan peran amil yang lain. Gimana?

Ya, itu harus kita atur. Saya kira tidak perlu khawatir. Kita uji aja sekarang. Mana yang baik dan mana yang kurang baik. Karena ini kan baru rancangan. Prinsip saya, yang penting ada koordinasi.

Kalau sentralisasi jadi masalah, kenapa harus kita lakukan. Tapi, kalau tidak sentralisasi, jangan sampai tidak terarah. Sekarang kan jadi nggak teratur. Masjid bikin lembaga amil zakat, BUMN juga bikin amil zakat sendiri.

Selama ini, bagaimana koordinasi dengan lembaga amil zakat lain?

Sekarang ini kita sedang mengusahakan itu. Pernah kita lakukan itu di Aceh. Harus ada koordinasi. Sehingga program zakat tidak jalan masing-masing. Tapi, juga tidak jalan. Di Yogja juga seperti itu, tidak jalan.

Jadi, amandemen RUU zakat itu jangan hanya dilihat dari sentralisasinya. Bisa nggak kita melakukan koordinasi antara satu lembaga dengan lembaga yang lain.

Di televisi ada yang luar biasa iklannya, sementara yang lain tidak. Nah, inilah hal-hal yang perlu untuk diselesaikan.

Bagaimana dengan penyaluran yang dilakukan Baznas?

Baznas melakukan penyalurannya dengan dua sistem. Pertama, program yang kita buat sendiri. Program ini berdasarkan data yang kita cari. Di sini ada lima program: Indonesia takwa, Indonesia cerdas, Indonesia makmur, Indonesia sehat, dan Indonesia peduli. Indonesia cerdas misalnya, dengan memberikan beasiswa.

Kedua, bisa juga ajuan dari masyarakat. Masyarakat mengajukan proposal. Kemudian kita teliti, dan seterusnya. Tapi, yang jelas semuanya sejalan dengan mustahik itu. Selama itu sesuai dengan kriteria mustahik, insya Allah akan kita salurkan.

Kira-kira, apa sih masalah mendasar di negeri ini dalam soal kemiskinan. Sepertinya kemiskinan menjadi hal biasa, dan mungkin membudaya seperti orang yang berpura-pura jadi pengemis?

Penyebab kemiskinan itu ada tiga. Pertama kultural, karena perilaku, karena watak. Orang menjadi miskin karena malas atau mengandalkan menjadi peminta-minta. Ini bahaya. Karena itu, perlu ada perbaikan-perbaikan perilaku.

Dan dalam menyalurkan zakat ke mereka, harus ada upaya perbaikan perilaku. Jangan sampai mustahik menerima zakat untuk dibelikan rokok. Selain itu, amil harus mendampingi mereka dalam pengelolaan modal yang produktif. Supaya tidak habis saat itu juga.

Kedua, kemiskinan karena struktural. Hal itu karena pemerintah tidak berpihak. Kebijakan-kebijakan tidak bersahabat dengan rakyat kecil. Misalnya dalam soal harga bawang. Sebelum panen, harganya 10 ribu. Sesudah panen, menjadi 5 ribu. Nah, para petani menjadi tidak terlindungi. Dan itu membuat mereka menjadi miskin.

Ketiga karena alam. Tapi, menurut saya yang penting di dua itu. Karena itu, zakat harus dijadikan yang sifatnya produktif. Tidak lagi konsumtif. Karena itu tidak akan menyelesaikan masalah.

Contohnya seperti apa?

Misalnya amil zakat itu memberikan modal usaha, dan melakukan pendampingan terhadap usaha yang sedang dirintis mustahik itu. Kedua, amil zakat yang membuat usaha. Sementara, para mustahik bekerja di perusahaan itu. Dan upaya seperti itu harus dipaksakan.

Karena itu, kita memaksakan diri untuk membuat rumah sakit gratis, sekolah unggulan gratis. Itu semua dalam rangka zakat bisa lebih berdaya.

Terakhir, kasus Pasuruan bukan yang pertama, jadi ini terus berulang. Ada himbauan agar kasus serupa tidak terjadi lagi?

Saya sudah sampaikan kepada Presiden bahwa kasus ini harus yang terakhir. Jangan sampai terjadi lagi. Karena itu, para muzaki kita himbau agar menyalurkan zakatnya lewat lembaga.

Kalau mau langsung juga silakan. Tapi, harus disertai lembaga amil itu, dimenej dengan baik. Dan juga harus disalurkan secara bermartabat. Kalau mau langsung, kita yang mendatangi mereka. Jangan dikumpulkan. Kalau seperti itu kan, kayaknya kita senang dengan melihat penderitaan orang-orang yang lemah itu. Ada yang kehausan, kehabisan oksigen, dan sebagainya. (mn)

Biodata narasumber:
Nama: Prof. DR. Didin Hafidhuddin, MSc
Alamat: Bogor, samping kampus Ibnu Khaldun
Tempat/Tgl Lahir: Bogor, 21 Oktober 1951
Keluarga: 1 isteri dan 5 anak
Pendidikan terakhir: S3 UIN
Jabatan: Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional