Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, MA, MPhil: Sejarah Islam Perlu Dipaparkan dengan Jujur

Umat Islam kini menanti hadirnya kembali peradaban Islam sebagaimana yang pernah terjadi pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidah sampai masa khilafah Usmaniyah. Dengan kelebihannya dan kekurangan pada saat itu, peradaban Islam berjaya selama kurang lebih 10 abad dari rentang19 pemerintahan Islam.

Tapi semenjak imperalisme Barat menggerus kaum muslim, peradaban Islam seolah sirna dan tanpa jejak. Barat yang sejatinya dibesarkan dan dipengaruhi oleh peradaban Islam juga menafikan semua itu. Implikasinya umat Islam menjadi terjajah dari berbagai aspek kehidupan.

Adakah yang keliru dari umat Islam dalam merekontruksi sejarahnya? Direktur Institute for The Study Islamic Thought and Civilization (INSIST) Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, MA, MPhil kepada eramuslim menuturkan problem umat Islam saat ini. Hamid adalah doktor bidang peradaban Islam dari Internasional Islamic University, Malaysia dan pengasuh pondok modern Darussalam Gontor, Jawa Timur. Berikut petikannya:

Bicara soal peradaban Islam dan Barat saat ini sebagian orang kemudian merujuk ke peradaban Barat. Bagaimana Anda melihat hal itu?

Kelihatannya begini. Ketika peradaban Barat menjadi unggul itu kemudian sangat menarik bagi sebagian umat Islam. Umat Islam kemudian melihat Barat sebagai peradaban yang ideal. Dan orang Barat sendiri memasukkan konsep-konsep Barat ke dalam orang Islam, yang biasa kita sebut dengan imperalisme. Sehingga orang Islam dengan (kejayaan) masa lalunya, peradaban Islam yang telah dibangun dan terus dilanjutkan.

Kata peradaban sendiri sekarang ini telah berubah maknanya, dan diganti dengan civilization. Orang Islam sendiri lebih senang dengan istilah civil society daripada masyarakat madani. Atau orang Islam menyamakan antara civil society dengan masyarakat madani. Padahal keduanya itu berbeda secara konseptual. Itulah karena orang Islam tidak menghargai atau lupa dengan membangun peradaban Islam lagi.

Kita harus merujuk khazanah Islam di masa lalu bagaimana mereka bisa membuat sebuah peradaban yang tangguh dan bisa mempengaruhi peradaban lain. Ini yang harus menjadi pelajaran orang Islam sekarang. Dan sejarah ini perlu diungkap kembali, karena sejarah itu ditutup-tutupi oleh Barat agar umat Islam tidak ingat bahwa mereka pernah berjaya dan memberikan sumbangan peradaban Islam terhadap peradaban Barat, sehingga Barat menjadi peradaban yang tangguh seperti saat ini.

Yang paling jelas ketika mereka dalam kegelapan dan menjadi abad pencerahan karena mereka bersentuhan dengan peradaban Islam. Ini yang perlu diungkap kembali oleh umat Islam.

Bagaimana umat Islam bisa mengingat kembali dan mengembalikan masa kejayaan itu?

Nah, ini yang perlu menjadi kajian peradaban Barat. Karena kalau orang mengkaji sejarah sains peradaban Barat, saintis atau ilmuan Muslim tidak disebutkan di situ.

Jadi sengaja ada pengaburan oleh Barat?

Iya. Sengaja ada pengkaburan. Ibnu Sathir itu seorang astronom yang kualitasnya tidak kalah dengan Galilie Galileo dan Copernicus. Tapi mereka ini tidak pernah diungkap dalam teks-teks buku sekolah atau kuliah bahwa mereka ini berhutang kepada Ibnu Sathir. Ini ditutupi seolah Barat maju dengan sendirinya. Ini artinya mereka menyembunyikan fakta ini. Ketika mereka menyebut sains Barat tidak pernah menyebut sains Muslim. Ini berbeda dengan sejarah Islam. Ketika kita belajar sains Islam, kita juga menyebut sains Barat.

Kenapa mereka bersikap seperti itu? Soal teologis ideologis atau karena soal apa?
Itu karena prejudice.

Maksudnya?
Begini, mereka itu tidak ingin umat Islam kembali kepada masa kejayaannya. Sebab, kalau kaum muslimin jaya lagi maka Barat hancur. Begitu logikanya. Jadi menurut mereka umat Islam jangan sampai jaya lagi. Makanya dalam buku When Religion Be Come Will karya Charles Chimbell itu mengatakan, agama yang mengingingkan sebagai sebuah peradaban itu jahat.

Sudah menjadi prasyarat kemajuan peradaban adalah nilai-nilai spiritual. Tapi ini dinegasikan oleh Barat. Dan kenyataannya mereka kini unggul. Menurut Anda bagaimana?
Begini. Unggulnya Barat dengan Islam itu berbeda. Unggulnya Islam itu ditambah dengan berkah dan rahmat. Berbeda dengan Barat yang kering dari nilai-nilai ruhani seperti kondisi dunia saat ini.

Sebagai judgment atau klaim tentang keorisinilan peradaban Barat, mereka menyatakan peradaban Barat berasal dari Yunani. Atau melalui proses Helenisme. Betulkah demikian?
Mereka tidak bisa menafikan bahwa tanpa orang Islam mereka tidak mengenal budaya Yunani. Ini satu yang ditutup-tutupi. Fakta bahwa mereka menerjemahkan dari bahasa Arab itu ditutupi. Mereka mengklaim ada terjemahan dari Yunani ke Latin. Itu ada, tapi tidak sebanyak terjemahan dari bahasa Yunani ke Arab, karena saat itu bahasa Yunani sudah dialihbahasakan ke bahasa Syiriac.

Para orientalis membuat sebuah teori bahwa peradaban Barat banyak dipengaruhi oleh Yunani. Yunani sendiri itu Barat, karena berada di Barat. Orang Barat ingin menunjukkan kehebatan mereka. Menurut mereka Islam adalah bagian dari peradaban Barat karena prose Helenisme itu.

Padahal, Islam itu peradaban yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis yang kemudian menjelma jadi ilmu dan diambil oleh Barat. Seperti trasisi ilmu hadis itu tidak kaitannya dengan helenisme. Dia punya tradisi sendiri. Orang Barat ingin mengkait-kaitkan itu. Misalnya, mereka mengklaim filsafat dari Yunani, ilmu Kalam dari Yunani, Fiqh dari Yunani. Ini mereka mengangagap superioritas.

Begitu juga ketika orang India kalau menyusun sejarah akan menyebut Barat dari peradaban India. Karena itu seharusnya ketika orang Islam menyusun sejarahnya harus menyatakan, sumber peradaban Persia, India, Mesir dan Barat dari Islam. Ini karena kemajuan Barat dihasilkan oleh peradaban Islam. Tapi, orang Barat tidak mengakui itu.

Apakah ketika para ilmuan Muslim menerjemahkan karya-karya pemikir Yunani ke dalam bahasa arab juga terjadi Islamisasi?
Itu bisa saja terjadi. Misalnya soal astronomi. Astronomi oleh ilmuan Muslim tidak sekadar melihat bidang-bidang, tapi terkait dengan ilmu Falak. Lalu sains teknologi dalam Islam digunakan untuk kemakmuran, bukan untuk eksploitasi besar-besaran seperti yang terjadi di Barat. Kemajuan peradaban Barat yang sekular itu tidak bisa menghasilkan kemakmuran dunia, tapi melahirkan ketimpangan. Teknologi timpang, ekonomi timpang, pendidikan mereka menjadikan orang-orang tidak bermoral. Berbeda dengan Islam. Kita mengembangkan teknologi untuk kemakmuran masyarakat. Bertahun-tahun itu orang Spanyol menikamti kemajuan perabadan Islam.

Demikian pula di India, Mesir dan Persia. Di Spanyol itu ada Islam dan Kristen berdampingan ketika Islam berkuasa di sana. Tidak peperangan di sana atas nama agama di sana. Tapi sekarang lihat. di dalam Kristen sendiri terjadi peperangan. Apalagi Kristen dengan Islam sampai terjadi perang Salib. Itulah bedanya peradaban yang merahmati dengan peradaban yang memberi petaka.

Mereka menyatakan ilmu itu netral alias bebas nilai. Tapi kenapa mereka takut dengan kemajun ilmu-ilmu Islam. Apakah ketakutan itu karena khilafah?
Begini, peradaban itu bermula dari kekuasaan. Itu yang mereka takutkan. Orang Islam dapat membangun peradaban kalau punya kekuasaan. Asumsi itu bisa betul. Karena kalau pemerintahan politik tidak stabil dan ekonomi dihancurkan, maka ilmu itu tidak jalan. Kalau mau jalan, politik harus dikuatkan, ekonomi dikuatkan, maka ilmu pengetahuan mesti berkembang. Tapi, orang Barat tidak mau.

Melihat fakta di atas artinya perlu pelurusan sejarah?
Kita perlu meluruskan sejarah. Itu lebih obyektif dan faktual dibanding apa yang ditutup-tutupi orang Barat.

Langkahnya seperti apa? Pasalnya banyak buku sejarah Islam dan lainnya sudah mereka tulis dengan versi mereka.

Yang paling real adalah menyusun sejarah peradaban Islam yang di dalamnya kajian fakta-fakta kemajuan Islam dimasukkan. Selain itu, buku sejarah Barat mestinya juga ditulis oleh orang Islam.

Belum ada yang melakukan hal itu?
Belum ada. Yang sudah menulis itu Prof. Ackparsalan, tapi bukunya belum diterbitkan. Dia membuat dan melacak sejarah Barat itu sejatinya dari mana, dan ia membuatnya dengan framework Islam.

Ribuan perguruan tingggi Islam belum ada yang menempuh langkah itu? Sebut saja misalnya Al-Azhar tidak ada kepentingan untuk itu?
Bukan tidak ada kepentingan, tapi tidak ada ilmu untuk itu. Dan ilmu butuh kesadaran dan ilmu tersendiri. Selain itu, saintis Muslim yang komitmen dengan Islamic science itu jarang. Ini karena dari sisi frameworknya terpengaruh oleh orientalis. Susahnya perkembangan sains Islam di situ.

Di tengah harapan agar peradaban Islam hadir kembali ke puncak, di sisi lain Islamic Studies di kampus-kampus seperti UIN, IAIN, STAIN dan semacamnya justru mengalami penurunan peminat. Fakultas keIslaman tak layak jual lagi. Ini bagaimana?
Ini pengaruh dari sistem pendidikan yang sekularistik dan dualistik itu. Pendidikan hanya dilihat sebagai pencapaian kemakmuran material. Makanya, kajian agama yang dianggap tidak ada dampak materialnya ditinggalkan. Mestinya orang yang belajar di universitas Islam, mau belajar sosiologi, politik, teknologi, komputer, dan sebagainya harus juga belajar Islam dengan framework Islam. Ini harus dicermati, bahwa kajian ilmu pengetahuan sekuler itu lebih dominan.

Karena itu harus ada rekontruksi fakultas. Kaitannya dengan pengembangan peradaban Islam, maka harus dimulai dari konsep ilmu dan agama. Kita perlu mengkombinasikan ilmu-ilmu tradisional Islam dengan ilmu-ilmu modern. Siapapun yang belajar ilmu modern harus belajar ilmu-ilmu tradisional secara mendasar, dan tidak harus seperti ulama. Orang yang belajar fisika harus eblajar ilmu Kalam, orang yang belajar ekonomi, harus belajar Syari’ah. Orang yang belajar hukum harus menguasai hukum-hukum syari’ah. Yang terjadi saat ini sarjana hukum UIN, Gajah Mada, dan di universitas Muhammadiyah itu sama saja.

Bukankah saat ini beberapa UIN atau IAIN ingin melakukan integrasi keilmuan?

Integrasi yang ditempuh mereka itu mendekatkan atau memasukkan konsep-konsep dan ilmu-ilmu asing sebagai metodologi memahami Islam. Kemudian produk yang muncul tentu tidak kompatibel dengan Islam. Kalau pendekatannya salah, maka hasilnya juga salah.

Sebagaimana diketahui, banyak tuduhan yang menyebutkan UIN/IAIN sebagai sarang pemikiran Barat. Kenapa INSIST misalnya tidak mendekati untuk meluruskan mereka?
Mereka itu komunitas yang besar. Lalu mereka juga ada semacam self confidence, karena merasa punya otoritas. Misalnya, kasus di UIN Bandung yang ada mahasiswa mengatakan, ” anjinghu akbar.” Dekannya mengatakan, yang mengeritik itu siapa. Kami S3 dan tahu masalahnya. Forum Umat Islam (FUI) itu siapa. Jadi mereka ada arogansi. Kalau INSIST melakukan hal itu, kasunya seperti FUI.

Mereka tidak begitu saja menerima kritik dan masukan kita. Yang kita kerjakan saat ini adalah menawarkan kepada perguruan tinggi yang bisa diajak kerjasama sehingga jelas apa yang kita hasilkan. Apa yang dilakukan UIN/IAIN sendiri tidak jelas. Masalah lain, mereka mendukung sekularisme, kita menentang. (dina)