Pahitnya Hidup di Jakarta

foto: M. Zakir Salmun

foto: M. Zakir Salmun

Kalau kita naik kereta api dari Jawa menuju Jakarta yang mampir di Stasiun Senen, maka kita akan menemui pemandangan yang kontras. Di sisi rel kita akan melihat deretan rumah berwarna-warni dari terpal plastik ukuran 1×2 M.

foto: M. Zakir Salmun

Di sanalah keluarga Bu Tuti tinggal bersama 3 orang anaknya, Vini 8 tahun, Sabrina 4 tahun dan si bungsu Saskia 2 tahun. Bu Tuti, 27 tahun, kini hidup tanpa pendamping, karena suaminya sudah dua tahun ini tidak ada kabar beritanya. Menurut Tuti, suaminya bekerja di Kalimantan. "Saya harus menghidupi ketiga anak saya dengan memulung plastik bekas minuman kemasan dengan penghasilan sehari 15 ribu", begitu keluh ibu tiga anak ini menceritakan susahnya hidup. Kadang mereka berhutang untuk sekedar makan.

foto: M. Zakir Salmun

Belum lagi untuk biaya sekolah Vini, 8 tahun, anak pertamanya yang sudah kelas 2 SD. Begitu miris dan kontrasnya kehidupan di Jakarta. Ada orang yang mendadak kaya setelah jadi anggota dewan, sampai garasinya tidak muat untuk parkir mobilnya.

foto: M. Zakir Salmun

Sementara di sisi rel kehidupan begitu miris, untuk mandinya saja airnya terbatas dan tanpa sabun dan sampo. Wahai para pejabat dan penguasa negeri ini dimana kepedulian mu? Bukan hanya itu,  anak-anak  yang tinggal di bantaran rel kereta, setiap saat dapat tersambar kereta. (M. Zakir Salmun)