Adzan dan Shubuh Berjamaah di Negeri Sekuler

Sebuah paradoks yang mengharukan kalau kita melihat kehidupan sehari-hari masyarakat muslim Turki. Akibat gerakan sekulerisme yang sistimatis dengan didukung kekuatan yahudi international, meski masih berstatus muslim, namun implementasi ajaran Islam sehari-hari sangat jauh dari mencukupi.

Di jalan-jalan umum kota Istanbul, meski di sana-sini nampak menara masjid peninggalan khilafah Utsmaniyah, namun pemandangan yang kita lihat memang jauh dari akhlak Islam.

Para wanita dan pria nampak bebas berjalan berduaan layaknya pemandangan di negeri non Islam. Muda mudi di tempat publik merasa bebas untuk berjalan sambil berangkulan, bahkan tidak jarang mereka saling berciuman. Tidak sedikit pun terdapat kesan merasa canggung dilihat orang. Justru kita sebagai tamu yang merasa risih kelakuan mereka.

Tempat-tempat hiburan malam nyaris tersebar di setiap jalan, menyediakan minuman keras dan wanita-wanita penghibur. Bahkan bioskop yang memutar film-film Turki cukup banyak jumlahnya, siap merusak moral generasi bangsa ini.

Foto tokoh sekuler Turki, Mustafa Kemal tetap masih terpampang di mana-mana, meski jumlahnya sudah agak berkurang dibandingkan dengan 12 tahun yang lalu, saat penulis pertama kali mengunjungi negeriini. Masih dipajangnya gambar sang dewa sekuler menunjukkan bahwa sekulerisme masih menjadi mainstream, meski tercatat beberapa perkembangan yang menggembirakan akhir-akhir ini.

Meski sekarang ini sudah muai ada angin pencerahan dan gerakan kembai ke-pada Islam, namun sampaikepemimpinan PM Mesut Yilmaz yang mulai berkuasa akhir Juni 1997, kebijakan anti-Islam yang diterapkannya masih cukup banyak, dan selalu mengundang protes berbagai kalangan. Misalnya berupa:

1. Memecat Gubernur, Walikota dan birokrat lainnya yang dinilai pro-Islam.
2. Memperketat pembangunan Masjid.
3. Memberikan sanksi keras kepada wanita pekerja dan pelajar putri yang berjilbab.
4. Melarang laki-laki Turki memelihara jenggot.

Mencari Masjid

Kami diinapkan oleh panitia penyeleggara Al-Quds International Forum di Grand Star, sebuah hotel di bilangan Taksim, tepat di jantug kota Istanbul. Rupanya daerah ini memang termasuk daerah wisata dan turisme. Beberepa deret hotel berjejer di kanan kiri hotel tempat kami menginap.

Satu hal yang menarik adalah saat kami berupaya mencari masjid untuk melakukan kebiasaan shalat shubuh berjamaah. Setelah mencari ke sana kemari, akhirnya kami menemukan satu masjid kuno peninggalan zaman khilafah Utsmani.

Alhamdulillah, kami bersyukur akhirnya dapat mendengar kembali suara bacaan ayat Quran yang dilantunkan oleh Imam masjid. Suaranya enak dan mantab, hafalannya sangat baik.

Sayangnya, meski bacaan Qurannya sangat fasih dan suaranya sangat ‘garing’, beliau tidak bisa berbahasa Arab apalagi Inggris. Akhirnya komunikasi kami kembali menggunakan bahasa primata, alias bahasa Tarzan, hanya kode dan isyarat.

Kami dari Indonesia dan Malaysia yang ikut menjadi makmum di belakangnya sepakat untuk mengagumi kemampuan sang imam. Namun yang disayangkan lagi, ternyata kami baru sadar bahwa jamaah shubuh ini hanya sekitar 2 shaf, dan ternayta semuanya rombongan kami dari Indonesia dan Malaysia. Jadi yang orang asli Istanbul hanya 3 orang saja, si Imam, petugas masjid dan seorang pemuda. Kami tidak bisa membayangkan kalau di hari-hari lain.

Satu catatan lagi, masjdi ini dikunci rapat di luar jam-jam shalat, termasuk ketika kami tiba waktu adzan shubuh tadi, kami harus antri menunggu di depan pintu sampai petugas datang membukakannya. Dan selesai shalat, kami sempat berfoto bersama dengan imam dan petugas masjid, namun saat keluar gedung masjid, imam pun langsung mengunci pintu gedung dan begitu keluar pagar halaman, petugas masjid pun langsung menggemboknya. Jadilah masjid itu terkunci di luar waktu shalat di awal waktu.

Namun pengalaman kami shalat shubuh di masjid ini sangat berharga. Bagaimana sebuah peradaban Islam terbesar dan terkuat di masa lalu, nyaris hanya hanya menyisihkan beberapa orang yang masih setiap shalat shubuh berjamaah di masjid. Selebihnya, entah pada ke mana 20 juta penduduk Istanbul ini. Mereka adalah anak keturunan bangsa muslim terkuat di dunia yang mampu menaklukkan Eropa.

Mungkin mereka shalat di rumah karena udzur syar’i, lantaran suhu mencapai 14 derajat celsius. Cukup sejuk memang untuk keluar rumah dan ke masjid di waktu shubuh. Semoga Allah SWT mengembalikan kesadaran beragama rakyat Turki dan mengembalikan izzah umat seperti kakek moyang mereka dahulu.