Agenda Selamatkan Indonesia (Bag.2)

Bendera-bendera partai politik sudah berkibaran di sana-sini, tanpa mengindahkan etika dan keindahan lingkungan. Para tokoh parpol sudah mengeluarkan jurus-jurus andalannya untuk menarik perhatian khlalayak. Ada yang lewat survey pesanan, ada pula yang mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial yang sayangnya terkesan tidak cerdas seperti batasan usia capres dan juga syarat pendidikan formal capres yang harus tinggi dan ironisnya harus dari perguruan tinggi luar negeri.

Padahal seorang pemimpin yang benar sama sekali tidak ada korelasinya dengan itu semua. Seorang pemimpin boleh berusia muda boleh berusia tua, boleh bergelar doctor luar negeri, boleh pula hanya jebolan sekolah lanjutan tingkat atas dari wilayah tertinggal. Bangsa yang tengah meluncur ke jurang kebinasaan ini sama sekali tidak membutuhkan dagelan-dagelan konyol seperti itu semua.

Seharusnya para tokoh-tokoh parpol bisa lebih arif, bisa lebih cerdas, dan lebih matang dalam melakukan pembangunan karakter bangsanya, dan tidak menunjukkan kebodohannya sendiri. Sosok Bung Karno—dengan segala kelebihan dan juga kekurangannya—patut dijadikan contoh dalam hal Character and Nation Building. Sejak awal, perjuangan bangsa ini adalah berusaha melepaskan diri, memerdekakan dirinya, dari cengkeraman Exploitation de L’homme par L’homme, eksploitasi manusia atas manusia lainnya, yang secara kasat mata beratus tahun lamanya telah dan masih dilakukan negara-negara utara terhadap negara-negara selatan.

Nusantara dengan segala kekayaannya sejak zaman penjelajahan Spanyol dan Portugis, zaman VOC, zaman Nippon, zaman “kemerdekaan”, zaman Orde Baru Jenderal Suharto, hingga zaman yang (katanya) era reformasi ini secara terus-menerus dijadikan bancakan negeri-negeri utara, para imperialis, guna memperkaya negaranya sendiri dan secara otomatis membuat negeri ini sekarat.

Bangsa ini rindu pada sosok pemimpin yang punya nyali besar, keberanian dan harga diri, tatkala berhadapan dengan kekuatan Imperialis dunia seperti Amerika serikat. Pernyataan tegas dari seorang Soekarno, “Go to hell with your aid!” sangat relevan dengan kondisi bangsa ini sekarang. Bangsa ini memerlukan sosok pemimpin yang berani bertindak benar dalam membela keadilan dan melawan kezaliman. Itu saja. Terserah apakah dia itu harus berusia muda atau tua, harus sarjana atau bukan, harus berbadan tinggi besar atau kurus kerempeng, harus berkumis atau klimis, semua itu bukan hakikat.

Parahnya sekarang ini belum terlihat adanya seorang calon pemimpin yang memenuhi kriteria tersebut. Yang dari parpol warisan Orde Baru tentu tidak ada, termasuk mantan-mantan pejabatnya, apakah dia sipil atau militer, dengan parpol baru atau tiga parpol warisan Jenderal Suharto.

Yang mengaku parpol baru dan dengan orang-orang yang baru tampil setelah Jenderal Suharto lengser pun belum ada yang terlihat memenuhi kriteria tersebut. Yang mengusung-usung nama Islam pun sekarang ini terkesan malu dengan Islam-nya dan mulai bergenit-genit ria dengan mulai teracuni virus pluralisme dan terjangkiti penyakit wahn alias cinta dunia berlebihan dan takuuut mati.

Bukan memperkenalkan Islam secara kaffah dan syumuliyah, mereka malah mencari-cari format politik dan strategi di luar agama tauhid ini dengan membuka diri bersahabat dengan para munafikin bahkan dengan kekuatan kafir sekali pun demi meraih kursi kekuasaan. Bahkan mereka rela menggelar panggung dangdutan dan bukan pengajian demi alasan pluralitas. Ribuan alasan memang bisa disodorkan, namun sistem jahiliyah seperti sekarang ini—meminjam perkataannya Ustadz Abubakar Ba’syir, sebagai sistem yang berasal dari “Sunnah Yahudi”—memang nyaris mustahil untuk melakukan dakwah secara benar dan lurus.

Pengalaman Masyumi bisa dijadikan ibrah. Tatkala sistem jahiliyah sudah terlalu perkasa, penguasa sudah terlalu kuat kejahilannya, dan umat belum terbina dengan baik, maka mereka menarik diri dari tataran politik praktis memperebutkan kekuasaan, dan kembali bergerak dalam lahan dakwah di tingkat umat yang sesungguhnya. Kemewahan jabatan dan kedudukan politis sama sekali tidak menyilaukan tokoh-tokoh Masyumi hingga mereka menghadap Rabb-nya. Perilaku inilah yang sekarang ini tidak terlihat dari tokoh-tokoh umat.

Dan kondisinya bisa terlihat seperti sekarang ini, di tengah simbol-simbol Islam yang sangat marak, jilbab sudah menjadi hal yang biasa, masjid-masjid baru bermunculan—bahkan yang berkubah emas sekali pun—kejahatan korupsi, suap, dan segalanya malah tumbuh dengan amat suburnya. Ada sesuatu yang salah dengan dakwah Islam sekarang ini.

Dalam tulisan bagian tiga akan dipaparkan perjalanan pemiskinan dan pembodohan bangsa ini sehingga—mudah-mudahan—bisa membuka kesadaran kita semua bahwa ada agenda besar bagi bangsa ini dalam berjuang memerdekakan dirinya, dan tidak terperosok serta tertipu oleh pernyataan-pernyataan para tokoh parpol yang berupaya hanya mencari sensasi demi meraih suara sebanyak-banyaknya dalam Pemilu 2009. (bersambung/rd)