Berkaca Pada Politik Islam di Turki (2)

Turki merupakan sebuah negeri yang unik karena letak wilayahnya berada di dua benua yakni Asia dan Eropa, atau istilahnya negara Eurasia. Laut Marmara yang merupakan bagian dari Turki digunakan secara internasional sebagai patokan batas wilayah Benua Eropa dengan Asia, sebab itu Turki juga disebut sebagai Negara Transkontinental. Secara ideologis, negara ini juga menjadi pembatas antara negara-negara Kristen Eropa (The Christendom) di sebelah utaranya dengan negara-negara Arab di sebelah selatan. Sebab itu, ketika Perang Salib pecah di akhir abad ke-11 Masehi, wilayah Turki menjadi jalur utama perlintasan tentara Salib dari Eropa menuju ke Yerusalem. Pun ketika Tentara Salib kalah dan pulang dari Yerusalem ke Eropa pada tahun 1187, lagi-lagi wilayah Turki dipakai sebagai tempat perlintasan.

Ankara merupakan ibukota Turki Modern (Turki Sekuler), namun kota terbesar dan paling bersejarah adalah Istanbul. Negeri ini juga merupakan saksi hidup dari catatan sejarah dan peradaban dunia yang besar, seperti halnya Kekaisaran Byzantium dan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah.

Saat ini Turki berbentuk Repulik yang menjaga prinsip-prinsip sekularisme dengan militer sebagai garda terdepannya. Hal tersebut merupakan ‘buah karya’ dari konspirasi Yahudi Internasional yang menyusupkan seorang agennya bernama Mustafa Kamal, seorang Yahudi Dumamah dari Tsalonika, yang menghancurkan kekhalifahan Turki Utmaniyah secara total pada tahun 1924. Sejak itu Islam dengan segala atributnya menjadi baang haram di Turki Modern. Adzan pun dilakukan dengan bahasa Turki. Kenyataan ini merupakan kontradiksi yang sangat ironis, bagaimana bisa sebuah kekhalifahan Islam yang besar, yang mewarsi sebagian besar daerah Imperium Byzantium dan wilayahnya menjulur dari Eropa hingga ke Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kepulauan Maluku  (Jazirah Al-Muluk).

                                                         

Turki Utsmaniyah

Kekaisaran Byzantium melemah di abad ke-13 Masehi. Sejumlah kabilah melepaskan diri dari kekuasaannya. Salah satu kabilah yang melepaskan diri berada di daerah Eskisehir, utara Turki sekarang. Kabilah ini dipimpin oleh Ertugul dan diteruskan oleh anaknya bernama Osman I yang pada tahun 1299 mendirikan Kesultanan Utsmaniyah.

Osman I seorang yang sangat pemberani dan menerapkan politik kombinasi antara jihad-dakwah sehingga mampu membebaskan wilayah-wilayah di sekitarnya dan meneranginya dengan cahaya Islam. Sebab itu Osman I memiliki nama panggilan "kara" yang dalam bahasa Turki sebutan untuk hitam disebabkan keperkasaannya. Sosok pendiri Kekhalifahan Turki Utsmaniyah ini sangat dihormati rakyat Turki hingga sekarang, sehingga di negeri ini ada sebuah “kalimat doa” yang berbunyi, “Semoga dia sebaik Osman.” Dan di beberapa kalangan tarekat yang banyak terdapat di Turki, terdapat mitos yang berasal dari sebuah cerita lama dari abad pertengahan yang mengisahkan jika Osman pernah bermimpi menjadi seorang pembebas bagi Turki yang membebaskan berbagai wilayah yang menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Turki Utsmaniyah saat itu. Cerita ini dikenal sebagai “Mimpi Osman”.

Sepeninggal Osman I, pembebasan demi pembebasan wilayah sekitarnya menjadikan Turki Utsmaniyah kian berjaya. Dalam usia 21, Mehmed II melakukan pembaharuan dengan merombakan struktur kesultanan dan juga angkatan perangnya. Di zaman Mehmed II inilah, Kota Konstantinopel dibebaskan dan diganti namanya menjadi Islambul, atau dalam lidah Eropa, Istanbul. Ini terjadi pada 29 Mei 1453.

Di masa The Great Suleyman atau Sulaiman yang Agung, 1520-1560, Beograd dibebaskan (1521) dan sejumlah wilayah di sekitarnya juga ikut. Di tahun 1529, pasukan Turki Utsmaniyah telah berada di gerbang kota Wina. Namun disebabkan musim dingin yang hebat jatuh lebih awal, maka pasukan ini mundur. Di sebelah Timur, Bagdad berhasil dibebaskan dari kekuasaan Persia sehingga mendapatkan hak kontrol atas Mesopotamia dan Teluk Persia. Di masa ini, armada laut Turki Utsmaniyah sangat kuat dan disegani.

Roda sejarah selalu berputar, ada saat pasang ada ula saat surut. Demikianlah sunnah kehidupan. Cahaya Islam yang sudah berada di gerbang depan Eropa membuat Vatikan dan sejumlah kerajaan Salib cemas. Dendam kesumat atas kekalahan mereka dalam Perang Salib di Yerusalem beberapa abad lalu belumlah sirna dari ingatan. Sebab itu, dengan sekuat tenaga, mereka menyatukan barisan untuk menghadang cahaya Islam yang dibawa oleh Turki Utsmani dan juga berusaha keras menghancurkannya.

Gerakan penghancuran terhadap kekhalifahan ini dimulai dari para ahlul-zimmah, orang-orang Kristen dan juga Yahudi, yang berada di wilayah Turki. Mereka mendapatkan keistimewaan di zaman kekuasaan Sulayman II. Namun menjelang tahun 1520, mereka ini menuntut untuk mendapatkan persamaan hak dengan kaum Muslimin. Hak ini mereka manfaatkan untuk melindungi tokoh-tokoh asing yang tengah menggalang kekuatan anti kekhalifahan.

Dalam bekerja mereka menggunakan dua strategi: mendatangkan sekutu mereka dari luar dan menggalang kerjasama dengan tokoh-tokoh Islam lokal yang bisa “menukar akidah Islamnya dengan kenikmatan duniawi”. Akhirnya, Sultan terdesak untuk meneken perjanjian dengan Bizantium (1521), Perancis (1535), dan Inggris (1580). Semua ini mengakibatkan kekuatan kaum kafir bertambah. Jumlah mereka bertambah dari hari ke hari.  

Salah satu proyek mereka adalah mendirikan pusat-pusat kajian ketimuran yang pada akhirnya meracuni pemikiran-pemikiran Islam generasi muda Turki dengan model Islam yang berpihak ke Barat. Di Indonesia, gerakan ini sama persis dengan gerakan Islam liberal. (bersambung/rd)