Catatan Muhibah dari Turki: Belajar dari Sosok Bahadir Bargin (3)

Saat tiba kembali di hotel jarum jam telah menunjukkan pukul 8. 30 malam. Udara kian terasa menusuk tulang. Setelah membersihkan badan, Kami langsung beristirahat di pembaringan. Sambil tidur-tiduran, otak Kami memutar kembali memori sebuah pengalaman yang sungguh-sungguh luar biasa yang terjadi hari ini. Sebuah perjalanan mengelilingi kota bersejarah Istanbul yang benar-benar sukar untuk dilupakan begitu saja. Kami telah mengunjungi dua makam sahabat Nabi SAW, yakni Vehb bin Hiiseye (Wahab bin Husay) dan Amru bin Ash r. A., dan tempat-tempat bersejarah lainnya.

Lalu muncul memori tentang seorang Bahadir Bargin. Pemuda Turki berusia 24 tahun yang sungguh-sungguh istimewa. Kami benar-benar terharu dan kagum, sekaligus malu, dengan segala keikhlasan, keimanan, kejujuran, dan segala hal yang dimilikinya. Ya, Allah, jagalah pemuda tersebut agar senantiasa berada dalam lindungan dan kasih sayang-Mu…

Doa, betapa pentingnya doa bagi seorang Bahadir Bargin. Sehingga dia menolak segala pemberian dari Kami, menolak ajakan Kami untuk berbuka puasa di restoran dan memilih berbuka dengan hanya tiga teguk air tawar sembari berkata, “Saudaraku, saya sungguh-sungguh tidak ingin merepotkan Anda sekalian. Terima kasih saya haturkan. Namun biarlah nanti saya makan sekembalinya saya di rumah, setelah mengantarkan kalian semua ke hotel dengan selamat. ”

Apa yang dia katakan sungguh-sungguh dia lakukan. Ini cerminan dari keimanan dan ketauhidan yang benar dan lurus. Kami sungguh ingin sekali belajar hal tersebut darinya.

Selain ruhiyahnya yang begitu bersih, fisik seorang Bahadir di mata Kami juga amat istimewa. Dalam perjalanan pulang, Kami sudah kelelahan. Langkah Kami sudah tidak teratur. Kami berjalan sudah menyeret kaki dengan gontai. Benar-benar lelah. Namun Bahadir ternyata tidak sedikit pun terlihat letih. Pemuda itu masih gagah berjalan seperti pagi hari ketika Kami memulai perjalanan ini. Gaya berjalannya tidak berubah, mantap dan cepat bagai orang yang tengah berjalan di jalanan yang menurun. Kami lagi-lagi tersenyum.

Di dalam bus ketika pulang menuju hotel, Kami membayar ongkos semua anggota Kami termasuk ongkosnya Bargin. Sesuatu yang bagi Kami sangat biasa dan sama sekali tidak pernah Kami ingat. Namun tidak demikian bagi pemuda tersebut.

“Saudaraku, ” ujarnya. “Kalian telah berbaik hati membayarkan ongkos bus saya. Namun sekali lagi, saya sungguh-sungguh tidak ingin merepotkan kalian. Kalian adalah tamu saya yang seharusnya saya jamu, namun maafkan segala keterbatasan saya. Besok pagi, saya akan mengembalikan ongkos bus yang telah kalian bayarkan. Saya berhutang pada kalian. ”

Mata Kami kembali berkaca-kaca. Kami menyaksikan dengan mata kepala Kami sendiri bahwa Bahadir memang tidak memiliki uang. Dia sempat membuka dompetnya mengorek-orek isinya, namun tidak ada yang didapatkannya. Namun walau demikian, dia sungguh-sungguh seorang tuan rumah yang amat baik bagi Kami semua.

Mendengar Bahadir ingin mengembalikan uang ongkos bus yang tidak seberapa, Kami menolaknya, “Jangan saudaraku, kami ikhlas dan itu sesuatu yang sangat biasa bagi Kami. Itu bukan hutang. ”

Namun Bahadir menggeleng pelan sembari tetap tersenyum. “Seharusnya saya yang membayar ongkos bus kalian semua. ”

Esok paginya, saat Subuh berjamaah di masjid yang sama, Kami bertemu lagi dengan Bahadir Bargin. Kami sungguh telah melupakan soal ongkos bus kemarin, tapi tidak demikian bagi seorang Bahadir Bargin. Saat bertemu, dengan wajah gembira dia mengembalikan sejumlah uang receh kepada Kami seraya mengucapkan terima kasih. Kami yang sedikit banyak telah mengetahui tentang pemuda tersebut mau tak mau menerima “pembayaran utang” darinya. Padahal, seharusnyalah Kami yang harus merogoh kocek untuk membayar jasa-jasanya mau menjadi pemandu perjalanan Kami di Istanbul. Kami lagi-lagi geleng-geleng kepala. Ya Allah, ternyata masih ada hamba-Mu yang teramat shalih di dunia ini… terima kasih ya Allah, Engkau telah mempertemukan Kami dengan seorang hamba-Mu yang shalih sehingga Kami bisa belajar banyak darinya…

*

Perjalanan Kami di Turki selama lebih kurang sepekan telah banyak menorehkan catatan yang begitu berharga. Dalam tulisan berikutnya, Kami akan memaparkan tentang kegigihan umat Islam—termasuk para Muslimah Turki—yang tetap mempertahankan agama Allah SWT, berdiri berhadap-hadapan, dengan kekuatan sekuler yang ingin mencerabut Islam dari negeri Muslim ini. Juga tentang kiprah Partai Islam di Turki yang mungkin saja berguna bagi pembelajaran berpolitik Islam, bagi politisi-politisi Islam, seperti di Indonesia ini. Mudah-mudahan semua ini ada manfaatnya, semata-mata demi syiar Islam dan tegaknya Kalimatullah di dunia ini. Amien.(M/bersambung)