Gagalnya Proses Perdamaian dan Dosa Mahmoud Abbas pada Palestina

Dalam pidatonya di Ramallah pada Kamis (5/11), Abbas akhirnya mengakui bahwa proses perdamaian dengan Israel gagal total dan rakyat Palestina harus mencari alternatif lain untuk menghadapi penjajahan rejim Zionis. Ia menyatakan, Israel-lah yang menjadi "biang kerok" gagalnya proses politik itu. "Selama ini otoritas Palestina telah menunaikan semua komitmen dan kewajibannya tapi Israel malah terus merampas tanah Palestina dan membangun pemukiman-pemukiman Yahudi di atasnya," kata Abbas.

Ia juga mengkritik sikap AS yang selalu toleran dengan berbagai alasan yang diajukan Israel, khususnya dalam masalah perluasan pemukiman Yahudi.

Abbas menyampaikan pernyataan itu setelah sehari sebelumnya, juru runding Palestina Saab Erekat menilai bahwa sudah saatnya pimpinan otoritas Palestina Mahmoud Abbas berkata jujur pada rakyat Palestina bahwa proses perdamaian dengan Israel gagal. Erekat juga meminta Abbas untuk membatalkan komitmennya soal solusi dua negara dalam penyelesaian konflik dengan Israel karena rejim Zionis itu terbukti tidak serius dengan ide tersebut dan tidak ingin melihat Palestina menjadi negara merdeka dan berdaulat penuh.

Sementara, pemerhati masalah Palestina Khalid Amyareh di Ramallah mengkritisi pernyataan Abbas dalam pidatonya hari Kamis kemarin. Ia mengkritik Abbas menyalahkan semua pihak atas kegagalannya dalam mengemban amanah untuk menyelesaikan persoalan Palestina dengan Israel, tapi Abbas tidak menyalahkan dirinya sendiri yang berperan besar dalam kegagalan itu.

Dalam artikelnya yang dimuat Palestine Information Center, Amyareh menulis bahwa selama menjabat sebagai presiden Palestina, Abbas nyaris selalu tunduk pada kemauan Israel dan Amerika dan mengenyampingkan harga diri serta martabat rakyat Palestina.

"Sikap Abbas membuat musuh-musuh kita dan sekutu-sekutunya di luar negeri berpandangan bahwa kepemimpinan otoritas Palestina adalah sebuah entitas pengkhianat," tulis Amayreh.

Ia menyatakan, Abbas dan jajaran pemerintahannya memberikan peluang bagi para jenderal AS untuk melatih dan "membentuk" pasukan nasional Palestina dengan menanamkan doktrin yang mengkhianati perjuangan rakyat Palestina. Para jenderal AS itu menanamkan doktrin bahwa perjuangan rakyat Palestina melawan penjajahan Israel adalah "tindakan teror."

"Keith Dayton (jenderal AS) telah meracuni otak putera-putera Palestina dengan keyakinan bahwa Israel adalah teman dan Hamas adalah musuh," kata Amayreh.

Dalam artikelnya, Amayreh menyatakan bahwa orang-orang Amerika akhirnya memanfaatkan dan memprovokasi para pejabat Fatah yang ambisius untuk mencoba melakukan kudeta di Gaza terhadap Hamas yang terpilih secara demokratis dalam pemilu. Sebuah konspirasi yang mengakibatkan terpecahnya kekuasaan di Palestina dan rusaknya hubungan Fatah-Hamas.

Amayreh menilai Abbas tidak serius untuk memperbaiki hubungan dengan Hamas. Alih-alih mengupayakan rekonsiliasi dengan Hamas, Abbas malah menjalin aliansi dengan Israel untuk melawan Hamas. Abbas melakukan itu supaya mendapatkan pengakuan dari Israel dan AS bahwa ia telah melakukan tindakan yang benar.

Keberpihakan pemerintahan Abbas pada Israel terlihat dari pernyataan seorang komandan militer otoritas Palestina di Tepi Barat pada bulan September 2008. Di depan para jenderal Israel, komandan pasukan Palestina itu mengatakan,"Kita adalah sekutu dalam melawan teror. Kita punya satu musuh bersama dan musuh bersama itu bernama Hamas."

Pernyataan itu, tulis Amayreh, nyatanya diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan pemerintahan Abbas di Tepi Barat dimana pasukan keamanan otoritas Palestina melakukan penangkapan-penangkapan terhadap para pendukung Hamas. Di dalam penjara otoritas Palestina, para pendukung Hamas banyak yang mengalami penyiksaan bahkan ada yang sampai meninggal dunia.

Dosa-dosa Abbas bukan cuma menyusun konspirasi jahat dengan Israel dan AS untuk menggulingkan pemerintahan Hamas, Abbas juga berperan mendorong negara-negara Barat untuk memperketat blokade terhadap Jalur Gaza dan membujuk Mesir untuk menutup perbatasan Rafah sebagai bentuk tekanan terhadap Hamas.

Kegagalan pemerintah Abbas dalam proses perdamaian dengan Israel adalah skandal yang diciptakan Abbas sendiri. Dalam berbagai kesempatan Abbas selalu memberi kesan pada publik bahwa Israel adalah partner yang baik, yang bersedia menciptakan perdamaian dengan Palestina, bahwa Israel yang waktu itu dipimpin oleh Perdana Menteri Ehud Olmert mau mengakui legitimasi hak-hak rakyat Palestina dan bersedia mewujudkan solusi dua negara dimana Palestina menjadi negara merdeka dan berdaulat dengan Yerusalem sebagai ibukotanya.

Sikap Abbas itu, kata Amayreh, sesungguhnya menyesatkan pemahaman publik tentang "pembicaraan damai" antara Palestina-Israel karena pada saat yang sama, Israel terus membuldoser pertanian, kebun dan tanah milik rakyat Palestina dan Abbas tidak mengkritisi tindakan semena-mena Israel itu. Abbas tidak pernah sungguh-sungguh menekan Israel untuk menghentikan ekspansi pemukimannya di Tepi Barat.

"Kebodohan, sikap naif dan kepercayaannya yang salah terhadap Israel yang membuat Abbas dalam posisi sekarang ini. Dalam hal ini, tak satupun yang patut disalahkan, kecuali Abbas sendiri," tegas Amayreh.

Lebih lanjut Amayreh dalam artikelnya menyatakan bahwa banyak tokoh di Palestina dan pemimpin negara-negara Arab yang sudah menasehati Abbas agar tidak terlalu percaya dan mudah tertipu oleh Israel. Tapi Abbas menolak mendengarkan masukan-masukan itu. Ia tetap berkeyakinan bahwa "proses perdamaian adalah satu-satunya strategi rakyat Palestina" dalam menghadapi rejim Zionis Israel.

"Ketika seorang wartawan Palestina bertanya pada Abbas beberapa bulan yang lalu, apa yang akan ia lakukan jika proses perdamaian gagal, tanpa malu-malu Abbas menjawab bahwa alternatif lain dari proses perdamaian adalah proses perdamaian," tulis Amayreh.

Melihat daftar panjang dosa-dosa Abbas pada Palestina, masih menurut Amyareh, sulit membayangkan bisakah Abbas menebus kesalahannya dan memperbaiki blunder yang kadung terjadi di Palestina. Kerjasama keamanan antara Abbas dan Israel adalah salah satu dosa yang tidak bisa dimaafkan.

Amayreh menyatakan, untuk keluar dari kemelut yang telah diciptakan Abbas, langkah pertama yang harus dilakukan pembubaran pemerintahan otoritas atas pertimbangan bahwa otoritas itu telah mengikis isu-isu nasional Palestina yang sesungguhnya. Menurut Amayreh, jika langkah ini tidak segera dilakukan, itu sama artinya memberikan legimatasi pada skema penjajahan Israel dan menyerahkan diri pada status quo.

Amayreh menegaskan, Palestina harus segera melepaskan diri dan meyakini fakta bahwa penjajahan kaum Zionis tidak akan benar-benar berhenti dan bahwa kesepakatan Oslo dari A sampai Z adalah sebuah manipulasi.

"Kita harus mengatakan pada rakyat bahwa otoritas Palestina bukan sebuah fase yang akan membebaskan Palestina dari tirani Zionis, seperti yang didengung-dengungkan selama ini. Tapi, otoritas Palestina tidak lebih sebuah instrumen yang digunakan untuk mengikis hak-hak rakyat Palestina. (ln/PIC)