Jelang Konferensi Annapolis: Zionis Hanya Paham Bahasa Senjata

Annapolis Maryland yang terletak 50 km ke arah Timur Washington DC, mempunyai sejarah terkait sejarah penjajahan pada tiga dekade lalu. Di lokasi itulah, pernah diselenggarakan Treaty of Paris pada tahun 1784, guna menyepakati usainya perang revolusi AS. Momentum itu dianggap sebagai tonggak sejarah yang pertama kalinya bagi AS mengukir perannya dalam perdamaian. Hingga hari ini, AS masih merawat dan mengaktifkan gedung miliknya di Annapolis meskipun kota ini bisa digolongkan sebagai kota kecil tapi peran sejarahnya yang mempunyai magnet tersendiri bagi perjalanan AS.

Walikota Annapolis Eliyan Moweir sangat berbahagia dengan penggunaan wilayahnya sebagai arena konferensi damai Timur Tengah. Ia menganggap kotanya akan kembali mengukir sejarah baru terkait perdamaian dunia. Namun kebahagiaan seperti itu sama sekali tidak dirasakan oleh Perdana Menteri Israel Ehud Olmert. Bagi Olmert justru sejarah perundingan perdamaian di Annapolis itulah di antara momok yang memperberat tekanan dari kelompok ekstrim kanan Yahudi yang berkoalisi dengan pemerintahannya, untuk tidak diposisikan sebagai penjajah dan tidak salah langkah berdamai dengan Palestina. Di depan para pengumpul dana Yahudi, Olmert mewanti-wanti agar jangan mengharapkan terjadi terobosan dengan Palestina dalam konferensi perdamaian mendatang yang disponsori AS. Olmert juga mengatakan, “Annapolis bukan tempat yang cocok untuk deklarasi perdamaian. ”

Dari sejumlah statemennya, Olmert boleh dibilang pesimis dengan perundingan Annapolis. Ia justru khawatir bila langkahnya dalam perundingan itu justru menjadi titik kulminasi kelemahan Olmert yang imejnya semakin memburuk sejak Juli 2006. Ketika itu, Olmert gagal menyepakati perdamaian final dengan Palestina, karena ia terus kukuh dengan tuntutannya terkait perbatasan kekuasaan, Jerussalem, pengungsi, air dan perumahan Yahudi.

Olmert hari ini, adalah “titik lemah” Israel. Jika kebanyakan pemimpin partai dan tokoh Israel mulai bergeliat mengajukan opsi tidak percaya terhadap Olmert, maka kini Olmert melakukan kampanye untuk mengikuti tekanan AS, agar mempunyai harga di mata AS dengan hadir di Annapolis. Maka, kehadiran Olmert dalam konferensi musim gugur di Annapolis di tengah kegamangan, pesimis, bahkan kekhawatirannya, lebih bernilai sebagai basa-basi untuk mendapat simpatik Bush dan mengokohkan posisi AS. Tapi di samping itu, Olmert juga masih ingin mendapat dukungan negara Arab terkait isu nuklir Iran. Jadi, bukan isu perdamaian dengan Palestina yang lebih dominan ada dalam benak Olmert yang memang sudah pesimis sejak awalnya.

Apalagi desakan tokoh dan pimpinan Israel makin menguat kepada Olmert untuk tidak mengalah terhadap tuntutan Palestina. Desakan itu bahkan mencuat setelah kunjungan keenam Menlu AS Condoleezza Rice ke Timur Tengah beberapa waktu lalu. Antara lain, intelejen Israel yang menyampaikan warning kepada Olmert dari sikap yang membuang klaim Israel yang ingin menjadikan Jerussalem sebagai ibukota Palestina, atau bahkan sekedar mengakui Palestina menguasai sisi Timur Jerussalem termasuk wilayah Tembok Ratapan.

Sampai-sampai Olmert secara tegas mengatakan, “Konferensi musim dingin bukan konferensi perdamaian. Itu hanya konferensi internasional yang misinya adalah membangun landasan kesepahaman untuk dilanjutkan kembali dalam pembicaraan dengan pihak Palestina. ” Menurut Olmert, dirinya hanya akan akan berupaya keras mencari kesepahaman tentang isu-isu mendasar yang menjadi akar konflik Israel-Palestina. Pernyataan Olmert itu lalu ditanggapi oleh Menlu Israel Lefni. Dengan tegas ia menyatakan menolak permintaan Palestina yang menghendaki adanya schedule tertentu untuk perundingan implementasi kesepakatan.

Siapapun yang mengikuti perkembangan konflik Palestina-Israel saat ini, akan mendapatkan bahwa Olmert memilih jalannnya sendiri untuk menyikapi Palestina. Olmert tetap mengkondisikan Israel dalam situasi perang, padahal menjelang hari-hari konferensi perdamaian dengan Palestina, seharusnya jika Israel memang berniat damai, ia harus lebih bisa menahan diri untuk tidak melakukan tindakan kontraproduktif dengan terus menerus melakukan serangan militer terhadap Palestina.

Laporan Organisasi HAM Palestina menyebutkan Israel tetap menumpahkan darah rakyat Palestina secara keji oleh selama satu bulan Oktober. Disebutkan dalam satu bulan itu, 44 orang Palestina meninggal ditambah lebih dari 350 orang ditangkap oleh Israel. Dari jumlah warga Palestina yang meninggal itu, ada 27 orang yang meninggal dalam aksi pembantaian membabi buta, dan sama sekali tidak terlibat kontak senjata dengan pasukan Israel. Ada pula seorang anak di bawah umur yang meninggal karena tembakan Israel, di samping meninggalnya tawanan Palestina bernama Muhammad Shafi Muhammad yang ditembak di penjara An Naqeb. Bila ditotal jumlah tawanan Palestina yang ditangkap Israel dalam tahun 2007 ini, menurut lembaga HAM Palestina, sudah mencapai 2261 orang, belum terhitung penangkapan yang terjadi di sejumlah perbatasan atau penangkapan massal dalam aksi demonstrasi damai yang dilakukan rakyat Palestina.

“Semua keadaan ini makin menjelaskan bahwa Israel melanjutkan perangnya dengan tetap menerapkan pola pembunuhan yang tidak ditolerir oleh dunia internasional, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap warga sipil Palestina. Keadaan ini juga kian menegaskan bahwa penjajah Israel hanya berbicara dengan dua bahasa. Bahasa pertama adalah bahasa publikasi palsu dengan menyebut pihaknya ingin menegakkan perdamaian, tapi di lapangan Israel justru melakukan tindakan kejam terhadap warga Palestina untuk selanjutnya menyesatkan opini dan menipu dunia internasional, ” demikian salah satu bunyi kalimat yang tertera dalam laporan HAM Palestina terakhir. Ini semua artinya Israel memang tidak pernah mau membuka lembaran baru dalam pola interaksinya dengan Palestina. Israel yang datang ke Palestina untuk menjajah dan mencaplok lalu mengusir penduduknya serta membunuh dengan kejam adalah pola interaksi yang sudah sulit diubah. Dan karenanya, dengan demikian, Israel juga sudah tentu berniat untuk terus menerus memperpanjang perang untuk memuaskan ambisi penjajahannya.

Bila dibandingkan, antara motifasi Bush sebagai presiden AS yang memang butuh legitimasi sejarah yang bisa menguntungkan posisinya menjelang pemilu melalui perundingan Annapolis, dengan sikap gamang Olmert serta kekejaman yang terus terjadi terhadap rakyat Palestina, sudah bisa diduga apa arti perundingan damai Annapolis tersebut nantinya. Israel tahu betul bahwa Annapolis hanya sekedar manuver politik dan publikasi saja untuk mencari simpati dunia Arab. Dan kelak, Israel akan keluar lagi dari poin-poin yang disepakati sebagaimana yang sudah-sudah. Perundingan Annapolis, bagi Israel bukanlah kesempatan untuk mau berdamai, berbagi dan menyepakati sejumlah masalah krusial terhadap Palestina yang meliputi masalah perbatasan, kepulangan pengungsi Palestina, status Jerussalem, air, dan lain sebagainya.

Nah, kondisi seperti inilah yang sudah dapat dibaca oleh Presiden Palestina Mahmud Abbas sejak awal. Karenanya, entah jika sekadar basa-basi, ia pun sudah menyatakan keengganannya untuk hadir dalam perundingan itu. Situasi rumit ini lalu menjadikan Menlu AS perlu datang beberapa kali ke Palestina dan kemudian menunda pelaksanaan Perundingan sebulan lamanya, sambil mencari titik temu antara Palestina dan Israel. Sementara dari pihak Hamas yang terus menerus menghadapi serangan militer Israel yang bertubi-tubi di Ghaza, lebih keras lagi menentang rencana konferensi musim gugur tersebut. Musa Abu Marzuq, wakil kepala Biro Politik Hamas sudah mengendus kegagalan konfrensi itu dengan mengatakan, “Konferensi musim gugur targetnya bukan untuk mencari solusi masalah Palestina. Tapi hanya merupakan upaya pemerintahan AS untuk keluar dari krisis yang kini mereka alami dari banyak sisi. Terutama di Irak, dan juga upaya untuk merancang langkah terkait krisis nuklir Iran. ”

Menurut Marzuq konferensi itu mungkin bisa lebih buruk dampaknya ketimbang Oslo yang hanya menyisakan Ghaza dan Jericho untuk Palestina. Sedangkan pemimpin gerakan Jihad Islami yang juga merupakan salah satu elemen perlawanan yang disegani Israel, mengatakan konferensi Annapolis tak ada hubungannya dengan Palestina dan hasil-hasilnya takkan memberi manfaat pada rakyat dan bangsa Palestina. “Konferensi itu digelar untuk mendukung proyek AS dan Israel. Dan itu akan gagal serta berbahaya bagi masa depan nasional Palestina, ” ujar DR. Muhammad Al-Hindi, salah satu pimpinan Jihad Islami.

Sikap AS yang over semangat untuk menyelenggarakan konferensi Annapolis, tentu tidak terputus dari rancangan AS terhadap peta politik di Timur Tengah. Juga tak mungkin terputus dengan krisis nuklir Iran yang kini menghangat. Konferensi Annapolis, bila berhasil, boleh jadi merupakan bagian dari upaya memuluskan kepentingan AS di Timur Tengah, tapi itu tetap bukan solusi secara keseluruhan. Ada banyak motif rahasia di balik sikap AS yang terasa begitu ngotot menyelenggarakan konferensi perdamaian musim gugur di Annapolis dalam waktu dekat ini. Sebagian pengamat memandang motif tersebut punya kaitan dengan mendekatnya jadwal pemilu AS, sehingga isu perdamaian Timur Tengah bisa menjadi komoditas politik Bush.

Peran AS dalam konflik Timur Tengah, dianggap bisa sedikit mendongkrak pamor George Bush yang babak belur akibat kebijakannya di Irak. Ya, setidaknya Bush ingin dalam rentang kekuasaannya, ia bisa mengukir sebuah event penting dan bersejarah, sebagaimana perundingan Camp David atau Way River.

Dengan demikian, baik Israel maupun Palestina, dan juga negara-negara Arab sebenarnya sudah skeptis memandang konferensi ini. Apalagi dalam sejarahnya, Israel tak pernah mau tunduk pada hasil perundingan, kecuali dengan sesuatu yang jelas menguntungkan mereka saja. Dan kuat dugaan, krisis Palestina pun akan terus berlanjut. Sebagaimana pernyataan yang berulangkali dinyatakan oleh para tokoh Palestina, bahwa Israel memang tidak memahami kecuali bahasa kekerasan dan senjata.(Lili Nur Aulia)