Kasus KBC: Konspirasi Jahat Proyek Pembangkit Listrik Panas Bumi (2)

Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.

Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.

***

Persoalan Hukum yang Melingkupi Proyek Karaha Bodas

Proyek Karaha Bodas dalam pelaksanaanya sangat kental dengan aroma penipuan dan praktek KKN. Kami sangat yakin jika pemerintah mau mengungkap kasus penipuan dan KKN yang terjadi dalam proyek Karaha Bodas, maka KBC dapat terjerat Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) oleh Pemerintah Amerika Serikat yang memberi sanksi berat kepada perusahaan asal AS yang terbukti melakukan korupsi saat menjalankan proyek di luar negeri.

Menurut Prof. Dr. Priyatna masih terdapat celah untuk melakukan pembatalan atas putusan arbitrase yaitu bila tampak tindak pidana yang tentunya menghendaki putusan Pengadilan Negeri Pidana dan yang miliki kekuatan hukum tetap. Berdasarkan hasil penelusuran atas bukti-bukti yang ada, tampak adanya indikasi penipuan dan tindak pidana korupsi dalam proyek PLTP Karaha Bodas, yang seharusnya bisa menjadi bukti awal bagi proses penyelidikan. Untuk itu pihak kepolisian atau kejaksaan seharusnya bisa berperan aktif membantu Pertamina untuk mengungkapkan kasus-kasus korupsi dalam proyek KBC, Hal ini sangat penting dilakukan untuk menyelamatkan uang negara dari putusan arbitrase tersebut.

Berikut kami sampaikan beberapa kasus dalam proyek PLTP Karaha Bodas yang sangat kental kasus penipuan dan KKN-nya :

1. Penandatangan Kontrak yang Tidak Sah

Penandatanganan kontrak proyek Karaha Bodas dilakukan pada 28 November 1994. Kontrak yang ditandatangani adalah kontrak operasi bersama (JOC/Joint Operating Contract) proyek Karaha Bodas antara Pertamina dan Karaha Bodas Company (KBC). Kontrak tersebut ditandatangani oleh Dirut Pertamina Faisal Abdaoe, James D Bishop (KBC), Loedito SP (KBC), dan diketahui Mentamben, IB Sudjana.

Selain penandatanganan kontrak JOC, juga ditandatangani kontrak penjualan energi (ESC/Energy Sales Contract) antara Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan KBC. Kontrak tersebut ditandatangani oleh James D Bishop (KBC), Loedito SP (KBC), Dr. Ir. Zulhal MSc (Dirut PLN), dan Faisal Abda’oe (Dirut Pertamina).

Penandatanganan kedua kontrak (JOC dan ESC) tersebut tidak sah, karena ditandatangani oleh orang yang tidak berhak, yaitu Loedito SP sebagai Dirut PT SDS, yang mewakili PT SDS. Loedito SP ditenggarai telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengadakan RUPS PT SDS yang tidak sah. Jika pemerintah mau mengusut tuntas proses manipulasi yang terjadi dalam RUPS SDS ini maka ada peluang bagi pemerintah untuk melakukan pembatalan (annulment atau set aside) atas putusan arbitrase international, tetapi tentunya tindak pidana ini harus diputuskan melalui Pengadilan Negeri Pidana dan yang memiliki kekuatan hukum tetap.

PT SDS didirikan berdasarkan akte notaris No.75 tanggal 18 Juli 1988, dihadapan Notaris Maria Theresia Budisantoso, SH, di Solo. Terhadap akte pendirian tersebut telah dilakukan beberapa kali perubahan sbb :

– Akte Perubahan Anggaran Dasar No.52 tanggal 21 Juli 1989, yang dibuat dihadapan Maria Theresia Budisantoso, SH., Notaris di Solo;

– Akte perubahan No.36, tanggal 9 Oktober 1989, yang dibuat dihadapan Maria Theresia Budisantoso, SH., Notaris di Solo;

– Akte Perubahan Anggaran Dasar No.98 tanggal 24 November 1989, yang dibuat dihadapan Maria Theresia Budisantoso, SH., Notaris di Solo.

Struktur permodalan, pemegang saham dan susunan pengurus PT SDS didasarkan pada Akte No.36 tanggal 9 Oktober 1989 adalah sbb :

– Modal Dasar sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), terbagi atas 5.000 (lima ribu) lembar saham dengan masing-masing saham @ Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah).

– Modal ditempatkan sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) atau 1.000 (seribu) lembar saham. – Modal disetor sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).

Susunan pemegang saham PT SDS dan jumlah masing-masing pemegang saham adalah sbb :

Susunan Pengurus PT SDS :

Direksi :

Presiden Direktur : Drg. Mariati Murman Heliarto Direktur I : Ir. Sumirin Direktur II : Dokter Indah Julianto

Komisaris :

Presiden Komisaris : Drg. Farida Kamil Sulaiman Komisaris : Dra. Yenny Budiasih, MBA Komisaris : Drg. Retno Satuti

Proses manipulasi dan pengambil alihan PT SDS dilakukan ketika diadakan rapat dewan direksi dan dewan komisaris pada 20 Agustus 1990. Tetapi dalam prosesnya rapat tersebut dipelintir oleh beberapa pihak yang tidak berhak dan diubah menjadi Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Rapat tersebut dihadiri oleh Loedito SP, Ir. Sumirin, Dra. Sri Rumsurati, Jose Rizal dan Sri Murwati.

Sesuai dengan ketentuan yang digariskan Pasal 15 Anggaran Dasar PT SDS, jo. Pasal 54 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Dagang, yang juga telah diadopsi dan dikukuhkan dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, termuat ketentuan bahwa:

– yang berhak untuk mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham hanya Pemegang Saham. – dan yang mempunyai hak suara hanya pemegang saham saja.

Bertitik tolak dari perundang-undangan dan Anggaran Dasar yang dikemukakan di atas, jika dihubungkan dengan RUPS tanggal 20 Agustus 1990 yang dilakukan Loedito SP, dkk, pelaksanaan Rapat direksi & dewan komisaris tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Bahkan kemudian oleh Loedito SP dan kawan-kawan notulen RUPS tersebut diajukan ke Notaris sehingga keluar Akte No.33 tanggal 9 Oktober 1990 yang dikeluarkan oleh kantor Notaris Yetty Taher, SH, di Jakarta, yang antara lain merubah susunan pengurus perseroan. Oleh karena itu, RUPS tersebut tidak sah (ilegal) dan tidak mengikat kepada Penggugat (Drg. Mariati Murman Heliarto dan Dr. Indah Julianto).

Manipulasi di dalam RUPS pada 20 Agustus 1990, yang diakui oleh Loedito SP adalah hasil konversi dari Rapat Dewan Direksi dan Dewan Komisaris, manipulasi yang dilakukan Loedito SP, dkk, antara lain : – Dalam risalah Rapat Dewan Direksi dan Dewan Komisaris disebutkan Dr. Indah Julianto dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai pemegang saham sebanyak 300 lembar saham atau 30% dan sebagai Direktur II PT SDS, dinyatakan tidak hadir, akan tetapi di dalam Notulen RUPS disebutkan hadir. – RUPS tidak dihadiri dan diketuai oleh Drg. Mariati Murman Heliarto dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai pemegang saham sebanyak 400 lembar saham atau 40% maupun selaku Direktur Utama. – Di dalam notulen RUPS dinyatakan seluruh pemegang saham hadir, sehingga tidak perlu ditempuh formalitas dan prosedur terlebih dahulu tetapi dapat langsung dilakukan RUPS berdasar Pasal 16 ayat 5 Anggaran Dasar.

Berdasarkan fakta tersebut diatas, baik secara formal maupun substansial, tidak pernah ada RUPS pada tanggal tersebut dengan beberapa alasan :

– Drg. Mariati Murman Heliarto sebagai pemegang saham sebanyak 400 lembar saham maupun selaku Direktur Utama PT Sumarah Daya Sakti tidak pernah meminta atau mengundang maupun hadir atau memimpin RUPS para pemegang saham tanggal 20 Agustus 1990.

– Seandainyapun benar RUPS itu dihadiri oleh Ir. Sumirin dalam kedudukannya sebagai pemilik dan Pemegang Saham sebanyak 300 lembar saham 30% maupun selaku Direktur I, RUPS dimaksud tetap tidak sah karena tidak memenuhi tata cara dan kuorum yang digariskan Pasal 16 ayat (1), (2), (3), dan (4) Anggaran Dasar tentang syarat pemanggilan rapat dan Pasal 19 ayat (1) dan (2) Anggaran Dasar tentang kuorum kehadiran dan kuorum pengambilan keputusan atas Perubahan Anggaran Dasar. Selain itu terdapat beberapa fakta lain yang menguatkan bahwa RUPS yang diadakan pada tanggal 20 Agustus 1990 adalah palsu dengan fakta-fakta berikut :

– Kalimat pada lembar ketiga Notulen RUPS terdapat kata-kata : “……….. dibuat dihadapan saya Notaris ……….”

Padahal Notulen RUPS tersebut dibuat dibawah tangan. Sesuai dengan fakta pada lembar ke-8 yang menyatakan :

“– Bahwa rapat memberi kuasa kepada Euis Mulyani ……….” “– Untuk menyatakan Notulen Rapat ini dalam suatu akte notariil ……….”

– Tanda tangan Mariati Murman Heliarto dan Dr. Indah Julianto yang tertera dalam lembar terakhir Notulen adalah hasil rekayasa LSP dkk berdasar alasan sebagai berikut :

 Sepanjang sejarah PT SDS, mulai sejak pendirian sampai dengan akte perubahan terakhir, setiap melakukan RUPS pasti dilakukan dan dibuat dihadapan Notaris dan tidak pernah dibuat di bawah tangan;

 Menurut hukum dan kebiasaan, tidak lazim dibuat penandatanganan notulen RUPS di atas materai;  Dapat diduga (vermoeden) hal ini dibuat dan dilakukan LSP dkk untuk menutupi kepalsuan guratan tanda tangan Mariati Murman Heliarto dan Dr. Indah Julianto yang dibuat LSP dkk.

 Lembar tanda tangan terpisah atau tidak menyatu dengan Notulen RUPS itu, hal itu terbukti karena tanda tangan dibuat pada lembar tersendiri, sedangkan pada lembar terakhir Notulen RUPS masih terdapat tuang yang cukup untuk ditandatangani oleh yang hadir;

 Pada setiap lembar Notulen RUPS itu sama sekali tidak ada paraf dari Mariati Murman Heliarto dan Dr. Indah Julianto juga paraf dari peserta rapat lainnya;

 Menurut hasil Laboratorium Kriminal Markas Berkas Kepolisian Republik Indonesia, tanggal yang tercantum pada materai dimana tertera tanda tangan Mariati Murman Heliarto adalah bulan Oktober 1990, jadi berbeda dengan tanggal Notulen RUPS yang dibuat pada tanggal 20 Agustus 1990;

 Kejanggalan lain yaitu, nama-nama penandatangan mulai dari nomor 1 sampai dengan 6 namanya ditulis dalam hurup kapital, tetapi nama penandatanganan No.7 yaitu Sri Murwati dibuat tidak dengan hurup kapital dan dibuat pada lembar tersendiri, padahal jika diatur sedemikian rupa cukup besar ruangan untuk sama-sama menandatangani pada lembar yang sama dengan peserta yang lain.

Di dalam RUPS tanggal 20 Agustus 1990, pihak Loedito SP dkk, secara nyata telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam bentuk tindakan menjual saham milik Drg. Mariati Murman Heliarto dan Dr. Indah Julianto kepada PT Manggala Pratama dan beberapa pihak lainnya secara tanpa hak, yaitu : – Penjualan saham milik Drg. Mariati Murman Heliarto sebanyak 50 lembar saham kepada PT Manggala Pratama. – Penjualan saham milik Dr. Indah Julianto sebanyak 300 lembar saham kepada :

 PT Manggala Pratama sebanyak 100 lembar saham.  Jose Rizal sebanyak 100 lembar saham.  Dra. Sri Rumsurati sebanyak 100 lembar saham.

Tindakan dan perbuatan Loedito SP dkk jelas-jelas bertentangan dengan hukum, tindakan menjual saham milik Drg. Mariati Murman Heliarto dan Dr. Indah Julianto nyata-nyata melanggar asas Nemo Plus Juris dalam Pasal 1471 KUHPerdata, karena saham yang dijual adalah milik dari Drg. Mariati Murman Heliarto dan Dr. Indah Julianto. Sedangkan Drg. Mariati Murman Heliarto dan Dr. Indah Julianto tidak pernah memberikan persetujuan untuk penjualan dimaksud. Sehingga tindakan penjualan saham itu merupakan perbuatan melawan hukum berdasar Pasal 1365 KUHPerdata.

Selain dari pada itu, sesuai dengan Pasal 584 KUHPerdata jo. Pasal 42 Kitab Undang-undang Hukum Dagang yang diadopsi juga dalam Pasal 49 Undang-undang No.1 Tahun 1995 dan Pasal 8 Ayat 2 dan Ayat 5 Anggaran Dasar PT SDS, bahwa setiap pengalihan atas saham harus ada akte pengalihan saham tersebut berupa akte jual beli dan dicatat dalam buku daftar saham yang ditandatangani oleh Presiden Direktu dan Presiden Komisaris.

Berdasarkan fakta dan dasar hukum yang telah disebutkan di atas, maka persetujuan jual beli saham milik Drg. Mariati Murman Heliarto dan Dr. Indah Julianto yang terdapat dalam Notulen RUPS tanggal 20 Agustus 1990 jo. akte Pernyataan Keputusan Rapat No.33 Tanggal 9 Oktober 1990 tidak pernah ada di dalam akte pengalihan saham, dan juga tidak pernah ada di dalam buku daftar saham yang ditandatangani oleh Presiden Direktur dan Presiden Komisaris pada waktu itu. Sehingga dengan demikian, pengalihan saham di dalam Notulen RUPS Tanggal 20 Agustus 1990 jo. akte pernyataan Keputusan Rapat No.33 Tanggal 9 Oktober 1990 tidak pernah ada (never exist)

Berdasarkan RUPS tanggal 20 Agustus 1990 yang palsu, Loedito SP dkk secara terus menerus melakukan RUPS-RUPS lainnya sehingga merubah Anggaran Dasar PT SDS, sehingga Loedito SP dapat menguasai PT SDS sepenuhnya. Berikut akte-akte yang dikeluarkan oleh Loedito SP dkk setelah RUPS 20 Agustus 1990.

–  Mengadakan RUPS dan membuat Akte No.67 Tanggal 20 Oktober 1994, yang berisikan menyetujui penghibahan saham milik PT Manggala Pratama sebanyak 1.000 lembar saham kepada Loedito SP.

–  Mengadakan RUPS dan membuat Akte No.58 tanggal 23 November 1994, yang mengangkat Loedito SP sebagai Direktur Utama menggantikan kedudukan Drg. Mariati Murman Heliarto dari posisi Direktur Utama, selanjutnya menjadi Direktur.

–  Mengadakan RUPS dan membuat Akte Pernyataan Keputusan Rapat No.23 tanggal 11 April 1995, yang berisikan memberhentikan Drg. Mariati Murman Heliarto dari posisi Direktur PT SDS.

Masuknya Loedito SP ke dalam PT SDS sejak sumula sudah tidak sah dan tidak memiliki wewenang dan kapasitas bertindak untuk dan atas nama PT SDS, sehingga semua tindakan dan produk hukum yang telah dibuat dan ditandatangani oleh Loedito SP yang mengatasnamakan sebagai Direktur Utama dan pemegang saham PT SDS adalah tidak sah. Sehingga semua dokumen yang telah ditandatangani oleh Loedito SP seperti penandatanganan Joint Operating Contract (JOC) Karaha Geothermal antara PT Pertamina dengan KBC LLC dan Energy Sales Contract (ESC) antara KBC LLC dengan PT Pertamina serta PT PLN adalah tidak sah.

Atas tindakan-tindakannya di atas, Loedito SP telah ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak Kepolisian sehubungan dengan pemalsuan Akte No.33 Tanggal 9 Oktober 1990 yang telah dilaporkan Drg. Mariati Murman Heliarto atas Loedito SP kepada Mabes Polri (Laporan Polisi No.Pol:LP/149/V/2002/SIAGA/III tanggal 16 Mei 2002), perkara yang dikenakan kepada Loedito SP tentang :

–  Tindak Pidana Pemalsuan berdasarkan Pasal 263 KUHP sehubungan dengan Akte Pernyataan Keputusan Rapat No.33 tanggal 9 Oktober 1990 dan menandatangani perjanjian-perjanjian dengan PT Pertamina seolah-olah Loedito SP adalah Direktur Utama yang sah dari PT SDS.

– Tindak Pidana Penggelapan berdasar Pasal 372 KUHP sehubungan dengan penjualan saham milik Drg. Mariati Murman Heliarto dan Dr. Indah Julianto.

Untuk itu kami mendesak pihak Kepolisian untuk secepatnya memmeroses kasus ini ke Pengadilan, sehingga ada putusan tetap yang mengikat.

Bila telah ada putusan tetap dari pengadilan di Indonesia maka hasil keputusan pengadilan di Indonesia bisa diajukan ke Swiss Federal Supreme Court sebagai bukti baru (novum) atas kasus tindak pidana penipuan dan penggelapan yang dilakukan oleh Loedito SP sebagai Dirut PT SDS yang tidak sah. Hal ini bisa dilakukan Pertamina sebagai upaya pembatalan terhadap putusan arbitrase international, karena dalam Bab VII Pembatalan Putusan Arbitrase Pasal 70 menyebutkan sejumlah faktor yang menyebabkan suatu putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalannya jika putusan arbitrase tersebut mengandung unsur-unsur :

– Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; – Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau; – Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

2. Mark-up Biaya Investasi

Pada tanggal 16 April 2002 pihak Pertamina melalui Direktur Hulu, meminta BPKP mengaudit KBC dalam rangka Uji Tuntas. Audit yang dilakukan BPKP akan menilai kewajaran pengeluaran pengeluaran/realisasi biaya proyek PLTP Karaha Bodas dalam hubungannya dengan putusan Arbitrase International, dimana Pertamina harus membayar klaim KBC sebesar US$ 261,1 juta, terdiri dari ganti rugi atas pengeluaran biaya sebesar US$ 111,1 juta dan ganti rugi atas kehilangan keuntungan yang tidak jadi diperoleh sebesar US$ 150 juta.

Pemeriksaan yang dilakukan BPKP terbatas pada dokumen-dokumen KBC yang diperoleh dari Pertamina dan instansi terkait. Sedangkan dokumen dari KBC yang berupa laporan keuangan dan bukti pendukungnya tidak diperoleh BPKP, karena sejak tahun 2000 KBC telah menutup kantor perwakilannya di Indonesia.

Hasil audit terhadap dokumen KBC yang dilakukan oleh BPKP dijumpai hal-hal sebagai berikut :

– Pihak KBC melaporkan biaya pengeluaran investasi di Indonesia kepada Arbitrase International (sesuai dengan putusan Arbitrase International), jauh lebih besar dari laporan KBC lainnya, yaitu laporan realisasi WP & B ke Pertamina dan Laporan biaya dalam SPT PPh Badan ke Direktorat Jenderal Pajak yaitu :

Dari adanya perbedaan laporan KBC tersebut BPKP berpendapat bahwa Arbitrase International tidak melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam memutuskan perkara, karena sesuai halaman 101 sampai dengan 105 putusan Arbitrase, biaya yang seharusnya diganti oleh Pertamina adalah ”Proven Sunken Cost Incurred” ditambah 4% bunga per tahun. Oleh karena itu kata ”Proven” seharusnya didasarkan atas hasil audit independen auditor yang ditunjuk kedua belah pihak yang bersengketa, sedangkan yang di klaim KBC adalah ”Aproved Budget” bukan Proven Sunken Cost Incurred

– Untuk setiap kegiatan eksplorasi dan sumur panas bumi, KBC menyampaikan laporan harian ke Pertamina. Rekapitulasi laporan harian pemboran seumur panas bumi tersebut antara 1995 sampai dengan 1998 berjumlah US$ 40.094.112 sedangkan laporan realisasi biaya eksplorasi dan pengeboran dalam WP & B dilaporkan sebesar US$ 59.263.000, sehingga terjadi overstated biaya dalam realisasi WP & B sebesar US$ 19.168.888.

Berdasarkan data, catatan dan notulen rapat antara KBC dan Pertamina dalam pertemuan komite bersama berkaitan aspek teknis ditemukan kejanggalan yaitu; Berdasarkan NORC tanggal 12 Agustus 1997 yang disampaikan dalam komite bersama, proyeksi kandungan energi listrik sebesar 55 MW yang kemudian di up-date menjadi 60 MW per 18 September 1997. Pada tanggal 16 Desember 1997, KBC mengajukan NOID sebesar 210 MW. Loncatan proyeksi energi listrik Karaha Bodas dari 55 MW menjadi 210 MW dalam waktu 3 bulan menurut BPKP adalah hal yang luar biasa apalagi bila dihubungkan dengan aktivitas keuangan dalam kurun waktu tersebut ternyata tidak ada pengeluaran yang cukup signifikan.

3. Persetujuan WP&B 1998 Karaha Bodas Company

Di dalam berkas gugatan yang sudah diperbaiki tertanggal 24 November 1999, pihak KBC (penggugat) menuntut ganti rugi kepada Pertamina dan PLN (tergugat) sebagai akibat pelanggaran kontrak yang salah satunya adalah pembayaran atas kerugian investasi yang telah dikeluarkan sebesar US$ 94,6 juta (sembilan puluh empat juta enam ratus ribu dollar Amerika).

Dalam putusannya pengadilan arbitrase memenuhi tuntutan KBC bahwa penggugat (KBC) memperoleh ganti rugi dari tergugat (Pertamina dan PLN) atas modal yang telah ditanamkan. Keputusan yang menguntungkan KBC ini diambil karena pengadilan arbitrase tidak melihat adanya bukti bahwa tergugat (Pertamina dan PLN) tidak setuju atas biaya Program Kerja dan Anggaran (work program & budget, WP&B) yang besarnya US$ 93,1 juta (sembilan puluh tiga juta seratus ribu dollar Amerika). Selain itu penggugat wajib diberikan damnum emergens yang bersamaan dengan pelaksanaan proyek sesuai kontrak berakhir, cara pehitungan danmum emergens ini berdasarkan saksi ahli penggugat Prof. Ruback yang disebut “risk free rate” (tingkat bunga yang dibayarkan untuk pinjaman uang ketika resiko bahwa bunganya tidak akan dibayarkan dipertimbangkan sebagai nol) sebesar 5,8% per tahun, tarif saat itu yang diambil dari Surat Obligasi Negara Amerika Serikat yang sudah berlaku selama 20 tahun (US Bond). Sehingga jumlah uang yang diterima KBC dari ganti rugi atas modal yang telah ditanamkan sebesar:

Bila keputusan arbitrase dicermati, maka terdapat kejanggalan dalam hal nilai investasi yang telah dikeluarkan oleh KBC pada tahun 1998 sebesar US$ 9,9 juta. Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia pada 20 September 1997 telah mengeluarkan Keppres No. 39/1997 yang menangguhkan beberapa proyek pembangunan, termasuk Proyek Karaha Bodas. Karena mengalami penangguhan maka pihak Pertamina melalui Direktur Eksplorasi dan Produksi memohon penangguhan proyek ditinjau kembali, yang pada akhirnya pada 1 November 1997 pemerintah mengeluarkan Keppres No.47/1997 yang isinya meneruskan kembali beberapa proyek pembangunan, termasuk Proyek Karaha Bodas, sehingga dengan Keppres ini proyek Karaha Bodas boleh dilanjutkan kembali. Tetapi pada 10 Januari 1998 pemerintah mengeluarkan Keppres No.5/1998 yang membatalkan Keputusan Presiden No.47/1997, sehingga pemerintah mengkonfirmasikan menangguhkan kembali beberapa proyek termasuk proyek Karaha Bodas.

Meskipun proyek Karaha Bodas ditangguhkan oleh Permerintah, pihak KBC pada 5 Maret 1998, tetap mengirimkan WP&B tahun 1998 yang telah diperbaiki. WP&B ini memperhitungkan biaya penangguhan Proyek berdasarkan perkiraan bahwa pekerjaan akan dilanjutkan pada kuartal keempat pada tahun tersebut. Pada tanggal 11 Maret 1998, Pertamina menyetujui WP&B tahun 1998 sesuai dengan perbaikan yang telah dilakukan dan diharuskan sejauh mana diperlukan, meskipun Keputusan Presiden No.5/1998 tentang penangguhan proyek telah dikeluarkan.

Persetujuan WP&B yang diberikan Pertamina pada bulan Maret 1998 ini telah menyalahi Keppres No.39/1997 dan Keppres No.5/1998 yang telah menangguhkan proyek Karaha Bodas. Atas persetujuan Pertamina ini maka pihak KBC berhak mendapatkan ganti rugi WP&B tahun 1998 sebesar US$ 9,9 juta plus bunga sebesar US$ 1,1 juta. Untuk itu, oknum pejabat Pertamina yang telah mengeluarkan persetujuan WP&B proyek KBC tahun 1998 harus mempertanggung jawabkan klaim tersebut. (bersambung)

foto: detikcom

*) Tentang Penulis:

Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.