Kasus KBC: Konspirasi Jahat Proyek Pembangkit Listrik Panas Bumi

Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.

Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.

***

Pendahuluan

Kekalahan Pertamina dalam Arbitrase Uncitral, Jenewa, Swiss, pada 18 Desember 2000, mengakibatkan Pertamina harus membayar klaim ganti rugi sebesar US$ 261,1 juta kepada Karaha Bodas Company (KBC). Kekalahan Pertamina dalam persidangan Arbitrase Internasional tersebut, tentu saja sangat mengherankan bagi banyak kalangan. Kekalahan ini menunjukkan ketidakseriusan Pemerintah cq. Pertamina dalam persidangan arbitrase. Padahal kalau Pemerintah mau mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang melingkupi proyek KBC, mungkin hasil pengadilan arbitrase akan lain. Karena di Amerika sendiri, investor yang berasal dari AS terikat dengan Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) tahun 1977, yang memberi sanksi berat apabila investor asal AS terbukti terkait dalam kasus korupsi saat mendapatkan proyek. Tapi apa lacur, keputusan pengadilan arbitrase sudah diputuskan dan sifatnya adalah final and binding (akhir dan mengikat) sehingga harus diterima dan dilaksanakan oleh Pertamina/Pemerintah Indonesia.

Menurut Prof. Dr. Priyatna masih terdapat celah untuk melakukan pembatalan atas putusan arbitrase yaitu bila tampak tindak pidana yang tentunya menghendaki putusan Pengadilan Negeri Pidana dan yang miliki kekuatan hukum tetap. Dan menurut hasil penelusuran atas bukti-bukti yang ada, tampak adanya indikasi tindak pidana korupsi, yang seharusnya bisa menjadi bukti awal bagi proses penyelidikan. Untuk itu pihak kepolisian atau kejaksaan seharusnya bisa berperan aktif membantu Pertamina untuk mengungkapkan kasus-kasus korupsi dalam proyek KBC, hal ini perlu dilakukan untuk menyelamatkan uang negara dari putusan arbitrase tersebut.

Untuk itu kami membuat tulisan ini ditujukan sebagai upaya kami, untuk menjelaskan secara ringkas mengapa kami menolak pembayaran klaim KBC atas putusan pengadilan arbitrase, sehingga diharapkan Pemerintah Indonesia/Pertamina berani melakukan upaya perlawanan hukum atas putusan pengadilan arbitrase melalui pengungkapan kasus KKN dalam proyek Karaha Bodas. Melalui tulisan ini kami juga mengharapkan masyarakat dapat memahami kasus ini secara menyeluruh, sehingga rakyat bisa menilai haruskah mereka menanggung beban pembayaran klaim yang dimenangkan oleh KBC, padahal proyek Karaha Bodas ini sarat dengan nuansa KKN.

Dapat dinyatakan, alasan penolakan kami atas pembayaran final award tersebut berdasarkan empat hal. Pertama, terjadinya penipuan dan indikasi praktik KKN dalam proyek Karaha Bodas. Hal ini dimulai dari pengalihan kepemilikan PT SDS, penentuan harga jual listrik dalam Energy Sales Contract (ESC), persetujuan work plan & budgeting (WP & B) tahun 1998, hingga kejahatan perpajakan yang telah dilakukan oleh KBC LLC. Kedua, pemberhentian proyek dilakukan karena kondisi darurat (force majeure) berupa terjadinya krisis moneter. Hal ini pun dilakukan sesuai rekomendasi IMF. Ketiga, pihak KBC telah menerima klaim ganti rugi asuransi sebesar US$ 75 juta dari Bery Palmer & Lyle Ltd. Loyd’s Broker, London. Sehingga, berdasar asas subrogasi, KBC tidak lagi berhak meneruskan gugatan karena haknya telah beralih ke perusahaan asuransi tersebut. Keempat, pihak KBC tidak mengungkapkan nilai investasi secara benar dalam persidangan aribtrase. KBC mengklaim ganti rugi investasi sebesar US$ 111,1 juta, padahal berdasarkan hasil audit konsultan independen ELC Electroconsult (konsultan independen Italia) investasi KBC pada saat proyek dihentikan tidak lebih dari US$ 50 juta.

Untuk selanjutnya, sebagai latar belakang, akan dijelaskan terlebih dahulu kronologis kasus KBC secara ringkas, mulai dari persetujuan kontrak JOC dan ESC sampai jatuhnya putusan final award Arbitrase International di Jenewa, Swiss.

Kronologis

Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha Bodas terletak di Desa Sukamenak, Kec. Wanaraja, Garut, Jawa Barat, meliputi sejumlah titik lokasi dengan luas wilayah 19 Ha disekitar Gunung Karaha dan Telaga Bodas. Proyek ini mempunyai target akan membangun PLTP Karaha Bodas dalam waktu 5 tahun. PLTP diharapkan akan menghasilkan listrik dengan kapasitas 120 megawatt (MW), yang terdiri dari 6 unit power plant x 20 MW, dengan jangka waktu konsesi selama 30 tahun.

PLTP Karaha Bodas merupakan salah satu dari 27 proyek power plant yang dibuat di penghujung pemerintahan Soeharto. Proyek ini melibatkan orang-orang di lingkaran kekuasaan pada waktu itu, yaitu anak dan menantu mantan Wapres Sudharmono.

Untuk mengembangkan PLTP Karaha Bodas, PT Manggala Pratama (MP) adalah perusahaan yang pertama kali mengajukan usul dan ide pengembangan, tetapi karana satu dan lain hal pengembangan PLTP Karaha Bodas dilimpahkan ke PT Sumarah Daya Sakti (SDS).

Melihat besarnya skala proyek, pihak SDS kemudian menggandeng mitra PT Magma Power Company (MPC) untuk mengembangkan proyek Karaha Bodas. Tetapi kerja sama ini tidak berlangsung lama, karena PT SDS mengganti mitra kerja dari MPC kepada mitra kerja asing Caithness. Kemudian mereka bersama-sama membentuk PT Karaha Bodas Company LLC (KBC) yang berkedudukan di Caymand Island dengan proporsi saham KBC 10% dan Caithness 90%. Sampai kemudian pihak Caithness menjual sebagian dari sahamnya kepada Florida & Light dan Tomen Corp. sebesar 40,5% dan 9%.

Pada bulan November 1994 pihak KBC berhasil menandatangani kontrak operasi bersama (JOC/Joint Operating Contract) dan kontrak penjualan energi (Energi Sales Contract/ESC) proyek Karaha Bodas dengan Pertamina dan PLN. JOC ditandatangani oleh Dirut Pertamina Faisal Abda’oe, James D. Bishop, Loedito SP, dan diketahui Mentamben, IB Sudjana. Sedangkan untuk ESC ditandatangani oleh James D. Bishop (KBC), Loedito SP (KBC), Dr. Ir. Zulhal MSc (Dirut PLN), dan Faisal Abda’oe (Dirut Pertamina).
Keberhasilan KBC memperoleh kontrak JOC dan ESC Karaha Bodas tidak terlepas dari peran Purnomo Yusgiantoro, yang menjadi konsultan bagi PT SDS dan posisi di pemerintahan sebagai Penasehat Menteri Pertambangan dan Energi bidang energi, Ketua Tim Negosiasi Listrik Swasta dan Ketua Tim Panas Bumi (untuk melihat peran Purnomo lebih jauh dalam proyek Karaha Bodas dapat dilihat dalam sub bab 3, Mark-up Harga Jual Listrik).

Untuk mengejar target penyediaan 6 unit power plant x 20 MW, pihak KBC menggencarkan eksplorasi reservoir di daerah Karaha dan Telaga Bodas. Tetapi usaha eksplorasi yang digencarkan pihak KBC belum memberikan hasil yang signifikan. Hal ini terlihat dari waktu penyerahan Pemberitahuan Pembenaran adanya Sumber Daya Alam atau Notice of Resources Confirmation (NORC) yang seharusnya diserahkan kepada Pertamina pada 21 Januari 1997, tetapi baru diserahkan pada 18 September 1997. Sedangkan “pemberitahuan untuk melakukan pengembangan atau notice of intend to develop (NOID) sampai dihentikannya proyek Karaha Bodas oleh pemerintah pada 20 September 1997 belum diserahkan ke Pertamina.

Dalam waktu yang bersamaan krisis ekonomi melanda Indonesia. Hal ini memaksa pemerintah untuk mengeluarkan Keppres No. 39/1997, untuk menangguhkan pelaksanaan beberapa proyek pembangkit listrik, dimana salah satunya adalah proyek Karaha Bodas. Penangguhan proyek ini merupakan saran penasehat ekonomi pemerintah, IMF. Keppres tersebut menekankan “untuk memelihara kelangsungan ekonomi dan secara umum kemajuan ekonomi nasional, perlu dilakukan langkah penanggulangan fluktuasi keuangan dan akibat yang ditimbulkan”. Selanjutnya ditekankan, “dalam rangka penanggulangan masalah tersebut, perlu diambil langkah penundaan/peninjauan kembali sejumlah Proyek Pemerintah, Proyek Perusahaan Negara dan Proyek Pribadi yang sehubungan dengan Pemerintah dan Perusahaan Negara”.

Pihak Pertamina memohon kepada pemerintah melalui Bapenas sebagai Ketua Tim Keppres No. 39/1997 untuk meninjau kembali penangguhan proyek Karaha Bodas dengan dasar :

– Pentingnya proyek-proyek panas bumi;

– Penangguhan proyek akan berdampak negatif terhadap industri panas bumi yang sedang digalakkan pemerintah;

– Penangguhan akan menurunkan kepercayaan para investor dan penyandang dana proyek.
Usaha tersebut mendapat tanggapan dari pemerintah, dimana pemerintah kemudian mengeluarkan Keppres No.47/1997 yang isinya meneruskan kembali beberapa proyek pembangunan, termasuk Proyek Karaha Bodas, sehingga dengan Keppres ini proyek Karaha Bodas boleh dilanjutkan kembali.

Atas diteruskannya kembali proyek Karaha Bodas, KBC melanjutkan kembali aktivitas eksplorasi dan pengembangan. Pada 16 Desember 1997, KBC menyerahkan NORC baru kepada Pertamina yang menunjukkan kemungkinan adanya kapasitas sebesar 210 MW sumber daya alam di daerah Karaha dan Telaga Bodas dengan penyediaan bagi Karaha diperkirakan sebesar 240 MW. Dan pada 20 Desember 1997 pihak KBC menyerahkan NOID kapasitas listrik sebesar 110 Kwe di kedua wilayah.
Tetapi pada 10 Januari 1998 pemerintah mengeluarkan Keppres No.5/1998 yang membatalkan Keputusan Presiden No.47/1997, sehingga pemerintah mengkonfirmasikan menangguhkan kembali beberapa proyek termasuk proyek Karaha Bodas.

Setelah mengalami penangguhan untuk kali kedua pihak KBC bersama Pertamina berusaha meyakinkan pemerintah, tapi usaha tersebut tidak mendapat tanggapan dari pemerintah. Oleh sebab itu, KBC kemudian mengirim pemberitahuan kepada Pertamina dan PLN bahwa pemberlakukan Keputusan Presiden No.5/1998 dan 39/1997 adalah sehubungan dengan apa yang disebut Keadaan Kahar atau Force Majeure di bawah kontrak JOC dan ESC. KBC menyarankan agar diadakan sesegera mungkin pertemuan dengan para wakil Pertamina dan PLN dan bahwa KBC memiliki hak untuk menyampaikan klaim, tetapi pertemuan ini tidak pernah terealisasi.

Meskipun telah ditangguhkan untuk kali kedua, pihak KBC masih mengharapkan proyek Karaha Bodas akan dilanjutkan kembali, sehingga KBC kemudian mengirimkan Program Kerja dan Anggaran (Work Plan and Budgeting/WP & B) pada tahun 1998, dengan memperhitungkan penangguhan nilai proyek tersebut. Program Kerja dan Anggaran tahun 1998 tersebut disetujui oleh Pertamina pada 11 Maret 1998.

Sedangkan pihak PLN pada tanggal 6 Maret 1998, menulis kepada Pertamina dan KBC yang menyatakan : “Berdasarkan keputusan Presiden tersebut di atas (No.39/1997 dan No.5/1998), Proyek Geo-Termal Karaha dikategorisasikan sebagai proyek yang ditangguhkan, oleh sebab itu Pertamina dan Perusahaan sebagai pihak yang dikontrak di bawah Kontrak Penjualan Energi (ESC) harus tunduk kepada Keputusan Presiden tersebut. Sebagai akibatnya, seluruh aktivitas yang telah dimulai atau dilaksanakan oleh anda yang tidak tercantum di dalam Keputusan Presiden tersebut sehubungan dengan Proyek Geo-Termal Karaha harus menjadi tanggungan dan resiko anda.”

Melihat tanda-tanda bahwa proyek Karaha Bodas tidak akan dilanjutkan kembali, maka pihak KBC mengangkat permasalahannya ke Arbitrase Uncitral, Jenewa, Swiss, melalui kuasa hukumnya Boeis & Schiller. KBC mengajukan gugatan kepada Pemerintah RI cq. Departemen Pertambangan & Energi, Pertamina dan PLN.

Untuk menghadapi gugatan KBC, DR. Adnan Buyung Nasution, SH. ditunjuk oleh pemerintah sebagai kuasa hukum Pertamina dan PLN. Proses penunjukan ini dirasakan terlambat, karena selama tujuh bulan sebelumnya praktis pemerintah tidak melakukan apa-apa untuk mempersiapkan gugatan KBC.
Pada 30 September 1999 pengadilan Arbitrase Uncitral mengeluarkan Putusan Pendahuluan (Preliminary Award) diantaranya memutuskan :

1. Mengeluarkan pemerintah RI sebagai tergugat;
2. Menolak keberatan Pertamina dan PLN terhadap yurisdiksi Pengadilan Arbitrase;
3. KBC berhak menyampaikan gugatan berdasarkan JOC dan ESC, melalui sebuah prosedur arbitrase;
4. Menolak keberatan Pertamina dan PLN yang keberatan atas Pengadilan Arbitrase Uncitral sebagai lembaga resmi yang ditunjuk.

Setelah putusan Preliminary Award keluar pihak KBC kemudian memperbaiki berkas tuntutan. Dalam berkas tuntutan yang telah diperbaiki, KBC menuntut Pertamina dan PLN membayar klaim atas kerugian ongkos yang telah dikeluarkan, yang secara khusus berhubungan dengan :

– Eksplorasi dan Pembangunan Proyek sebesar US$ 93,1 juta.
– Kompensasi atas kehilangan rencana keuntungan sebesar US$ 512,5 juta.

Setelah menjalani proses persidangan yang cukup memakan waktu atau 22 bulan sejak keputusan penghentian proyek dikeluarkan, pada 18 Desember 2000, pengadilan arbitrase mengeluarkan Keputusan Akhir (Final Award) yang memenangkan gugatan KBC atas Pertamina dan PLN, pengadilan arbitrase memutuskan sebagai berikut :

1. Pertamina dan PLN telah melanggar Perjanjian ESC dan Pertamina telah melanggar Kontrak JOC.

2. Pertamina dan PLN secara bersama-sama dan masing-masing dijatuhi hukuman dalam bentuk pembayaran ganti rugi sebesar US$ 111.100.000 (seratus sebelas juta seratus ribu dollar Amerika) untuk biaya-biaya yang diderita kepada KBC, termasuk bunga sebesar 4% pertahun, terhitung tanggal 1 Januari 2001 sampai lunas.

3. Pertamina dan PLN secara bersama-sama dan masing-masing dijatuhi hukuman pembayaran ganti rugi sebesar US$ 150 juta (seratus lima puluh juta dollar Amerika) untuk laba yang seharusnya diperoleh kepada KBC termasuk bunga sebesar 4% pertahun, terhitung tanggal 1 Januari 2001 sampai lunas.

4. Pertamina dan PLN secara bersama-sama dan masing-masing dijatuhi hukuman pembayaran ganti rugi sebesar US$ 66.654,92 (enam puluh enam ribu enam ratus lima puluh empat dollar Amerika dan sembilan puluh dua sen) kepada KBC untuk biaya dan ongkos yang dikeluarkan sehubungan dengan fase kedua dan terakhir dari arbitrase ini, termasuk bunga sebesar 4% pertahun, terhitung tanggal 1 Januari 2001 sampai lunas.

5. Masing-masing pihak harus menanggung ongkos pembiayaan penasehat hukum dan para asisten mereka.

6. Tuntutan lainnya dari para pihak dinyatakan dibantah atau dihapuskan.

Pihak KBC kemudian meminta pengesahan melalui pengadilan di Distrik Houston, Texas, AS, agar putusan final award dapat dieksekusi. Pengadilan Distrik Houston, melalui Hakim Nancy F. Atlas mengeluarkan Final Judgement bahwa pengadilan arbitrase international telah dilakukan secara benar (final award dapat di ‘confirm’). Bahkan pengadilan di Distrik Houston juga mengukuhkan keputusan final award pengadilan arbitrase.

Menanggapi hasil keputusan pengadilan di Distrik Houston, Texas, pihak Pertamina menyatakan banding ke Supreme Court AS, Pertamina kemudian memberikan bukti-bukti baru (novum) atas kasus tersebut, yaitu :

– Putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk tidak melaksanakan keputusan Houston District Court, USA;

– Asuransi politik sebesar US$ 70 juta telah dibayarkan kepada pihak KBC dari Berry Palmer & Lyle Ltd. Loyd’s Broker, London;

– Putusan arbitrase mengklaim bahwa potensi cadangan sebesar 220 MW, padahal potensi berdasarkan hasil kajian tekno-ekonomi yang telah dilakukan dengan menggunakan counselor independent menunjukkan sebesar 30 MW.

Hasil dari pengadilan di Distrik Houston, Texas, kemudian di daftarkan melalui pengadilan di beberapa negara seperti di AS yaitu, New York, Delaware, California, dan Illinois, serta di luar AS, yaitu Alberta (Kanada), Hong Kong, dan Singapura. Pendaftaran ini dimaksudkan bila terdapat aset Pertamina di daerah yang didaftarkan bisa dibekukan. Hasil dari putusan pengadilan luar negeri ternyata berpihak kepada KBC, seperti Pengadilan Hong Kong dan Singapura yang memutuskan mengesahkan keputusan arbitrase internasional.

Pihak KBC melangkah lebih jauh. Mereka menyerahkan hasil putusan pengadilan Distrik Houston berupa perintah penahanan aset milik Pertamina kepada beberapa bank di New York, yaitu Bank of America dan Bank of New York. Pada gilirannya Bank of America dan Bank of New York membekukan aset atau rekening Pertamina yang terdapat di bank mereka.

Dilain pihak, pemerintah berusaha menyelesaikan kasus tersebut melalui out of court settlement (penyelesaian perkara di luar pengadilan). Proses ini dilakukan dengan harapan agar pihak KBC menghentikan proses peradilan. Pemerintah membentuk Tim Fasilitasi Penyelesaian Kasus KBC yang bertugas menyelesaikan kasus KBC yang dipimpin oleh Sesmenko Perekonomian dengan anggota Pejabat Eselon I dari Departemen Keuangan, DESDM, Deplu, Kantor Meneg BUMN, Mabes Polri, Kejagung, Pertamina dan PT. PLN (Persero). Penyelesaian out of court settlement dilakukan melalui : diplomasi, due diligence (kajian tekno ekonomi) dan penyelesaian litigasi.

Proses diplomasi diawali oleh Menko Perekonomian bertemu dengan US Secretary of State (Colin Powell), meminta US government agar mengeluarkan statement of interest untuk membahas kemungkinan dilakukannya out of court settelement. Langkah ini kemudian ditindaklanjuti dengan pertemuan antara Tim Fasilitasi Penyelesaian Kasus KBC dan KBRI Washington dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi AS.

Due diligence (kajian tekno ekonomis) dilakukan dengan mengaudit proyek Karaha Bodas melalui Independent Counselor, dimana audit tersebut meliputi aspek finansial maupun aspek teknis pelaksanaan proyek. Dari hasil audit diperoleh bahwa potensi sumber daya panas bumi sebesar 30 MW (pasti), 120 MW (paling mungkin) dan 200 MW (harapan). Untuk itu masih diperlukan tambahan pengeboran 2 sumur eksplorasi untuk memastikan potensi panas bumi Karaha Bodas.

Tindakan lain yang dilakukan Pertamina adalah meminta BPKP untuk mengaudit Proyek Karaha Bodas, hasil audit yang dilakukan oleh BPKP ditemukan mark up biaya investasi sebesar US$ 19.168.888 serta kekurangan pembayaran pajak PPh Pasal 21 dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPN sebesar US$ 18.216.793.659. Untuk mark up investasi, yang diperoleh dari rekapitulasi laporan harian pemboran antara tahun 1995 s/d 1998 sebesar US$ 40.094.112 dibandingkan laporan realisasi biaya eksplorasi dan pengeboran dalam WP & B dilaporkan sebesar US$ 59.263.000.

Sedangkan dalam litigasi Pertamina melakukan upaya hukum sesuai dengan haknya, baik di dalam maupun di luar negeri, yaitu : di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, New York, Houston, Delaware, Singapura dan Hongkong. Dalam proses ini, Tim Fasilitasi Penyelesaian KBC tidak terlibat secara langsung dalam proses litigasi, melainkan dibantu oleh Clearly Gottlieb, Steen & Hamilton (CGSH) sebagai kuasa hukum Departemen Keuangan dan White & Case sebagai kuasa hukum Pertamina.

Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, misalnya, Pertamina melakukan perlawanan hukum dengan mengajukan gugatan hukum, untuk meminta pembatalan atau menganulir putusan pengadilan Arbitrase International. Dalam putusan selanya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan yang memerintahkan KBC untuk tidak melakukan eksekusi terhadap putusan pengadilan di AS. Sedangkan dalam putusan akhir PN Jakarta Pusat mengeluarkan ketetapan yang membatalkan keputusan Arbitrase Internasional.

Sebagai peluang litigasi terakhir, Pertamina pada 15 September 2006, mendaftarkan perkara tindak pidana fraud yang dilakukan KBC dan meminta untuk menahan seluruh aset KBC kepada Pengadilan di Cayman Island. Tetapi nampaknya keadilan hukum belum berpihak kepada Pertamina, dimana pada pertengahan bulan Maret 2007, Pengadilan Cayman Islands memperkuat keputusan pengadilan AS, yaitu memvonis Pertamina segera membayar klaim dan bunga kepada Karaha. Nilai klaim mencapai USD 261 juta (sekitar Rp 2,4 triliun), ditambah bunga empat persen per tahun ke KBC.

Demikianlah kronologis secara ringkas kekalahan Pertamina oleh pengadilan arbitrase international dalam proyek PLTP Karaha Bodas, sehingga pertamina harus membayar klaim KBC sebesar US$ 261,1 juta dan denda bunga sebesar 4% per tahun sampai pembayaran final award lunas. (bersambung)

foto ilustrasi: detikcom

*) Tentang Penulis:

Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.