Kekalahan Pertamina Di Blok Migas Semai V: Pemerintah Mendukung Kontraktor Asing!

Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.

Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.

***

Pemerintah telah menunjuk Amerada Hess, perusahaan minyak asal AS, sebagai operator migas di Blok Semai V pada 31 Oktober 2008 yang lalu. Blok Semai V, terletak di Laut Arafuru, Papua, disebut-sebut sebagai salah satu temuan ladang migas sangat penting di wilayah Asia Pasifik pada sepuluh tahun terahir ini. Potensi kandungan gas Blok Semai V mencapai lebih dari 8 triliun kaki kubik (trillion cubic feet, tcf). Tak heran, ketika ditenderkan, sejumlah perusahaan minyak dalam dan luar negeri datang mendaftarkan diri sebagai peserta.

Jika dibandingkan dengan Blok Cepu, yang juga luput dari kendali Pertamina ke tangan asing, Exxon Mobil, potensi Blok Semai memang masih lebih rendah. Sebagai catatan, Blok Cepu memiliki cadangan minyak sekitar 2,6 miliar barel dan gas sebesar 14,91 tcf. Dengan potensi sebesar itu, nilai komersial Blok Cepu secara keseluruhan diperkirakan mencapai US$ 240 miliar atau sekitar Rp 2.400 triliun (dengan asumsi recovery rate 80%, harga minyak = US$ 80/barel, 1 boe [barel oil equivalent] = 5.487 cf , kurs US$/Rp= 10.200). Sedangkan, untuk Blok Semai, nilai komersialnya diperkirakan mencapai US$ 93 miliar atau sekitar Rp 951.772 triliun..

Meskipun berada di bawah Blok Cepu, namun nilai komersial Blok Semai masih terhitung sangat besar, terutama untuk kategori cadangan migas baru yang berhasil ditemukan. Jika saja pemerintah memaksimalkan peran Pertamina sebagai BUMN untuk mengelola blok ini, tentu penerimaan negara akan lebih besar dan nilai perusahaan Pertamina juga akan meningkat. Karena itulah, jatuhnya pengelolaan Blok Semai ke tangan Hess sangat disayangkan. Apalagi setelah dipelajari, tampaknya kekalahan Pertamina tersebut diakibatkan oleh hal yang tidak prinsipil, tetapi lebih karena adanya hal-hal yang tidak wajar dan melanggar prinsip-prinsip good governance.

Kita sangat prihatin bahwa Pertamina dikalahkan terutama karena signing bonus (bonus tandatangan) yang ditawarkan lebih rendah dibanding yang ditawarkan oleh Hess. Atas keputusan ini, muncul pertanyaan apakah layak perbedaan nilai signing bonus yang kecil itu dapat mengorbankan perusahaan BUMN yang notabene adalah milik rakyat? Depertemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) menyatakan bahwa signing bonus bukanlah satu-satunya dasar pertimbangan memilih Hess, tetapi dasarnya adalah penilaian atas aspek-aspek teknis, keuangan, dan kinerja. Apakah pembelaan diri ESDM ini bisa diterima, akan coba dibuktikan dalam uraian lebih lanjut.

Kronologi Pemilihan Kontraktor Blok Semai V

Untuk lebih memahami kekalahan Pertamina di Blok Semai V, kita perlu menelusuri kronologi proses tendernya. Pemilihan diawali dengan terbitnya Keputusan Menteri ESDM No. 2968.K/MEM/2007 pada tanggal 27 Desember 2007, yang berisi penawaran 21 wilayah kerja (WK) migas melalui mekanisme Lelang Reguler tahun 2007. Blok Semai V merupakan satu wilayah kerja dari 21 wilayah kerja yang ditawarkan tersebut. Atas dasar Kepmen No.2968, pada 14 Januari 2008, lelang dibuka selama 120 hari atau hingga tanggal 12 Mei 2008.

Selama periode penawaran terdapat enam perusahaan yang berminat mengikuti lelang Blok Semai V, yang kemudian memasukkan Dokumen Partisipasi kepada pemerintah. Keenam perusahaan tersebut adalah Total E & P Indonesia, Konsorsium PT. Pertamina & Shell Exploration Company B.V., Esso Exploration International Ltd, Konsorsium Murhpy Overseas Ventures Inc – PTT EP dan INPEX, Marathon International Ltd dan Amerada Hess Indonesia – Semai V Ltd. Dalam uraian berikutnya, konsorsium Pertamina & Shell akan disingkat menjadi Pertamina dan Amerada Hess disingkat menjadi Hess.

Untuk mengevaluasi dan menilai Dokumen Partisipasi yang diajukan para peserta lelang, Tim Lelang Wilayah Kerja Migas pun dibentuk. Tim ini beranggotakan perwakilan dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Ditjen Migas, BPMIGAS, dan Perguruan Tinggi. Tugas utama tim ini adalah menilai proposal dan memeringkat para peminat yang masuk dengan berpedoman pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 040 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Migas. Dalam Pasal 38 Permen tersebut, ditentukan bahwa pelaksanaan penilaian akhir dilakukan berdasarkan urutan prioritas penilaian aspek teknis, aspek keuangan, dan aspek kinerja perusahaan.

Penilaian teknis didasarkan pada komitmen kegiatan yang antara lain meliputi jumlah pengeboran sumur yang didasarkan atas hasil evaluasi geologi dan geofisika dan justifikasi teknis (engineering) serta dilakukan dengan kaidah keteknikan yang baik. Penilaian konon tidak mempertimbangkan jumlah dana yang akan dikeluarkan untuk melakukan kegiatan dimaksud (jadi untuk apa ada penilaian….?) dengan alasan hal tersebut masih akan berubah sesuai hasil evaluasi yang dilakukan oleh BPMIGAS dalam WP&B (work program & budget). Memang diakui bahwa bila jumlah biaya eksplorasi cukup besar, bisa saja proyek menjadi tidak efisien mengingat jika blok tersebut komersial, biayanya akan diperhitungkan di dalam cost recovery. Namun disisi lain, besarnya biaya harus dilihat pula dari efek positif yang ditimbulkan bagi kegiatan ekonomi nasional.

Berdasarakan hasil penilaian Tim Lelang Wilayah Kerja Migas, dari keenam peminat, tersisa tiga perusahaan yang memberikan penawaran dengan nilai tertinggi berdasarkan aspek-aspek teknis, keuangan, serta kinerja perusahaan dengan urutan sebagai berikut:

Pertama : Amerada Hess Indonesia – Semai V Ltd. (Hess)

Kedua : Konsorsium Murphy Overseas Ventures Inc dan PTT EP – INPEX

Ketiga : Konsorsium PT. Pertamina & Shell (Pertamina)

Dari penilaian terlihat bahwa Pertamina mengajukan proposal sendirian tetapi membentuk konsorsium dengan perusahaan migas raksasa asal Belanda, Shell. Meski menggandeng Shell, konsorsium ini hanya mampu menempati urutan ketiga. Sementara Hess berada dua tingkat di atasnya, menduduki peringkat pertama.

Hasil dari Tim Lelang Wilayah Kerja Migas ini kemudian disampaikan Ditjen Migas kepada Depkeu sebagai instansi pemerintah yang berwenang atas penerimaan negara. Hasil pembahasan lintas lembaga ini akhirnya sepakat memenangkan Hess untuk mengelola Blok Semai V. Dalam hal ini, keberadaan Pertamina sebagai BUMN yang potensial meningkatkan penerimaan negara tampaknya tidak dipertimbangkan. Berdasarkan hasil kesepakatan inilah, akhirnya Menteri ESDM menetapkan Hess (Indonesia – Semai V) Ltd. sebagai pemenang pada Blok Semai V.

Menurut ketentuan yang ada, karena Blok Semai V ditawarkan melalui Lelang Reguler maka ketentuan yang disebut sebagai right to match konon tidak berlaku. Ketentuan right to match hanya berlaku untuk pelaksanaan lelang Penawaran Langsung Wilayah Kerja melalui Joint Study, dimana pelaku Joint Study berhak mendapatkan kesempatan right to match. Dengan demikian, meskipun Pertamina perusahaan milik negara, oleh aturan-aturan yang dibuat bangsa sendiri dan tidak jelasnya sikap oknum-oknum pejabat negara yang melakukan penilaian, kesempatan BUMN kita untuk mengeksplotasi blok migas yang potensial itu menjadi hilang.

Pada 31 Oktober 2008, pemerintah mengumumkan 9 pemenang dari 21 wilayah kerja yang ditawarkan. Satu wilayah tidak ada peminat yang mengajukan proposal, dan 11 wilayah tidak ada pemenangnya. Dokumen penawaran yang terjual selama pelelangan mencapai 107 dokumen untuk 20 wilayah kerja. Salah satu perusahaan pemenang itu adalah Hess, yang mendapatkan Blok Semai V. Dari para pemenang ini, pemerintah mendapatkan signing bonus sebesar US$ 69,5 juta dan total investasi US$ 465,1 juta. Bonus tanda-tangan terbesar diperoleh dari Hess atas kemenangannya di Blok Semai V sebesar US$ 40 juta. Selanjutnya pemerintah melalui Menteri ESDM pada 13 November 2008 menandatangani Kontrak Kerja Sama 31 wilayah kerja migas dan gas metana, termasuk kontrak Blok Semai V dengan Hess (lihat perbandingan penawaran pada Tabel 1 di bawah ini).

Tabel 1. Komitmen Kerja Hess vs Pertamina dalam 3 Tahun Pertama

Analisa Hasil Penilaian Tim Evaluasi Pemerintah

Pada hari berlangsungnya penandatanganan kontrak, Pertamina mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya menyesalkan keputusan pemerintah yang tidak memenangkan BUMN migas ini. Padahal, menurut Pertamina, pihaknya sudah memberikan total komitmen investasi yang jauh di atas Hess. Menurut Pertamina total komitmen kerja untuk 3 (tiga tahun) pertama yang diajukan adalah US$ 252,26 juta, jauh di atas komitmen investasi penawaran Hess yang besarnya hanya US$ 143 juta. Memang diakui bahwa komitmen bonus tandatangan yang diajukan Pertamina lebih kecil dibanding yang ditawarkan Hess, yaitu US$ 15 juta berbanding US$ 40 juta. Namun perlu disadari bahwa bonus tandatangan adalah dana yang berlaku satu kali diterima negara di awal proyek.

Tabel 1 di atas memperlihatkan dengan jelas bahwa total komitmen yang ditawarkan oleh Pertamina adalah US$ 267,26 juta, lebih besar dari total komitmen Hess yang hanya US$ 183 juta. Perbedaan komitmen kedua kontraktor adalah US$ (267,26 – 183) juta = US$ 84,26 juta. Angka ini jelas lebih besar dari perbedaan signing bonus yang ditawarkan US$ (40 – 15) juta = US$ 25 juta. Dengan melihat kepada perbedaan komitmen kerja secara keseluruhan, secara finansial penawaran Pertamina jelas lebih baik dibanding komitmen Hess. Oleh sebab itu, sangat naif jika pemerintah memutuskan pemenang tender hanya berdasarkan perbedaan selisih signing bonus US$ 25 juta, untuk keunggulan Hess. Padahal selisih komitmen investasi secara keseluruhan adalah US$ 84,26 juta untuk keunggulan Pertamina. Belum lagi jika pendapatan negara dari keuntungan BUMN Pertamina mengelola Semai V diperhitungkan, total penerimaan negara jika memilih Pertamina pasti lebih besar. Keunggulan Pertamina dalam aspek peningkatan penerimaan negara ini tampaknya tidak dipertimbangkan DESDM.

Di samping keunggulan secara finansial di atas, Pertamina juga memberikan penawaran teknologi yang lebih baik. Dalam melakukan survey, Pertamina akan menggunakan teknologi 3 dimensi yang lebih akurat dan efektif, dibandingkan teknologi 2 dimensi yang diajukan Hess. Secara teknologi hal ini jelas akan menjadi poin keunggulan yang lebih besar bagi Pertamina dibanding Hess, dan seharusnya pula menjadi faktor penting bagi Tim Lelang untuk mengambil keputusan. Namun, keunggulan ini tampaknya juga diabaikan oleh Tim Lelang.

Dalam melakukan penilaian penawaran, merupakan hal yang wajar dan mutlak bahwa seluruh variabel yang ada dalam penawaran diperbandingkan. Penilaian juga harus menggabungkan hasil evaluasi secara finansial, teknologi dan kinerja/adminstratif. Sangat aneh jika dalam menilai penawaran dari para kontraktor peserta tender, tim evaluasi hanya menilai pada satu variable, seperti halnya pada signing bonus. Tidak mungkin Tim Lelang WK Migas pemerintah tidak memahami hal ini. Oleh sebab itu, akan salah jika kita menilai tim evaluasi tidak mampu atau telah berlaku naif.

Terlepas dari kondisi di atas, kita harus mempertanyakan dan menggugat, apa sebenarnya yang menjadi dasar bagi pemerintah untuk memilih Hess. Yang jelas, kita patut mencurigai adanya kekuatan lain di luar Tim Lelang yang melakukan intervensi sehingga keputusan pemenang tender Blok Semai menjadi tidak obljektif, sekaligus merugikan negara. Sekedar mengingatkan, dalam berbagai kasus lain pemerintah memang sudah sering menyingkirkan BUMN milik negara sendiri untuk mengelola SDA, seperti yang terjadi pada kasus-kasus Freeport, KPC, Blok Cepu, dsb. Sempat pula terdengar isu yang beredar bahwa sebab kekalahan Pertamina karena tidak dapat memberi komisi kepada oknum-oknum tertentu. Namun hal ini tidak penulis tanggapi secara serius. Terserah pembaca untuk menafsirkan atau bersikap.

Pelanggaran Hukum dan Ketidakberpihakan Pemerintah

Bagi kita, hasil evaluasi Tim Lelang WK Migas dan persetujuan pemerintah atas hasil evaluasi tersebut tentunya sangat sulit diterima. Hal ini terutama setelah mempelajari bahwa faktor utama yang menjadi dasar kemenangan Hess adalah nilai signing bonus yang lebih besar (US$40 juta). Padahal, penilaian aspek keuangan atas penawaran lelang tersebut mestinya memperhitungkan pula pertimbangan lain seperti potensi penerimaan negara secara total, kesempatan membesarkan Pertamina, keamanan penerimaan pajak, dsb. Dengan demikian sangat wajar jika yang ditunjuk menjadi pemenang tender adalah Pertamina.

Dengan data yang dimiliki pemerintah (DESDM), dimana salah satu WK yang mempunyai potensi yang sangat besar adalah Blok Semai V, seharusnya pemerintah otomatis menyerahkan eksploitasi blok tersebut kepada Pertamina. Sebelum membahas aspek keuangan lelang lebih lanjut, ada baiknya kita menelaah peraturan yang berlaku, terutama yang berkaitan dengan posisi Pertamina sebagai BUMN yang ditugasi mengelola migas di Indonesia.

Dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah No.34/2005, telah diatur ketentuan tentang adanya previlege yang dimiliki Pertamina untuk melakukan eksploitasi potensi migas milik Negara, yaitu: ”Dalam hal PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permohonan tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis, dan keuangan PT Pertamina (Persero) dan sepanjang saham PT Pertamina (Persero) 100% (seratus per seratus) dimiliki oleh Negara”. Berdasarkan ketentuan ini, Pertamina memiliki hak untuk diprioritaskan oleh pemerintah dalam mengelola suatu ladang migas, jika Pertamina menyatakan kesiapannya mengelola ladang migas tersebut. Sehingga, tak dipilihnya Pertamina sebagai pengelola Semai oleh pemerintah menunjukkan pemerintah telah mengabaikan hak khusus Pertamina sebagai BUMN yang telah dijamin oleh ketentuan ini!

Kerugian Ekonomis

Untuk menghitung kerugian negara secara ekonomi, kita perlu menghitung potensi keuangan Blok Semai. Kandungan gas Blok Semai V yang mencapai sekitar 8 tcf akan mampu mengahasilkan pendapatan yang sangat besar bagi Negara dan kontraktor. Jika diasumsikan recovery rate gas adalah 80%, harga rata-rata minyak (selama masa produksi) US$ 80/barel, dengan formula konversi gas/minyak 1 boe = 5.487 cf, dan nilai tukar US$/Rp = 10.200, akan diperoleh potensi total pendapatan dari gas Blok Semai V sebesar: (8 tcf x 90% x 1/5.487 x US$ 80) = US$ 93,311 miliar atau Rp 952,772 triliun selama masa produksi.

Simulasi perhitungan kerugian Negara dilakukan dengan menggunakan asumsi-asumsi di atas, ditambah asumsi First Tranche Petroleum (FTP) 10%, DMO = 25%, DMO price = 15% harga pasar dan pajak perusahaan = 44%, serta formula bagi hasil pemerintah dengan kontraktor 70% : 30%. Dari simulasi perhitungan diperoleh bahwa dari total potensi gas Semai V yang bernilai US$ 93,311 miliar, pendapatan bersih yang akan diterima oleh kontraktor adalah sekitar US$ 9,448 miliar (lihat detail perhitungan diperlihatkan pada Lampiran 1).

Karena Hess melakukan eksploitasi proyek Semai V sendirian, potensi pendapatan blok gas sebesar US$ 9,448 miliar tersebut akan diterima seluruhnya oleh Hess. Dalam hal ini, disamping penerimaan pajak dan bagi hasil, pemerintah tidak akan mendapat penerimaan tambahan dari kontraktor. Di sisi lain, karena Pertamina bekerjasama dalam satu konsrosium dengan Shell, maka potensi pendapatan masing-masing adalah US$ 2,834 miliar untuk Pertamina dan US$ 6,613 miliar untuk Shell. Dalam hal ini, disamping penerimaan dari pajak dan bagi hasil, pemerintah masih akan mendapatkan tambahan penerimaan dari keuntungan Pertamina sebesar US$ 2,834 miliar atau sekitar Rp 28,906 triliun. Dalam perjanjiannya dengan Shell, Pertamina juga memiliki opsi untuk meningkatkan nilai sahamnya lebih besar lagi dari 30%. Dengan demikian, potensi penerimaan negara dari Blok Semai melalui Pertmina akan semakin meningkat. Hal ini tidak akan pernah diperoleh jika menyerahkan blok tersebut kepada Hess.

Tabel 1. Perbandingan Pendapatan Kontraktor Hess vs Pertamina

Dengan simulasi perhitungan di atas dapat kita simpulkan bahwa potensi kerugian negara akibat tidak ditunjuknya Pertamina adalah sekitar Rp 28,906 triliun! Kerugian ini timbul akibat hilangnya kesempatan pendapatan bagi Pertamina karena tidak ditunjuk sebagai kontraktor Semai V.

Pengelolaan Blok Semai V oleh Pertamina juga akan memberikan tambahan leverage bagi Pertamina, termasuk diantaranya peningkatan value perusahaan, dan kesempatan untuk memperoleh alih teknologi dari Shell. Dengan demikian, pengelolaan Blok Semai V oleh Pertamina jelas bernilai strategis karena disamping peningkatan value, kerjasama juga akan memberi kesempatan bagi BUMN tersebut untuk meningkatkan kemampuan teknis, SDM, manajemen, dan potensi lain yang dimilikinya dalam rangka mewujudkan diri sebagai salah satu perusahaan migas berkelas dunia.

foto: pme-indonesia

*) Tentang Penulis:

Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.