Kemana Muara Perkara Antara KPK, Polisi dan Kejaksaan Ini?

Sampai hari ini Anggodo Widjojo masih tetap menikmati udara bebas. Tak terusik. Seperti tokoh yang tidak dapat tersentuh oleh apapun. Dari hasil rekaman percakapan di buka di Mahkamah Konstitusi (MK), antara Anggodo dengan sejumlah pejabat publik itu, bahkan menyebut nama Presiden SBY, yang menggambarkan luasnya seluk-beluk persoalan.

Awalnya, Presiden SBY mengatakan, bahwa namanya dicatut, dan minta diambil tindakan tegas. Tapi, faktanya sampai hari ini, tak ada tindakan apapun terhadap ‘tokoh’ utama bernama Anggodo itu.

Polisi pun secara khusus menggelar jumpa pers, usai dibukanya rekaman percakapan Anggodo dengan sejumlah pejabat publik di Mahkamah Konstitusi, dan secara jelas-jelas mengatakan Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Nanan Sukarna, menegaskan tidak ada cukup alat bukti yang dapat dijadikan dasar alasan menahan Anggodo Widjojo.

Desakan opini dari tokoh-tokoh masyarakat, kelompok-kelompok, serta berbagai kalangan yang menginginkan agar Anggodo di tahan, tak mendapatkan tanggapan (respons), bahkan Adnan Buyung Nasution, serta Tim Delapan, yang ditunjuk Presiden SBY, sudah meminta agar Anggodo ditahan, karena dikawatirkan akan melarikan diri ke luar negeri, tapi tak pernah dipenuhi oleh pihak kepolisian.

Ini hanya menggambarkan betapa sang ‘tokoh’ Anggodo memilikki posisi yang sangat kuat, dan tidak tersentuh oleh siapapun. Mengapa Anggodo menjadi sangat kuat? Apa yang menyebabkan Anggodo menjadi sangat kuat dan tidak tersentuh? Adakah tokoh yang sangat kuat dibelakang Anggodo, yang menyebabkan tokoh ini menjadi kalis dari semua tindakan hukum?

Dalam perkembangannya, terjadi peristiwa yang sangat paradok, dan semakin menguatkan posisi pihak-pihak yang ingin menghancurkan KPK. Kondisi ini menyebabkan pula dari kalangan yang menginginkan keadilan menjadi sangat skeptis. Rapat kerja Komisi III dengan Polri, yang berlangsung hingga Jum’at dini hari (6/11), yang lalu, justru Komisi III menunjukkan keberpihakannya kepada Polri.

Dan, rapat kerja itu, hanya menjadi ajang untuk mengklarifikasi Polri, dan sejumlah tokoh yang disebut-sebut oleh Anggodo, di dalam percakapan yang direkam oleh KPK. Sikap Komisi III itu, justru melahirkan kecaman dan sinisme dikalangan rakyat secara luas, yang ingin mendapat dukungan dari kalangan DPR, ternyata yang terjadi adalah pengingkaran.

Di mana Komisi III memberikan dukungan kepada Polri, sembari mengkritik dan menyepelekan KPK. Ilustrasi ini semakin menguatkan dugaan, kemungkinan betapa tidak berdayanya, kekuatan-kekuatan yang menjadi tumpuan rakyat menghadapi tokoh Anggodo, yang telah memainkan peranan penting, dan menyebabkan  ‘hitamnya’ lembaga penegak hukum di negeri ini.

Laporan Tim Delapan?

Di tengah kemelut antara KPK, Polisi dan Jaksa, kemudian Presiden SBY telah mengambil tindakan dengan membentuk Tim Delapan, yang dipimpin oleh Adnan Buyung Nasution, yang beranggotakan tokoh-tokoh yang memiliki kredibelitas yang tinggi, dan berusaha mengumpulkan fakta-fakta, yang kemudian telah menyerahkan hasil rekomendasinya kepada Presiden melalui Menko Polhukam Djoko Suyanto, dan selanjutnya Presiden menindaklanjuti dengan memanggil Kapolri Jendral Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supanji. Dan, Presiden meminta agar segera ditindak lanjuti rekomendasi Tim Delapan, yang dipimpin Adnan Buyung Nasution.

Diantara rekomendasi Tim Delapan itu, menyatakan bahwa fakta dan proses hukum yang dimiliki Kepolisian Negara RI tidak cukup untuk menjadi bukti bagi kelanjutan proses hukum terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra M.Hamzah. “Andai katapun ada tindak pidana dalam kasus tersebut, bukti yang dimiliki terputus, hanya dari aliran dana Anggodo Widjojo ke Ary Muladi”, ucap Adnan. Sementara itu, pihak Kajaksaan Agung telah mengembalikan BAP nya Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah kepada Polri, kerena dipandang belum cukup.

Lagi-lagi, ditengah-tengah meluasnya dukungan rakyat terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra M.Hamzah, yang menjadi personifikasi dari lembaga KPK, yang sekarang menjadi ‘dewa’ penyelamat itu, karena rakyat sudah tidak lagi percaya terhadap lembaga-lembaga penegak hukum, justru Komisi III DPR yang oleh Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat), membuat tiga kesimpulan rapat : Komisi III DPR RI mendesak Kejaksaan RI untuk menangani dua perkara dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto sesuai ketentuan perundang-undang yang berlaku, dan memutuskan kelanjutan ;pengananan perkara tersebut dan kasus-kasus lain yang ditangani kejaksaan sesuai kewenangan Kejaksaan RI sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan secara merdeka.   (Pasal 2 Ayat 2 UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Ri)”.

Artinya, kesimpulan rapat Komisi III yang dipimpin oleh Benny K.Harman ini bertolak belakang dengan pendapat Tim Delapan dan rekomendasi yang sudah disampaikan kepada Presiden SBY. Penolakan Tim Delapan, yang secara ekplisit menolak dilanjutkan pengadilan atas dua pimpinan KPK non aktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah.

Dalam raker itu, Jaksa Agung Hendarman Supanji menegaskan, alat bukti untuk kasus Bibit dan Chandra sudah cukup. Namun, jaksa masih mengembalikan berkas itu ke polisi karena ada sejumlah petunjuk yang belum dipenuhi. Hendarman juga menegaskan, rekomendasi Tim Delapan tidak akan mempengaruhi proses hukum yang dilakukan kejaksaan. “Kami akan bekerja berdasarkan alat bukti”, tegasnya.

Menangapi perkembangan konflik antara KPK, Polisi dan Kejaksaan, memberikan pandangannya, Ismed Hassan Putro Ketua Masyarakat Profesional Madani menilai kesimpulan Komisi III itu, menunjukkan bahwa mereka telah bergabung dengan polisi dan kejaksaan kluntuk bersama-sama berkonspirasi mengkrimilisasikan KPK. “Yang dilakukan Komisi III tidak hanya melawan akal sehat dan nurani masyarakat. Mereka juga telah mengkhianati cita-cita reformasi”, ungkap Ismed. (kompas, 11/11).

Pengakuan Wiliardi

Selain pernyataan Ary Muladi, yang jelas-jelas mengatakan tidak pernah bertemu dengan unsur pimpinan KPK, tapi perkembangan yang sangat menarik dan mengejutkan adalah pernyataan dari mantan Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan Komisaris Besar Wiliardi Wizar mengaku, bahwa berita acara pemeriksaan dirinya dikondisikan. Keterangan dalam BAP it disamakan dengan keterangan dalam BAP tersangka lain, Sigit Haryo Wibisono, yang tujuan sasarannya menjerat Antasari Azhar.

Kesaksian itu disampaikan oleh Wiliardi dengan nada suara yang hampir histeris, Selasa (10/11), saat hadir dalam sidang perkara pembunuhan berencana terhadap Direktur terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen dengan terdakwa mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar. Dalam kesaksiannya itu, Wiliardi bahwa perubahan-perubahan BAP itu atas perintah pimpinan polri. “Siapa pimpinan yang dimaksud?”, kata penasihat hukum. “Oleh karena yang ngomong bintang dua, ya Kapolrilah. Pimpinan saya, ya Kapolri-lah”, kata Wiliardi.

Selanjutnya, Wiliardi menjelaskan, ia sudah menandatangani BAP tanggal 29 April 2009. Namun, Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri (saat itu) Inspektur Jendral, Hadiatmoko (kini Staf Ahli Kepala Polri) mendatangi dirinya. “Saya minta kamu ngomong saja. Kami dijamin pimpinan Polri tiak akan dihukum, didisiplinkan saja”, kata Wiliardi, mengutip Hadiatmoko. Kemudian, pada pukul 00.30, Wiliardi mengaku diminta membuat untuk menjerat Antasari. Alasannya, BAP Wiliardi tanggal 29 April 2009 tak bisa untuk menjerat Antasari. Dan, Wiliardi telah mencabut seluruh pengakuannya dalam BAP itu. Dan, BAP yang telah dicabut itu ternyata dijadikan jaksa sebagai dasar dakwaan bagi Antasari.

Dari cerita Wiliardi dan Ary Muladi yang sudah ramai di media massa, termasuk dengan percakapan Anggodo Widjojo dengan sejumlah pejabat penegak hukum, perlahan-lahan mulai terkuak, sebuah skenario untuk ‘menghabisi’ KPK melalui berbagai alibi, seperti terkaitnya pimpinan KPK, mulai Antasari yang menjadi tersangka terlibat pembunuhan, sampai kasusnya Bibit Samad dan Chandra Hamzah, yang diduga menerima suap atau melakukan pemerasan.

Semua tujuannnya adalah hanya mengakhiri eksistensi KPK, yang sekarang sudah menakutkan siapa saja. Seperti yang pernah diungkap oleh Presiden SBY, ketika bertemu dengan pimpinan Harian Kompas, yang mengatakan KPK telah menjadi ‘super body’.

Siapa sejatinya yang memiliki skenario menghancurkan KPK ini? Dan, apakah ini ada kaitannya dengan gonjang-ganjing kasus Bank Century, yang mengakibatkan kerugian negara yang bernilai Rp 6,7 triliun, yang kasusnya sekarang menjadi perdebatan dan penyelidikan. Kemana sesungguhnya aliran dana Bank Century itu?

Tentu, yang menjadi tanda tanya besar, sampai hari Presiden tidak bertindak apa-apa terhadap kemelut diantara penegak hukum, dan membiarkannya KPK terus digerus oleh kasus-kasus yang diskenariokan itu. Mengapa? (m/berbagai sumber)