Menggugat Penjajahan Sumberdaya Air dengan Modus Privatisasi

Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.

Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.

***

Latar Belakang

Air merupakan bagian penting bagi kehidupan manusia dan alam semesta. Air adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang merupakan sumberdaya alam milik publik yang dapat dipergunakan seluruh umat manusia dengan bebas. Namun, saat ini air mulai langka di berbagai belahan dunia. Sejak tahun 1998, 28 negara di dunia telah mengalami kelangkaan air, bahkan angka ini diperkirakan akan naik menjadi 56 negara pada tahun 2025. Di Indonesia, krisis air bersih mulai dirasakan oleh penduduk ibu kota dan di beberapa wilayah di Pulau Jawa. Kenyataan ini sangat ironis, karena Indonesia adalah negara kepulauan dengan 470 Daerah Aliran Sungai (DAS) mengalir di seluruh Indonesia.

Beberapa wilayah Indonesia merasakan kesulitan mendapatkan akses air untuk keperluan pertanian, perkebunan atau bahkan untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagian pakar lingkungan berpendapat, krisis air disebabkan karena faktor kerusakan ekologis. Di banyak wilayah pedesaan, permukaan air bawah tanah jauh menurun, mata air-mata air tercemar dan persediaan menurun secara drastis, bahkan di tahun 2008 tercatat 64 DAS di beberapa wilayah Indonesia berada dalam keadaan kritis. Selain faktor kerusakan ekologis, beberapa pakar berpendapat bahwa krisis air berkenaan dengan privatisasi pelayanan pasokan air dan keterlibatan swasta dalam pengelolaan sumberdaya air. Sekitar 95% dari kegiatan-kegiatan pelayanan air ini masih dikendalikan oleh sektor publik, yang kemudian diserahkan pada pihak swasta.

Di Indonesia, privatisasi air dilegalkan oleh Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Lahirnya undang-undang ini pada 19 Februari 2004 diikuti dengan terbitnya sejumlah peraturan daerah (Perda) yang terkait dengan privatisasi air. Privatisasi air di Indonesia sangat berkontribusi terhadap krisis air bersih, karena UU No. 7 Tahun 2004 memberikan peluang privatisasi sektor penyediaan air minum, dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan usaha dan individu. Akibatnya, hak atas air bagi setiap individu terancam dengan agenda privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia.

Hal ini tentunya sangat merugikan masyarakat, karena tidak memiliki akses untuk air minum, bahkan air bersih dalam jumlah yang memadai. Oleh karena itu, penyediaan kebutuhan pokok seperti ini tidak dapat dibiarkan begitu saja kepada kekuatan-kekuatan pasar. Kebijakan pemerintah berkenaan dengan privatisasi air dapat dikatakan tidak sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Demikian halnya dengan pemanfaatan sumberdaya air, pemerintah harus pula mengoptimalkan pengelolaan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam tulisan berikut akan dibahas trend global berupa privatisasi air dan dominasi kapitalis, privatisasi air di Indonesia dan berbagai dampak negatifnya, serta kasus khusus privatisasi air yang melibatkan multi national corporation, MNC, Danone.

Trend Global: Privatisasi Air & Dominasi Kapitalis, MNC

Menurut perkiraan, sekitar tahun 2025 dua pertiga penduduk dunia tidak akan memiliki akses kepada air minum dalam jumlah yang memadai. Namun, bagi banyak perusahaan multinasional “krisis air” bagi kemanusiaan tersebut dilihat sebagai peluang ekonomi. Dengan begitu, konspirasi kaum kapitalis dalam penguasaan sumberdaya air, bukanlah sekedar isu. Majalah Fortune, edisi Mei 2000 menuliskan: Pada abad ke-21 air tampaknya akan mengambil peran yang dimainkan minyak pada abad ke-20, yakni menjadi komoditas bernilai yang menentukan kesejahteraan bangsa-bangsa. Namun, yang perlu diingat adalah air tidak seperti minyak, karena air tidak memiliki substitusi!

Sebelum membahas lebih lanjut bagaimana para kapitalis menjalankan agendanya, kita perlu melihat tentang potensi bisnis air. Secara global, MNCs berlomba-lomba menguasai bisnis air karena potensi keuntungan sekitar US$ 400 miliar hingga US$ 3 triliun per tahun (Laporan ICIJ, 2003). Pangsa air di dunia saat ini diperkirakan mencapai US$ 800 miliar, melibatkan 6% populasi dunia yang membayar kepada korporasi air untuk mendapatkan air. Pada tahun 2015, potensi keuntungan ini akan mencapai beberapa triliun dolar Amerika, jika privatisasi air minum milik pemerintah menjangkau 17% penduduk dunia. Dua korporasi papan atas dunia yang menguasai 70% pasar di sektor air adalah Vivendi Environment dan Suez Lyonnaise , keduanya dari Perancis. Jika pendapatan tahunan keduanya digabungkan akan mencapai US$ 70 miliar, termasuk sebesar US$ 10 miliar langsung dari jasa pelayanan air. Tahun 2001, hampir setengah pendapatan Suez sebesar US$ 38 miliar berasal dari perusahaan divisi airnya, Ondeo.

Bagi banyak orang, air tidak terpikirkan sebagai sebuah “komoditas” yang seluruhnya harus diperjualbelikan. Air selalu dilihat sebagai suatu ‘barang publik’ karena air sangat hakiki, bukan saja untuk kehidupan manusia, namun untuk keberlangsungan mahluk hidup di bumi. Sayangnya, dalam World Trade Organization (WTO) dan GATS-nya, penyediaan air diatur dengan sejumlah peraturan. Aturan-aturan tersebut memberi kemungkinan bagi perusahaan-perusahaan multinasional untuk “membeli dan menjual” air dalam suatu negara sesuai keinginan mereka. Hal yang paling penting dari peraturan baru itu adalah pelaksanaan privatisasi air.

Melalui privatisasi air, maka jaminan pelayanan hak dasar rakyat banyak atas air ditentukan oleh swasta dengan mekanisme pasar. Dalam hal ini, World Bank (Bank Dunia, BD) justru menyatakan bahwa manajemen sumberdaya air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai komoditas ekonomis, dan partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan (Bank Dunia, 1992). Menurut BD, air yang diperoleh masyarakat saat ini masih berada di bawah harga dan perlu dinaikkan. Untuk itu BD (didukung oleh Asia Development Bank, ADB) mendorong diterapkannya mekanisme harga yang mengadopsi apa yang disebut sebagai full cost recovery.

Secara singkat, full cost recovery dalam pengelolaan air merupakan suatu konsep dan cara yang diusung untuk mendapatkan keuntungan maksimal dari sumberdaya air. Konsep full cost recovery dilaksanakan melaui pemberlakuan privatisasi air. Namun dengan konsep ini konsumen harus menanggung seluruh biaya penyediaan air. Dengan demikian privatisasi air, sebagaimana yang telah terjadi di sejumlah negara, identik dengan kenaikan harga tarif air. Terlepas bahwa konsep ini merugikan bagi konsumen, dalam praktiknya konsep full cost recovery dan privatisasi telah terlaksana dengan mulus di seluruh dunia melalui berbagai cara.

Negara-negara kapitalis pengusung privatisasi air menggunakan berbagai instrumen untuk menyukseskan gagasan privatisasi air, baik melalui jalur resmi hubungan antar Negara, organisasi/fora internasional, maupun melalui berbagai tekanan politik dan ekonomi. Salah satu sarana ampuh yang dimanfaatkan adalah menggunakan organisasi-organisasi internasional seperti BD, ADB dan Intertional Monetary Fund (IMF), serta WTO, GATT, dll. Sebagaimana layaknya penjajah, negara-negara kapitalis, bekerjasama dengan MNC yang dimiliki, telah menghalalkan segala cara untuk mencapai target privatisasi air di seluruh dunia.

Dalam banyak hal, BD dan IMF, memberlakukan persyaratan bagi perolehan pinjaman yakni privatisasi penyediaan air dan banyak pelayanan lain. Sebuah kajian secara acak atas pinjaman-pinjaman IMF di 40 negara selama tahun 2000 mengungkapkan, bahwa 12 negara telah dipaksa melakukan privatisasi penyediaan air agar memperoleh pinjaman. Umumnya, negara-negara Afrika, negara-negara terkecil, termiskin, negara dengan banyak hutang yang tertimpa persyaratan-persyaratan ini. Lebih dari 5 juta penduduk mati setiap tahun di Afrika akibatnya minimnya akses air.

Laporan International Coalition of Investigative Journalist (ICIJ) menganalisa bahwa dari total US$ 20 miliar pinjaman BD ke sejumlah negara dalam periode 12 tahun (1990-2002) ditemukan 276 pinjaman berlabel water suplay atau ”penyediaan air”. Dalam kurun waktu tersebut, 30 persen di antaranya dibarengi dengan syarat adanya privatisasi air. Syarat adanya privatisasi ini kemudian meningkat dari tahun ke tahun. Pada periode 1990-1995 terdapat 21 pinjaman mensyaratkan adanya privatisasi sektor lain. Dan pada periode 1996-2002, angka ini meningkat menjadi tiga kali, yakni menjadi 61 pinjaman.

Perang besar menyangkut air pertama pada abad ke-21 terjadi di Bolivia, ketika Bank Dunia (2001-2002) menolak untuk membarui pinjaman US$25 juta kalau pengelolaan air minum tidak diprivatisasi. Setelah penggunaan air minum publik di kota Cochabamba dijual ke Bechtel, sebuah perusahaan besar AS, sewa air segera melonjak. Penduduk Cochabamba melakukan protes dalam demonstrasi besar-besaran berhari-hari yang akhirnya berujung pada mogok umum sehingga mematikan ekonomi kota dan Bechtel dipaksa untuk meninggalkan negara tersebut.

Privatisasi Air di Indonesia

Salah satu contoh privatisasi air menguntungkan bagi MNC adalah bagaimana Nestle (MNC asal Swiss) memanfaatkan air dari Danau Michigan di Amerika. Selain berbisnis dairy product, Nestle adalah perusahaan yang memiliki 68 buah perusahaan air botol. Dari bisnis air botol Danau Michigan, Nestle memperoleh keuntungan sekitar US$ 1,8 juta per hari. Di Indonesia, pada tahun 1997, sedikitnya 20 investor asing dan nasional telah antri menanti untuk melakukan investasi di sektor penyediaan air bersih di berbagai kota di Indonesia, dengan nilai total Rp 3,68 triliun. Diantara investor asing yang terlibat dan tertarik dalam bisnis ini seperti Suez Lyonnaise Des Eaux (Perancis) dan Thames Water (Inggris).

Prospek bisnis seperti disebut di atas adalah motivasi uatama dilakukannya privatisasi air. Privatisasi air sebagai salah satu pangkal permasalahan krisis air di Indonesia, bermuara pada pengesahan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Dengan pemberlakuan undang-undang ini, privatisasi sumberdaya air di Indonesia, baik oleh perusahaan swasta dalam negeri maupun asing semakin marak terjadi. Sebelumnya, berbagai pihak telah berupaya untuk membatalkan UU No 7 Tahun 2004 melalui uji materi pada Mahkamah Konstitusi. Tetapi harapan itu kandas karena MK menolak permohonan uji materi undang-undang tersebut.

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, agenda privatisasi dengan pengesahan UU No.7 Tahun 2004 didukung lembaga dunia, seperti BD, ADB, dan IMF. UU No.7 Tahun 2004 membuka peluang sebesar-besarnya terhadap privatisasi, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun perusahaan swasta, termasuk MNC. Serangkaian strategi dan langkah sistematis dengan melibatkan BD, ADB dan IMF gencar dilakukan untuk mendapatkan penguasaan atas air. Privatisasi SDA dengan mudah dapat diperoleh hanya dengan mengantongi izin pemerintah. Parahnya, praktek perizinan selama ini diwarnai korupsi dan menyampingkan hak masyarakat.

Dengan UU No.7 Tahun 2004, penyerahan pengelolaan air kepada swasta telah dimulai. Padahal, pada tahun 2002, Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB telah menegaskan bahwa hak atas air tidak bisa dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya. Dengan kata lain jaminan terhadap hak atas air bagi masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah. Ternyata rekomendasi PBB tersebut tidak berlaku di Indonesia.

Dampak Privatisasi Air di Indonesia

Privatisasi air antara lain menyebabkan hak masyarakat sekitar hutan yang selama ini mengambil air dari sumber air di wilayahnya kian terancam. Mereka harus rela membagi air yang selama turun temurun mereka ambil secara gratis, yang kemudian dikuasai swasta. Bahkan, bukan tidak mungkin, mereka pun harus membayar, tergantung pada kebijakan pemerintah setempat. Fakta hari ini menunjukkan, pemerintah daerah kerap mendongkrak pendapatan asli daerahnya (PAD) ketimbang kebutuhan masyarakatnya. Dalam hal ini, semakin menunjukkan adanya legitimasi pelanggaran HAM atas rakyat oleh negara.

Kebijakan privatisasi air membawa dampak menurunnya produktivitas pertanian dan tidak terpenuhinya kebutuhan air bagi masyarakat. Masyarakat pun menjadi sangat dirugikan karena harus membayar mahal untuk memperoleh akses air bersih. Kerugian yang dialami tidak hanya kerugian ekonomi, namun juga kerugian ekologis. Sebagai contoh, privatisasi air menyebabkan lebih dari 9.000 KK di Serang terancam kekurangan air baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk lahan sawah akibat dari pembangunan pembangunan pabrik air Danone seluas 100 hektar sawah yang subur di Padaricang untuk kemudian dikonversi menjadi sumur arthesis penghasil air. Akibat protes petani, maka kegiatan penyedotan air dihentikan pada September 2008.

Contoh lainnya adalah mengeringnya beberapa daerah aliran sungai (DAS). Dari 470 DAS di seluruh Indonesia, dengan luasan area 3 juta hektar, pada 2008 sebanyak 64 DAS atau seluas 2,7 hektar berada dalam kondisi sangat kritis. Diprediksi, angka ini terus meningkat setiap tahun jika eksploitasi sumberdaya air terus berlangsung. Pada 1984, hanya terdapat 22 DAS kritis dan super kritis; tahun 1992 meningkat menjadi 29 DAS kritis; tahun 1994 menjadi 39 DAS kritis; tahun 1998 menjadi 42 DAS kritis; tahun 2000 menjadi 58 DAS kritis; tahun 2002 menjadi 60 DAS kritis dan tahun 2008 meningkat menjadi 64 DAS kritis.

Bagaimana dampak nyata dari penerapan UU No.7 Tahun 2004 dapat ditelususri lebih lanjut pada dua sektor usaha kegiatan eksploitasi air yang diprivatisasi, yakni 1) dalam bentuk usaha proses distribusi air, dan 2) dalam bentuk usaha penyediaan air minum dalam kemasan (AMDK). Usaha proses distribusi air umumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan air minum daerah (PDAM) milik daerah, sedangkan usaha AMDK dijalankan tidak saja oleh perusahaan besar, termasuk MNC seperti Danone, tetapi juga perusahaan-perusahaan kecil yang menyebar di seluruh Indonesia.

Kasus PDAM

Sebelum pemberlakuan undang-undang suber daya air, negara-negara kapitalis, melalui BD dan ADB, telah berkeja untuk mendapatkan kesempatan bisnis dari proses distribusi air yang dilakukan PDAM. Dengan alasan tidak maksimal menyediakan air bersih, BD dan ADB mensyaratkan pinjaman kepada Indonesia agar melakukan peningkatan sarana PDAM dan privatisasi. Dalam hal ini Indonesia telah menerima sejumlah pinjaman untuk pembangunan proyek-proyek sarana PDAM di berbagai kota.

Proyek-proyek PDAM tersebut umumnya dibangun tanpa perhitungan bisnis yang benar dan kapasitasnya melebihi kebutuhan. Hasil dari program bantuan ini adalah, sekitar 246 PDAM milik negara bermasalah dan mempunyai hutang dan tidak mampu membayar hutang kepada BD dan ADB . Sekitar 250 PDAM milik negara diprivatisasi dengan menggunakan dana bantuan BD sebesar US$ 80 juta. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Perkotaan dan Pedesaan Wilayah Barat Direktorat Jenderal Perkotaan dan Pedesaan, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Totok Supriyanto.

Salah satu contoh kerugian negara dalam privatisasi PDAM adalah pada kerjasama bisnis berupa penjualan saham PDAM Jaya kepada Suez Lyonnaise Des Eux (Prancis) dan Thames Water (Inggris) pada tahun 1998. Penjualan saham tersebut menghasilkan dua perusahaan swasta baru dengan nama PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Thames PAM Jaya (TPJ). Kerjasama dilakukan dengan maksud untuk mencapai sasaran berupa meningkatkan produksi, distribusi, pengelolaan, dan kemampuan teknologi pengelolaan air di wilayah kerjasama.

Ternyata tujuan kerjasama tidak tercapai, terutama dalam upaya maksimalisasi penyediaan air bagi para konsumen. Yang terjadi adalah hal sebaliknya, selama penguasaan PAM oleh asing tersebut, tarif air PAM ibukota telah naik sebanyak 5 kali dalam kurun waktu 1998-2004. Pada tahun 2004, tarif PAM naik sebesar 30%. Selama bekerja sama dengan PDAM Jaya, PT Thames Pam Jaya hanya berinvestasi sebesar Rp 550 milyar. Di sisi lain, untuk mempercepat pengembalian investasi Thames, pemda harus berulangkali menaikan tarif PAM. PT Thames Pam Jaya pun terus mengeruk keuntungan melalui pengelolaan air di ibu kota, pada tahun 2006, pendapatannya mencapai Rp 617, 948 miliar, dan meningkat pada tahun 2007 hingga mencapai Rp 626, 734 miliar. (bersambung)

foto ilustrasi: tabloid harapan indah

*) Tentang Penulis:

Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.