Pakar Vulkanologi California: Gunung Anak Krakatau Masuki Fase Baru dan Mematikan

Puncak gunung ditutupi oleh erupsi yang sangat besar, dengan interaksi antara magma yang sangat panas, gas, dan air, yang menyebabkan ledakan-ledakan yang mengubah air menjadi uap.

Oleh karena Anak Krakatau dikelilingi lautan, terdapat interaksi yang lebih besar antara air dan material panas gunung api, yang memproduksi banyaknya uap dan erupsi yang terlihat kacau.

Gunung api dapat menciptakan kilat tersendiri.

Gunung api dapat menciptakan kilat sendiri, seperti yang terlihat pada gambar Anak Krakatau pada 23 Desember 2018.

Tabrakan batu yang terfragmentasi, abu vulkanik, dan air di udara dapat menciptakan muatan statis.

Gunung api itu sendiri terlihat penuh dengan kepulan erupsi.

Kilat itu tidak timbul dari awan badai, tapi dari erupsi yang melepas energi statis melalui proses yang disebut sebagai pemisahan muatan.

Tentu saja, gunung berapi tidak mengalami erupsi pada ruang hampa. Dampak erupsi tidak hanya dapat dirasakan secara lokal, tapi kadang-kadang dalam skala regional dan global.

Fase baru erupsi Anak Krakatau diikuti tragedi yang tidak biasa, yaitu tsunami.

Dengan data yang ada, nampaknya tsunami yang menerjang bagian barat pulau Jawa pada Sabtu (22/12) ini disebabkan oleh runtuhnya bagian Anak Krakatau yang memicu longsor bawah laut.

Pergeseran bebatuan diyakini sebagai faktor yang menyebabkan tsunami yang mematikan.

Bahaya gunung api adalah sebuah hal baru untuk Indonesia. Dampak dari erupsi terakhir Anak Krakatau harus menjadi pengingat bahwa kita perlu melakukan studi tambahan, pendidikan, dan upaya kesiapsiagaan lebih untuk menyelamatkan orang-orang dan bangunan yang ada selama gunung api meletus dan sesudahnya.

Jess Phoenix adalah ahli vulkanologi dari Amerika Serikat, salah satu penemu badan riset nirlaba, Blueprint Earth, dan seorang fellow di perkumpulan Royal Geographical. [dtk]