Revolusi Mesir dan Masa Depan Dunia Arab

Setelah kurang dari sepuluh menit dari pengumuman mantan Wakil Presiden Mesir, Omar Suleiman mengenai lengsernya mantan Presiden Mesir Mohammed Hosni Mubarak dari kekuasaannya, maka Qatar merupakan negara pertama di dunia yang mengeluarkan pernyataan yang jelas dan tidak kabur seperti sikap dari sebagian negara lainnya yang datang dari Dewan Pemerintah Amernya yang berbunyi :

"Bismillahirrahmanirrahim, Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan mesjid-mesjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya.

Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa,…(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan." (QS Al-Hajj [22]: 40-41).

Negara Qatar dengan sungguh-sungguh telah memantau perkembangan terbaru yang sedang berjalan di Republik Arab Mesir yang serumpun, dan mengungkapkan rasa hormatnya atas kehendak rakyat Mesir dan pilihan mereka, dan Qatar merasa salut kepada militer Mesir atas perannya yang besar dan sangat penting dalam mempertahankan Mesir dan bangsa Arab dan kepentingan rakyat Mesir.

Negara Qatar menganggap bahwa pengalihan kekuasaan ke Dewan Militer Tinggi merupakan langkah positif yang signifikan dalam pencapaian aspirasi rakyat Mesir untuk demokrasi, reformasi dan kehidupan yang layak. Negara Qatar mengharapkan akan kembalinya peran Mesir di dalam memimpin Dunia Arab dan Islam, mendukung dan menopang permasalahan-permasalahan dunia Arab dan Islam.

Qatar juga menegaskan komitmennya untuk menjalin hubungan baik dengan Republik Arab Mesir dan bekerja untuk kemajuan dan perkembangan Mesir untuk melayani kepentingan kedua negara dan rakyat keduanya yang bersaudara (Mesir dan Qatar).
Semoga Allah menyelamatkan Mesir dan rakyatnya dari semua bahaya. Hal ini bisa kita baca keterangannya dari beberapa sudut :

(1) Ayat Alquran yang menjadi pembukaan merupakan penjelassan yang mengacu kepada sunnatullah di dalam perubahan dan “at-tadafu” yang diwakili pada contoh revolusi Mesir yang mengubah sistem politik. Dan tugas kepemimpinan politik masa depan Mesir yang beragam untuk aspek keadilan dan reformasi kehidupan dengan berbagai macam aspeknya dan sudut hukum, politik dan bahkan agama.

(2) Penghormatan terhadap tentara Mesir untuk perannya dalam mendukung revolusi bangsa Mesir.

(3) Negara Qatar berharap dan berharap pula dua ummat, yaitu Arab dan Islam agar hubungan Mesir dengan Arab dan dunia Islam semakin membaik setelah memburuk selama tiga dekade terakhir mengenai perannya (peran Mesir) terhadap isu-isu dunia Arab seperti Palestina, Irak dan di tempat lainnya.

(4) Berharap untuk kembalinya Mesir memegang peranan vital untuk dunia Arab dan dunia Islam..

(5) Sebagian orang beranggapan bahwa jatuhnya rezim Presiden Hosni Mubarak telah menyelamatkan negara Mesir dari konspirasi yang bisa mendorong sebuah konflik atau perselisihan sektarian antara umat Muslim dan umat Kristiani. Informasi intelijen Barat mengungkapkan bahwa seorang mantan pejabat Mesir berada di balik rencana tersebut.

Dekade Mesir Kehilangan Peran Kepemimpinannya

Mesir telah menjadi negara lemah, baik dalam bidang ekonomi maupun sosial kemasyarakatan. Negara Mesir telah mundur dari perannya secara regional maupun internasional sebagai negara Arab terbesar sejak era Anwar Sadat dan semakin memburuk situasinya selama era Hosni Mubarak.

Dalam sebuah laporan yang dirilis oleh Pusat Global Finacial Integrity di Amerika bulan lalu menyatakan, "Sesungguhnya kejahatan dan korupsi merugikan Mesir sekitar $ 6 Miliar pertahun, dengan perhitungan lainnya bahwa Mesir telah kehilangan (merugi) sekitar $ 57,2 Miliar selama periode antara 2000-2008. Penulis laporan tersebut mengatakan bahwa “Kelemahan pemerintah yang memberikan kesempatan penyuapan merajalela, korupsi, kejahatan dan penggelapan pajak, karena itu banyak uang milyaran dollar lari ke luar negeri setiap tahunnya.

Sesungguhnya kerugian keuangan pertahunnya lah yang menghambat kemampuan pemerintah untuk mendorong pembangunan ekonomi dan mengurangi tingkat kemiskinan, sehingga membuat sistem ini tidak mampu lagi yang akhirnya mendorong Mesir untuk menjadi seperti saat ini, tidak ada stabilitas politik dan sosial.”

Maka terjadilah revolusi Mesir dengan harapan akan terjadinya perubahan di Mesir di masa mendatang. Hal ini dibuktikan dengan keluarnya puluhan juta rakyat Mesir turun ke jalan-jalan untuk merayakan mundurnya Mubarak yang tidak pernah mereka rasakan sejak lama.

Detik-detik itu menggembirakan dunia Arab, dimulai dari Samudera Atlantik sampai merambah Teluk Arab, sebagai ungkapan rasa gembira atas apa yang terjadi. Di sini saya ingin merujuk kepada perkataan Prof. DR. Hamid Rabee, semoga Allah merahmatinya (1924-1989 M), seorang ilmuwan politik Mesir dan kepala fakultas ilmu politik di Universitas Kairo ketika ia mengatakan pada tahun tujuh puluhan bahwa rencana Zionis dan juga kekuatan Barat terhadap Mesir terkonsentrasi pada tiga hal :

(1) Penghancuran Mesir dari dalam : Dengan cara menggelembungkan elemen kelemahan di bagian dalam tubuh Mesir dengan cara meruntuhkan ekonomi dan mendorongnya menjadi krisis nilai-nilai politik. Strategi ini telah bekerja melumpuhkan tiga elemen perubahan di Mesir selama tiga atau empat dekade, yaitu : para pemuda, para pemikir dan para pemimpin, sampai terjadilah revolusi.

(2) Mengisolasi Mesir dari negara-negar Arab di sekitarnya.

(3) Menciptakan keadaan lumpuh pada fungsi regional Mesir. Strategi ini telah berhasil, dan para pemimpin Mesir selama dekade terakhir tidak mempergunakan kekuatan kepadatan penduduk yang terdiri dari para pelajar, para ulama dan intelektual. Posisi Mesir yang stattegis berubah menjadi hanya tempat saja, seperti dikatakan ilmuwan politik Mesir Gamal Hamdan. Menurut dia, Mesir tidak menggunakan kekuatan populasi ini dan letaknya yang strategis untuk kebaikan atau kepentingan Arab dan Islam, bahkan untuk kepentingan rakyatnya sendiri yang hidup dalam kemiskinan.

Al-Jazeera dan Mesir

Ketika terjadi revolusi Tunisia baru-baru ini, media asing yang ada di Tunisia tidak hadir selama tiga dekade ini, tidak ada kebebasan pers dan tidak ada kebebasan politik dan bahkan tidak ada kebebasan beragama di Tunisia.

Oleh karena itu, ketika para pemuda Tunisia bergerak untuk menggulingkan pemerintahan Zainal Abidin bin Ali, Al-Jazeera TV tidak hadir di Tunisia, tetapi hanya melalui dial-up telepon dengan para korespondennya dan puluhan aktivis, wartawan, politisi dan pakar hukum dan melalui video foto yang tersedia Al-Jazeera biasa melakukakn.

Mereka biasa meliput peristiwa yang merupakan faktor untuk mendeteksi apa yang sedang terjadi dan mendorong efek cepatnya yang langsung bersinggungan dengan peristiwa-peristiwa itu, di desa-desa dan kota-kota di Tunisia, sampai Bin Ali terjatuh (terguling dari kekuasaannya).

Al-Jazeera bukan sebuah partai dan bukan pula sebuah gerakan politik, hanya sebatas media massa yang matang secara pemikiran dan visi dan independen. Justru para karyawannya mewakili semua bentuk pemikiran, dari aliran Islam, nasionalis dan liberal. Al-Jazeera mencerminkan beragam pemikiran di negara Arab dan Islam yang merupakan macam-macam koeksistensi positif yang hidup di bawah satu atap untuk melayani umat seperti yang diungkapkan oleh siaran Al-Jazeera selama hari-hari revolusi Mesir dengan slogan yang berkali-kali, "Al-Jazeera Detak Jantung Umat."

Apa yang dilakukan oleh Al-Jazeera selama 15 tahun terakhir merupakan objek penelitian sejumlah besar mahasiswa fakultas ilmu politik, media dan wacana perpolitikan. Dan apa yang dipersembahkannya selama revolusi Mesir melainkan sebuah ekspresi dari perkembangan di masyarakat Arab.

Wacana komunikasi Al-Jazeera telah berkembang selama hari-hari revolusi merefleksikan perkembangan yang terjadi. Maka slogan peliputan di awal revolusi di layar kaca adalah : "Jumat Kemarahan," kemudian menjadi "Mesir Menceritakan Dirinya Sendiri," kemudian menjadi, "Mesir : Revolusi Rakyat" dan berubah menjadi, "Mesir : Menangnya Rakyat."Dan akhirnya slogan yang bergaung berbunyi, ” Mesir Revolusi”

Al-Jazeera telah berusaha menamai seluruh peristiwa di Mesir dengan nama-nama yang tepat, yang mencerminkan apa yang terjadi di jalan, meskipun kantornya telah ditutup oleh pemerintah yang lalu dan para korespondennya ditangkapi beberapa kali, kebalikan dari media Barat pada umumnya yang peliputannya terbatas (tidak begitu luas) atas Revolusi Mesir ini tetapi mereka sangat mendukung gerakan rakyat di Georgia dan Ukraina yang membawa para pemimpin baru setia ke Barat.

Apa yang kita lihat di Al-Jazeera merupakan "laboratorium untuk pendidikan politik" sebuah keadaan yang tidak terjadi sebelum era televisi dan internet. Pada zaman dahulu, para ilmuwan politik fokus pada perbedaan antara tiga jenis bahasa atau wacana politik dan pemikiran : Wacana kepada elit penguasa politik dan non penguasa, wacana kepada para intelektual dan para ulama, dan wacana kepada semua rakyat.

Akan tetapi pada era media massa, terutama ketika puluhan atau bahkan ratusan juta penonton menyaksikan detik-detik revolusi Mesir, tiga bahasa atau wacana politik itu telah diberitakan semuanya melalui saluran Al-Jazeera, maka tidak ada lagi bahasa untuk para elit politik, untuk rakyat jelata dan untuk pemerintah.

Hal ini menjadikan orang di jalan mendengar debat hukum misalnya antara: "legitimasi konstitusional" dan "legitimasi rakyat atau revolusioner," atau debat tentang isi Konstitusi Mesir dan hak-hak presiden beserta kewenangannya. Atau perbedaan antara pelimpahan wewenang dan pengunduran diri.

Apakah langkah itu konstitusional dan siapa yang akan menerima kekuasaan setelah lengser, atau contoh lain perbedaan antara “negosiasi” dan “dialog” dengan pemerintah, atau perbedaan antara demonstrasi yang intinya hanya “menuntut” pemerintah dengan “demonstrasi revolusi” yang memutuskan dan memaksa kepada untuk pemerintah melakukan apa yang rakyat inginkan, bukan cuma memohon dan meminta tolong agar dilakukan beberapa langkah terbatas.

Apa yang kita lihat di Al-Jazeera yang merupakan ceramah-ceramah dalam ilmu politik yang tidak kalah penting daripada ceramah yang disampaikan para profesor ilmu politik dan hukum konstitusional yang merupakan informasi bagi para mahasiswa di perguruan tinggi perguruan tinggi.

Hal ini menjadi jelas, khususnya ketika pembicara dari Al-Jazeera terdiri dari para hakim, para ahli hukum dan profesor pemikiran politik seperti Saifuddin Abdul Fattah, Azmi Bishara, Bashir Nafi dan lain-lainnya, dan ketika wacana mereka bersatu dengan wacana paara ulama, seperti Syaikh Al-Qaradawi.

Dengan demikian, istilah “laboratorium” yang dulu hanya sebatas istilah di ilmu alam, biologi, kimia dan fisika, kita telah melihat selama minggu-minggu terakhir ini sudah ada “laboratorium” ilmu politik di Al-Jazeera.

Hal ini bisa dilihat dari wacana atau bahasa pemimpin dan reaksi dari para demonstran, dari waktu ke waktu setelah pidato Mubarak dan Omar Suleiman, tentara dan para pemimpin dunia lainnya, sebagai respon dan efek komunikasi politik bisa langsung kelihatan di siaran Al-Jazeera setelah disampaikan. Kemudian muncul para ahli, politisi dan aktivis untuk mengomentarinya, dan langsung slogan berubah yang dibawa para pemuda demonstran setiap hari bahkan setiap jamnya.

Para demonstran pemuda membahas semua perkembangan dan memimpin reaksi pada setiap posisi yang datang dari semua pihak, selain dari peliputan dari kabupaten-kabupaten dan desa-desa, walaupun terbatas, terkadang hanya lewat telepon karena Al-Jazeera dilarang bekerja sampai Kamis malam yang lalu, dan dengan cara ini berinteraksilah seluruh peristiwa di daerah terpencil dengan apa yang terjadi di Kairo dan mereka mendengar proses demonstrasi dan pengorbanan para demonstran di mana-mana. Bukankah hal ini merupakan laboratorium hidup dalam ilmu politik? (bersambung)

(Sohaib Jassim/Kepala Perwakilan Aljazeera Jakarta)