Fraksi Gerindra dan Fraksi PPP yang Masih Setuju RUU Gubernur Jakarta Ditunjuk Presiden

  1. Golkar

Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Golkar Firman Soebagyo mengatakan pihaknya menolak wacana penunjukan gubernur Jakarta oleh Presiden usai tak lagi menjadi ibu kota lewat RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Firman mengatakan, pihaknya mengusulkan agar mekanisme pemilihan gubernur Jakarta dan wali kota dipertahankan seperti saat ini, dimana gubernur dipilih lewat pemilu dan bupati wali kota ditunjuk gubernur.

“Sikap Fraksi Partai Golkar Provinsi Daerah Kusus Jakarta tetap seperti sekarang gubernur dan wagub dipilih langsung seperti sekarang, dan wali kota dan bupati ditetapkan gubernur,” ucap Firman, Kamis (7/12).

Firman menilai perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah akan banyak mengubah regulasi. Proses itu menurut dia membutuhkan waktu panjang di saat RUU DKJ yang harus segera disahkan pada 2024.

Menurut Firman, Golkar juga menolak usul agar pemilihan bupati maupun wali kota melalui pemilihan langsung. Pihaknya berpendapat perubahan mekanisme tersebut juga akan mengubah aturan atau undang-undang yang lain.

“Oleh karena itu Golkar melihat dua kondisi tidak memungkinkan dengan waktu yang pendek ini,” tegas Firman.

  1. PKS

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) secara tegas menolak hadirnya Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) yang kini telah menjadi inisiatif DPR. Sebab, aturan didalamnya memuat jabatan gubernur dan wakil gubernur bakal ditetapkan oleh Presiden RI alias tidak melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Juru bicara PKS Muhammad Iqbal menyatakan, penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh Presiden merupakan sebuah kebijakan yang berpotensi menjadi ajang Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Sebab, tak ada aspirasi publik dalam menentukan kepala daerah di Jakarta.

“Usulan ini tentu saja menjadi sebuah kemunduran bagi demokrasi, jumlah penduduk Jakarta yang mencapai 12 juta jiwa dengan APBD hampir Rp 80 triliun harus dipimpin orang yang berkompeten dan memiliki legitimasi oleh rakyat, bila ditunjuk maka berpotensi menjadi ajang KKN,” kata Iqbal kepada wartawan, Rabu (6/12).

Hal yang tak mungkin terjadi, Presiden RI ke depan bisa menunjuk koleganya untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur Jakarta.

“Bisa saja suatu saat Presiden atau Partai pemenang menunjuk keluarga, kerabat atau orang yang tidak memiliki kompetensi memimpin dan ini adalah sebuah celah terjadinya KKN yang melawan amanat reformasi,” tegas Iqbal.

  1. PKB

Wakil Ketua DPR RI yang juga cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menegaskan, pihaknya menolak rencana aturan gubernur dan wakil gubernur Jakarta ditunjuk dan diberhentikan Presiden, sebagaimana tertuang dalam draf RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ).

“Kami [PKB] menolak total,” ucap Cak Imin di Kabupaten Bireuen, Aceh, Rabu (6/12).

Cak Imin menyebut bahwa mayoritas fraksi akan menolak aturan itu. Meski, saat ini hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menyatakan sikap menolak RUU DKJ.

Ketum PKB ini juga menekankan kepala daerah yang dipilih melalui hak prerogatif presiden hanya membahayakan sistem demokrasi dan ruang demokrasi yang sudah terbentuk saat ini dijaga dan terus diperbaiki.

“Ya itu bahaya, bahaya apabila dalam posisi yang menuju persiapan demokrasi yang lebih baik, harus diberi ruang yang lebih baik lagi,” cetus Cak Imin.

  1. Demokrat

Fraksi Partai Demokrat juga menolak draf RUU DKJ, yang salah satu isinya gubernur dan wakil gubernur dipilih oleh Presiden. Ketua DPD Partai Demokrat Jakarta Mujiyono menilai, hal tersebut sebagai salah satu upaya mencabut suara rakyat.

“Dasar dari Sistem demokrasi adalah rakyat-lah yang menentukan siapa yang diberikan amanah untuk menjalankan pemerintahan. Dengan penunjukan Kepala Daerah artinya hak masyarakat untuk menentukan pilihannya dicabut. Jangan pernah berniat mencabut suara rakyat tersebut,” ucap Mujiyono, Jumat (8/12).

Ia menilai, gubernur Jakarta yang ditunjuk oleh Presiden merupakan salah satu kemunduran demokrasi. Dengan rakyat memilih pemimpin, maka itu akan menciptakan legitimasi yang kuat.

“Legitimasi yang kuat sangat diperlukan untuk mengatasi berbagi kompleksitas permasalahan di Jakarta, apalagi nantinya Jakarta akan menjadi pusat perekonomian dan global city,” pungkas Mujiyono. (sumber: fajar)

Beri Komentar