Soal Surat Terbuka Denny Indrayana untuk Pemakzulan Jokowi, Dr. Tifa: Layak Diviralkan, Rakyat Indonesia Cerdas, Cuma Buzzer yang Bodoh

eramuslim.com – Kini, surat terbuka yang ditulis oleh mantan Wamenkumham, Denny Indrayana, yang menyerukan kepada Pimpinan DPR untuk melakukan hak angket terhadap Presiden Joko Widodo menjadi topik hangat di kalangan masyarakat.

Banyak orang yang memberikan pendapatnya terkait surat tersebut, termasuk Dokter Tifa atau Tifauzia Tyassuma. Menurut Dokter Tifa, surat dari Denny patut untuk diviralkan.

“MasyaAllah. Ini layak diviralkan seviral-viralnya. Rakyat Indonesia cerdas. Rakyat Indonesia tidak bodoh!,” kata Dokter Tifa dalam unggahannya di Twitter, Rabu, (7/6/2023).

Lebih lanjut, pegiat media sosial ini menyindir para buzzer yang selama ini membela pemerintahan Presiden Joko Widodo.

“Cuma Buzzer yang bodoh dan biarkan mereka termakan kebodohannya sendiri. Ayo Rakyat Cerdas, bangun! Silakan kalian analisis sendiri, mana letak kebenaran, mana letak kebathilan,” tandasnya.

Sebelumnya diberitakan, Denny menyebut Jokowi sudah layak menjalani proses pemeriksaan impeachment (pemakzulan) karena sikap tidak netralnya alias cawe-cawe dalam Pilpres 2024.

“Sering saya katakan, sebagai perbandingan, Presiden Richard Nixon terpaksa mundur karena takut dimakzulkan akibat skandal Watergate. Yaitu, ketika kantor Partai Demokrat Amerika dibobol untuk memasang alat sadap. Pelanggaran konstitusi yang dilakukan Presiden Jokowi jauh lebih berbahaya, sehingga lebih layak dimakzulkan,” kata Denny dalam surat terbukanya kepada DPR.

Dia membeberkan tiga dugaan pelanggaran impeachment, yang menurutnya patut diselidiki oleh DPR melalui hak angket.

Pertama, Presiden Jokowi menggunakan kekuasaan dan sistem hukum untuk menghalangi Anies Baswedan menjadi calon presiden.

Menurutnya, bukan hanya Jusuf Wanandi (CSIS), yang dalam acara Rosi di Kompas TV, haqul yakin memprediksi bahwa pihak penguasa akan memastikan hanya ada dua pasion saja yang mendaftar di KPU untuk Pilpres 2024.

Dia mengaku sudah lama mendapatkan informasi bahwa memang ada gerakan sistematis menghalang-halangi Anies Baswedan.

Denny mengaku pernah bertanya kepada Rachland Nashidik alasan Presiden Keenam SBY di pertengahan September 2022 menyatakan akan turun gunung mengawal Pemilu 2024.

Menurut Rachland kata Denny, hal itu karena seorang tokoh bangsa yang pernah menjadi Wakil Presiden menyampaikan informasi yang meresahkan kepada Pak SBY. Sebelumnya, sang tokoh bertemu dengan Presiden Jokowi dan dijelaskan bahwa pada Pilpres 2024 hanya akan ada dua capres, tidak ada Anies Baswedan yang akan dijerat kasus di KPK.

Dikatakan, Hak Angket DPR harus dilakukan untuk menyelidiki, apakah ada tangan dan pengaruh kekuasaan Presiden Jokowi yang menggunakan KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian, untuk menjegal Anies Baswedan menjadi kontestan dalam Pilpres 2024.

Kedua, Presiden Jokowi yang membiarkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, mengganggu kedaulatan Partai Demokrat, yang dapat menyebabkan Anies Baswedan tidak dapat maju sebagai calon presiden dalam Pilpres 2024.

Menurut Denny, tidak mungkin Presiden Jokowi tidak tahu, Moeldoko sedang cawe-cawe mengganggu Partai Demokrat, terakhir melalui Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung.

“Anggaplah Presiden Jokowi tidak setuju, dengan langkah dugaan pembegalan partai yang dilakukan oleh KSP Moeldoko tersebut, Presiden terbukti membiarkan pelanggaran Undang-undang Partai Politik yang menjamin kedaulatan setiap parpol,” tutur Mantan Wamenkumham ini.

“Lucu dan aneh bin ajaib ketika Presiden Jokowi membiarkan saja dua anak buahnya berperkara di pengadilan, membiarkan Kepala staf presiden Moeldoko menggugat keputusan yang dikeluarkan Menkumham Yasonna Laoly. Jika tidak bisa menyelesaikan persoalan di antara dua anak buahnya sendiri, Jokowi berarti memang tidak mampu dan tidak layak menjadi Presiden,” sambungnya.

Lebih jauh dikatakan, hak angket DPR harus dilakukan untuk menyelidiki, apakah Presiden Jokowi membiarkan atau bahkan sebenarnya menyetujui—lebih jauh lagi memerintahkan—langkah KSP Moeldoko yang mengganggu kedaulatan Partai Demokrat.

Dugaan pelanggaran ketiga yakni, Presiden Jokowi disebut menggunakan kekuasaan dan sistem hukum untuk menekan pimpinan partai politik dalam menentukan arah koalisi dan pasangan capres cawapres menuju Pilpres 2024.

Dijelaskan, berbekal penguasaannya terhadap Pimpinan KPK, yang baru saja diperpanjang masa jabatannya oleh putusan MK, Presiden mengarahkan kasus mana yang dijalankan, dan kasus mana yang dihentikan, termasuk oleh kejaksaan dan kepolisian.

Bahkan kata dia, bukan hanya melalui kasus hukum, bahkan kedaulatan partai politik juga diganggu jika ada tindakan politik yang tidak sesuai dengan rencana strategi pemenangan Pilpres 2024. Suharso Monoarfa misalnya diberhentikan sebagai Ketua Umum partai.

“Ketika saya bertanya kepada seorang kader utama PPP, kenapa Suharso dicopot, sang kader menjawab, ada beberapa masalah, tetapi yang utama karena ‘Empat kali bertemu Anies Baswedan’,” tuturnya.

Dia memaparkan, ketika Soetrisno Bachir menanyakan, kenapa PPP tidak mendukung Anies Baswedan padahal mayoritas pemilinnya menghendaki demikian, dan akibatnya PPP bisa saja hilang di DPR pasca Pemilu 2024. Arsul Sani menjawab, ‘PPP mungkin hilang di 2024 jika tidak mendukung Anies, tetapi itu masih mungkin. Sebaliknya, jika mendukung Anies sekarang, dapat dipastikan PPP akan hilang sekarang juga,’ karena bertentangan dengan kehendak penguasa.

Ditegaskan lagi, hak Angket DPR harus dilakukan untuk menyelidiki, apakah Presiden Jokowi menggunakan kekuasaan dan sistem hukum untuk menekan pimpinan partai politik dalam menentukan arah koalisi dan pasangan capres-cawapres.

“Meski sadar bahwa konfigurasi politik di DPR saat ini sulit memulai proses pemakzulan, sebagai warga negara yang mengerti konstitusi, saya berkewajiban menyampaikan laporan ini. Saya tidak rela UUD 1945 terus dilanggar oleh Presiden Joko Widodo demi cawe cawenya, yang bukanlah untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi dalam pandangan saya adalah semata untuk kepentingan pribadi dan demi oligarki bisnis di belakangnya,” tutupnya.

 

(Sumber: Fajar)

Beri Komentar