Akhir Ahmadinejad?

Siapapun yang tertarik mengamati Iran cenderung akan segera mengambil kesimpulan bahwa negeri ini terbagi dalam dua eskalasi besar yang menonjol: politik fundamentalis dan moderat sekuler. Dalam kenyataannya, perjuangan untuk masa depan Iran adalah perkelahian tiga arah yang dilakukan oleh berbagai cabang konservatif yang mengontrol parlemen, presiden, dan teokrasi.

Gerakan Hijau mungkin telah terhenti, tetapi oposisi parlemen untuk Presiden Mahmoud Ahmadinejad tumbuh lebih kuat dan lebih tegas dibandingkan tahun lalu. Ini—tentu, apa yang terjadi di Iran—selalu tak pernah bisa lepas dari Pemimpin Agung Ali Khamenei, yang takut bahwa upaya parlemen untuk menyatakan diri melawan presiden juga akan mengorbankan basis kekuasaannya sendiri.

Sebenarnya, ini bukan pertikaian yang pertama antara para pemimpin Iran. Pada bulan Juli 2009, legislator memperingatkan Ahmadinejad bahwa mereka secara terang-terangan akan berusaha mengusirnya sebagai chief executive jika ia terus bertindak secara otokratis. Tanggapan Ahmadinejad? Ia segera menyatakan bahwa cabang eksekutif adalah yang paling penting dari pemerintah.

Ahmadinejad juga telah bentrok dengan anggota parlemen atas hak prerogatif untuk mempengaruhi kegiatan Bank Sentral. Kesulitan keuangan yang diderita Iran—namun sama sekali bukan embargo dari Amerika dan negara-negara Barat!, namun sebagian karena salah urus—wakil-wakil terpilih mereka menyalahkan presiden dan birokratnya sebagai tertuduh.

Ini menjadi perebutan kekuasaan yang begitu telanjang dalam kemasan ideologi. Ahmadinejad dan para pengikutnya di eksekutif pemerintah Iran semakin merapat pada jalur referensi nasionalisme sekuler. Misalnya saja, mereka baru saja merayakan sebuah pameran menghormati Cyrus yang Agung, pendiri Kekaisaran Persia lebih dari 2.500 tahun yang lalu. Mereka juga menghukum para ulama berpengaruh yang dianggap telah mengurangi kebesaran Iran, dan mendorong pemisahan agama dari pemerintah. Sementara itu jurubicara parlemen Ali Larijani dan para pendukungnya di legislatif menampilkan diri sebagai penganut tradisi fundamentalis Syiah—dan harap dicatat bahwa Syiah sama sekali bukan Islam, karena sudah berbeda secara aqidah.

Tapi pada akarnya, pertikaian ini terjadi karena perbedaan strategi politik yang pragmatis. Pada masa stagnasi ekonomi, semua pemain kekuasaan Iran bersaing untuk meletakkan stempel mereka pada krisis nasional.

Ahmadinejad jelas, memegang kartu terbaik dalam permainan berisiko tinggi ini. Sang presiden, yang mempunyai kepala staf bernama Esfandiar Rahim Mashaei, telah membangun dasar kekuasaan yang tangguh dalam Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC), paramiliter Basij, dan birokrasi sipil. Ulama, termasuk Khamenei dan Dewan Ulama Syiah, menyelaraskan pemilu dan undang-undang terhadap prinsip-prinsip Revolusi Iran, yang sekarang tampaknya perlu dukungan Ahmadinejad lebih daripada yang dibutuhkan oleh Ahmadinejad sendiri terhadap mereka.

Para mullah itu ingat, mereka memilih Ahmadinejad menjadi presiden pada tahun 2005, dan kembali mendukungnya selama Pemilu 2009, dan begitu juga terkait legitimasi mereka sendiri dengan kesuksesan presiden yang terkenal dengan sesumbarnya terhadap Amerika dan Israel itu. Ahmadinejad sadar betul, bahwa hal itu akan segera menjadi masa lalu; tak ada periodesasi kepresidenan setelah dua kali berturut-turut.

Khamenei sadar bahwa Ahmadinejad adalah budidaya dukungan, atas dasar nasionalisme sekuler, dari antara pelayanan militer dan sipil materialistis. Di sisi lain, Khamenei juga tahu bahwa Larijani, merupakan saudara kepala cabang yudisial pemerintah Iran dan keluarganya juga merupakan keturunan semacam ulama besar, adalah sebuah nama lain. Larijani memiliki cukup pengaruh di kalangan konservatif Syiah di parlemen daripada dalam hirarki administrasi atau presiden.

Namun, apakah Larijani harus menunggu empat tahun lebih lagi? Khamenei tampaknya sedang berpikir menyiapkannya untuk presiden dalam menghadapi impeachment, dan ini adalah sebuah aliansi taktis bukan permanen. Jika Ahmadinejad terus merusak velayat-e faqih yang begitu sakral dalam laju pemerintahan Iran, Khamenei jelas tidak akan ragu untuk menaikkan semua saingan Ahmadinejad. Dan bahkan ada alasan yang lebih mendasar bagi Khamenei untuk menghindari konfrontasi dengan presiden binaannya itu. Baik parlemen dan sang pemimpin tertinggi sepertinya kekurangan sarana untuk menegakkan impeachment terhadap Ahmadinejad. Ketika Presiden Abolhassan Bani Sadr diberhentikan pada tahun 1981, yang terjadi hanya otoritas IRGC yang membuat kejatuhannya secepat mungkin. Sekarang, bagaimanapun, IRGC serta paramiliter Basij terbagi dalam loyalitas mereka antara pemimpin tertinggi dan presiden. Pilihannya? Sejauh ini, mullah. Namun jangan dilupakan pula bahwa otoritas pribadi Khamenei sendiri telah begitu terkikis sejak melutusnya protes publik akhir 2009 lalu.

Bentrokan-bentrokan ini memiliki konsekuensi serius terhadap kebijakan luar negeri Iran. Upaya Ahmadinejad akan kesepakatan nuklir dengan Barat—lagi-lagi!—gagal tahun lalu. Namun, di bawah tekanan ekonomi yang jauh lebih besar, faksi-faksi yang berkuasa di Iran terbukti tidak lagi bisa bersatu di belakang kesepakatan yang akan bermanfaat bagi negara mereka sendiri.

Ahmadinejad telah menggunakan liberalisasi sosial sebagai cara untuk menopang dukungannya sepanjang tahun lalu—dengan mendorong keterlibatan perempuan dalam politik, atau membebaskan para pemuda dalam berpakaian, namun menuai banyak protes dan kecaman dari kalangan teokrat Syiah dan anggota parlemen.

(sa/foreignpolicy)