Dahlan Iskan: PPKM da Lopez

Kini saya mendukung apa pun yang akan dilakukan pemerintah. Hanya diterapkan PPKM pun saya dukung. Pun jikalau PPKM hanya dilakukan seadanya, misalnya 25 persen dari seharusnya.

Demikian juga, misalkan, bulan depan PPKM diakhiri. Lalu dimunculkan istilah yang baru lagi. Saya pun tidak akan mengeluh. Saya menyadari: mengeluh dan resah hanya merugikan diri sendiri.

Saya masih cukup terhibur melihat banyak baliho Mbak Puan di berbagai sudut kota Surabaya. Pertanda Mbak Puan tidak sedang ghosting seperti yang digunjingkan di medsos.

Konsultan baliho itu cukup cerdas. Setidaknya bisa memahami perasaan rakyat. Tidak banyak kata di situ. Tidak banyak ajakan. Tidak banyak slogan politik.

“Jaga Iman dan jaga Imun”. Hanya itu yang diserukan. Tidak terlihat ada maksud agar ratingnya sebagai calon presiden sedikit lebih baik dari angka sepatu anak balita.

Tentu sang konsultan tahu: rakyat lagi muak politik. Pun di Malaysia. Di sana video yang menjerit dan memaki politisi sangat viral.

Di sini sikap anti politik itu cukup diwakili film musikal berjudul DPR –meski orang seperti saya sebenarnya sangat menunggu Iwan Fals atau Slank.

Film musikal dari kelompok Jovial da Lopez ini cocok dengan suasana batin sekarang: mengkritik sambil menghibur. Toh nyatanya masyarakat memang lebih peduli acara gosip bintang film daripada uang Rp 1.000 triliun.

Jovial da Lopez lahir di San Francisco. Umur 31 tahun. Ia sarjana MIPA Universitas Indonesia. Ayahnya Flores, ibunya Manado. Jovial da Lopez yang menjadi sutradara musikal itu. Ia juga YouTuber terkenal dengan tema parodi. Ia pernah lama di Amerika, Norwegia, India, Denmark, dan negara asing lainnya.

Tapi saya kembali ingat pada tokoh-tokoh yang selama ini berada di garis tebal. Mengapa bisa menyuarakan medsos di seberang ide pemerintah. Itu menimbulkan pertanyaan: ada apa.

Tentu tidak ada apa-apa. Sepanjang perkawinan Lesti masih ditunda. Atau Ardi Bakrie dan Nia Ramadhani masih berstatus suami-istri.[rmol]

Penulis: Dahlan Iskan