Dwitunggal VS Dwitanggal

Kehadiran Jokowi mendekonstruksi citra politik Orde Baru yang otoritarian dan memunculkan citra baru yang sederhana dan merakyat. Tapi, era Jokowi bisa jadi menjadi era yang singkat. Pencitraan yang berlebihan tanpa dibarengi kemampuan personal yang cukup dan kualitas personal yang mumpuni, ditambah dengan kualitas kepemimpinan yang rendah, membuat Jokowi melakukan self destruction, menghancurkan sendiri, era yang dibangunnya.

Ia melejit dengan cepat dengan memanfaatkan kekuatan media. Tapi, dia juga jatuh dengan cepat karena kekuatan media juga. Live by the sword and die by the sword; kamu hidup karena pedang dan kamu mati karena pedang.

Era baru muncul, dan Sandi menjadi the rising star. Ia masih punya masa depan yang panjang. Panggung besar menghampar di depannya. Persekutuannya dengan Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2019 melahirkan dimensi baru.

Dua personaliti ini seperti opposite attrack, dua pribadi yang berbeda tetapi saling mengisi dan menguatkan. Herbert Feith (1989) memperkenalkan istilah solidarity maker dan administratur untuk menggambarkan pasangan Soekarno-Hatta. Soekarno dengan kharisma dan kemampuan orasinya yang menyihir adalah seorang solidarity maker, pembuat solidaritas, yang bisa membuat orang-orang berbaris solid di belakangnya.

Hatta mempunyai kepribadian yang berbeda dengan Soekarno. Ia, ekonom yang tekun, detail, dan cermat, memperkuat kelemahan Soekarno yang menjadi pemikir dan konseptor. Dua orang ini dicatat sejarah sebagai Dwitunggal, dua tetapi satu.