Pecat Risma

Mengoreksi bukan dengan emosi, tetapi tegurlah secara baik. Bukankah boss Bu Risma pak Presiden pernah bilang bahwa kritik itu boleh tetapi dengan cara sopan dan beradab. Para pegawai yang menyiapkan sambutan untuk memuliakan kedatangan Mensos melalui pertunjukan musik ditolak dan dilecehkan dengan bahasa “ditendang” segala.

Para pimpinan, staf, tenaga pengajar di lingkungan Balai Wyata Guna telah bekerja keras untuk membina penyandang disabilitas yang tak bisa melihat. Hargailah mereka, jangan karena soal dapur umum saja sudah dihancurkan reputasi dan dedikasinya. Lagi pula berbicara soal penderitaan warga yang berbalas telur rebus tidaklah terlalu signifikan. Bantuan telur untuk Rumah Sakit saja masih terlalu sedikit.

Untuk kesekian kali Risma berakting yang orang duga agar dirinya bisa dilempar ke Jakarta. Mungkin ingin jadi Gubernur DKI terus Presiden. Memimpin negeri dengan manajemen kusam yang penuh amarah tidaklah diharapkan oleh rakyat. Terlalu lama kita hidup di alam penjajahan yang penuh dengan amuk kuasa para pejabat.

Papua telah direndahkan dan Bandung dikotori. Presiden telah salah besar dalam memilih orang. Karenanya jika Presiden ingin dihormati kembali baik oleh rakyat Papua maupun penduduk Bandung, maka jalan tepatnya adalah pecat Risma. Bikin gaduh saja di Bandung.

Soal telur rebus telah menyebabkan marah kemana-nana. Andai saja ada “Egg Boy” di Indonesia, mungkin Bu Risma sudah ditaploki telur busuk di kepalanya.
Tetapi bagusnya kita ini bangsa yang masih sopan.

Pecat Risma, Pak Presiden. Meskipun sadar bahwa dengan memecatnya tidak berarti persoalan selesai, akan tetapi dengan pemecatan tersebut, satu persoalan sudah selesai..persoalan runyam dan bising Risma.[FNN]

*) Penulis: M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan