Pemimpin Hipokrit

Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM) atau komunitas lebih efektif diterapkan untuk disiplin protokol Kesehatan dibanding PSBB total.

Sebagian publik bertanya-tanya, mengapa sikap Presiden cepat berubah, inkonsisten? Padahal, jika punya ingatan kuat, mereka tidak perlu banyak tanya.

Sebab, selama ini memang demikianlah sikap kepala negara kita: inkonsisten, lain kata dengan perbuatan atau hipokrit.

Rakyat harusnya sudah terlatih untuk tidak terkecoh akibat sudah begitu seringnya hipokrisi terjadi. Terlepas dari itu, kita berharap semoga saja angka positivitas korona menurun.

Hipokrisi terkait korona sekitar April-Mei 2020 adalah, pemerintah pernah mengizinkan moda transportasi umum beroperasi, padahal sebelumnya dilarang karena berhubungan dengan zona merah. Mudik dilarang tetapi pulang kampung boleh.

Penerbangan domestik dilarang, tetapi penerbangan internasional boleh. Kedatangan orang (asing) dilarang, tapi tenaga kerja asing (TKA, Cina) boleh masuk. Ujungnya, angka positif korona terus meningkat.

Terkait pemberantasan korupsi, Jokowi bilang akan konsisten memberantas korupsi sesuai janji kampanye Pilpres-2014 dan Pilpres-2019. Namun pada sisi hipokritnya, revisi UU KPK justru didukung, wewenang KPK diberangus, maka para terduga koruptor kakap lolos jerat hukum.

Upaya pemberantasan korupsi justru mengalami langkah mundur. Ujungnya, korupsi semakin merajalela, seperti terjadi pada kasus-kasus, Jiwasraya, Asabri, Meikarta, dll.

Pada 29 Mei 2017, Jokowi dengan heroik mengatakan: “Pancasila itu jiwa dan raga kita. Perekat keutuhan bangsa dan negara. Saya Jokowi, saya Indonesia, saya Pancasila”.

Ternyata pernyataan tersebut hanya slogan kosong. Sebab, sila kelima Pancasila yang mengamanatkan keadilan sosial atas sumber daya alam milik negara bagi kemakmuran rakyat sesuai Pasal 33 UUD 1945, justru dikangkangi dengan disahkannya UU Minerba 3/2020. Perampokan dan dominasi pengusaha oligarkis atas SDA rakyat akan terus berlanjut.

Pancasila mengandung ajaran moral dan musyawarah yang dalam UUD 1945 menjadi dasar perumusan Indonesia sebagai negara hukum, persamaan warga negara di depan hukum dan tidak adanya tempat bagi pemerintahan otoriter.

Ternyata Perppu No.1 atau UU No.2/2020 tentang Korona justru mengangkangi dasar negara dan amanat konstitusi, karena pemerintahan Jokowi justru memberangus hak budget rakyat/DPR (Pasal 2, UU No.2/2020), eksekutif mendapat status kebal hukum (Pasal 27) dan semakin otoriter dengan dieliminasinya sejumlah ketentuan dalam 12 UU yang berlaku (Pasal 28).

Pasal 28 UU 2/2020 tentang Korona dengan sadis menghapus berbagai UU yang disusun sebagai amanat reformasi, yakni UU 23/1999 tentang BI, UU 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), UU 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan UU 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK).

UU ini dipersiapkan dalam rangka memenuhi kebutuhan payung hukum guna mencegah perampokan uang rakyat oleh para taipan dan konglo seperti terjadi pada megaskandal BLBI dan Obligasi Rekapitalisasi.

Megaskandal ini mewariskan utang Rp 645 triliun bagi rakyat. Lalu, Pancasila mana yang dimaksud Jokowi? Inilah bukti lain tentang sikap hipokrit itu!

Saat menyambut kemenangan sengketa Pilpres 2019 setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (27/6/2020), Jokowi mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu kembali, bersama-sama membangun Indonesia.

Katanya, tidak ada lagi 01 dan 02, yang ada hanyalah persatuan Indonesia. Disampaikan, presiden dan wakil presiden terpilih adalah presiden dan wakil presiden bagi seluruh anak bangsa, bagi seluruh rakyat Indonesia.