di Balik Pembakaran Buku-Buku Sejarah (Tamat)

Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje jelas harus dihapus dari seluruh buku pelajaran anak-anak sekolah di negeri ini. Islam di Indonesia telah masuk di zaman Rasulullah SAW masih hidup, jadi bukan di abad ke-14, melainkan di abad ke-7. Masih teramat banyak lagi catatan sejarah yang harus diluruskan dan dipaparkan secara jujur. Antara lain:

Nanggroe Aceh Darussalam

Istilah gerakan separatis yang dialamatkan kepada warga Aceh yang ingin memisahkan diri dari NKRI jelas tidak tepat. Jauh sebelum NKRI lahir, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) telah menjadi satu negara berdaulat dan bahkan menjadi bahagian dari protektorat Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, menjadi bagian dari kekhalifahan Islam. NAD telah memiliki qanun-nya (Qanun Meukuta Alam) yang tertatat rapi dan sistematis berdasarkan Qur’an dan hadits disaat orangtua para perumus UUD 1945 belum lahir.

Kesediaan NAD untuk bergabung dengan NKRI lebih disebabkan ukhuwah Islamiyah dengan saudara-saudara seiman di Nusantara. Presiden Soekarno pun telah berjanji untuk memberi NAD keistimewaan berupa penerapan syariat Islam di wilayahnya. Namun sejarah mencacat bahwa Soekarno berkhianat dan bahkan merampok sumber daya alam Aceh untuk di bawa ke tanah Jawa. Perampokan ini terus berlanjut hingga puluhan tahun dan ini membuat rakyat NAD berpikir bahwa tidak ada manfaatnya bergabung dengan NKRI. Mereka ingat bahwa NAD memiliki masa kejayaan dan mereka ingin mengulang masa-masa itu.

Jadi NAD bukanlah gerakan separatis, melainkan menarik kembali kesediaannya karena pengkhianatan yang dilakukan pusat.

Perang Diponegoro

Perang besar terjadi tahun 1925-1930 antara rakyat Jawa Tengah pimpinan Pangeran Diponegoro melawan penjajah kafir Belanda. Dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa Pangeran Diponegoro mengangkat senjata karena marah tanah leluhurnya diserobot Belanda. Ini salah besar.

Sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara memaparkan bahwa iman Islam seorang Diponegoro-lah yang menyebabkan dia lebih suka keluar dari lingkungan keraton dan bergabung dengan rakyat memimpin perang melawan kafir Belanda. Salah satu pemicunya karena Belanda menerapkan pajak Blasting yang sangat menyengsarakan rakyat. Diponegoro yang melihat rakyatnya terus ditindas tidak tahan dan langsung memimpin peperangan melawan kafir belanda tersebut.

“Dalam patung dan lukisan, Pangeran Diponegoro diperlihatkan tengah menghunus keris dengan tangan kanan dan tangan kirinya memegang tali kekang kuda. Ini pun tidak benar. Diponegoro bukanlah menghunus keris, tetapi memegang kitab suci al-Qur’an untuk membakar semangat jihad rakyatnya, ” papar Mansyur Suryanegara lagi.

Setelah masuknya Islam dan posisi NAD dalam NKRI, maka hal lain yang juga perlu diluruskan adalah tentang Perang Diponegoro (1825-1830). Dalam buku-buku pelajaran sejarah disebutkan bahwa Pangeran Diponegoro murka kepada Belanda karena penjajah Belanda telah menyerobot tanah leluhurnya. Lagi-lagi ini tidak tepat. Pangeran Diponegoro rela keluar dari lingkungan istana, membaur ke tengah-tengah rakyatnya, dan membangkitkan perlawanan terhadap penjajah semata-mata karena keimanan seorang Diponegoro yang anti terhadap segala kezaliman.

Kebangkitan Nasional Bukan 20 Mei 1908

Sampai sekarang pemerintah masih saja memperingati tiap tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Tanggal ini merujuk pada 20 Mei 1908, saat lahirnya organisasi Jawa priyayi yang bersahabat dengan penjajah Belanda bernama Boedhi Oetomo (BO). Banyak tokoh BO merupakan anggota Freemasonry dan kaki tangan penjajah Belanda. BO juga anti nasionalisme dan cenderung rela menjadi pelayan dari kepentingan penjajah. Selain orang Jawa, dilarang jadi anggota BO.

Kebangkitan Nasional bangsa ini seharusnya berpatokan pada tanggal didirikannya Syarikat Islam (SI) yang telah berdiri 3 tahun sebelum BO berdiri. SI didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh Haji Samanhudi dan kawan-kawan. “Ini merupakan organisasi Islam yang terpanjang dan tertua umurnya dari semua organisasi massa di tanah air Indonesia, ” tulis KH. Firdaus AN.

Berbeda dengan BO yang hanya memperjuangkan nasib orang Jawa dan Madura—juga hanya menerima keanggotaan orang Jawa dan Madura, sehingga para pengurusnya pun hanya terdiri dari orang-orang Jawa dan Madura—sifat SI lebih nasionalis. Keanggotaan SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas Islam. Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku seperti: Haji Samanhudi dan HOS. Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. SI juga telah mencita-citakan Indonesia merdeka, sesuatu yang tidak pernah disinggung oleh BO. Jadi, Kebangkitan Nasional seharusnya diperingati tiap tanggal 16 Oktober, bulan 20 Mei.

Sejumlah peristiwa dan sejarah penting yang harus dengan jujur dipaparkan pada anak cucu kita antara lain adalah: Palagan Ambarawa, di mana laskar santri dan ulama mampu mengusir pasukan pemenang Perang Dunia II, Inggris; Pertempuran 10 November 1945 yang berasal dari Resolusi Jihad para ulama NU di Jawa pada bulan Oktober 1945, sebab itu semangat jihad-lah yang membuat rakyat Surabaya rela mati, bukan semangat membela yang lainnya; Sejarah Laskar Hisbullah/Sabilillah yang terus digelapkan sampai sekarang padahal Jenderal Soedirman sangat mengandalkan pasukan Islam ini; Sosok Jenderal Soedirman yang sangat fanatik dengan Islam, sehingga beliau selalu menyelipkan ayat-ayat jihad dalam setiap surat perintahnya; Islamophobia yang dilakukan rezim Orde Baru pada tahun 1967-1990-an; dan tragedi besar yang menimpa umat Islam Indonesia tetapi sekarang ini seolah dilupakan adalah tragedi Idul Fitri kelabu yang menimpa umat Islam Ambon di tahun 1999 yang merembet ke Ternate dan Poso.

Jika sekarang ini pemerintah SBY-Kalla memberi restu upaya pembakaran buku-buku sejarah yang tidak ada tertulis G30S/PKI, maka seharusnya pemerintahan ini melakukan penulisan ulang sejarah Indonesia secara lebih menyeluruh dan jujur. Tapi harapan ini sepertinya mustahil dilakukan mengingat yang berkuasa saat ini masih partai-partai politik zaman Orde Baru yang seharusnya sudah menjadi partai terlarang. Peristiwa pembakaran buku-buku sejarah saat ini membuktikan bahwa rezim represif dan fasis Orde Baru sekarang ini masih berkuasa. Kepala boleh berganti, tapi dari leher hingga ujung kaki hakikatnya masih sama. Reformasi memang telah gagal.(Tamat/Rizki)