Bashar al-Assad dan Intervensi Militer AS

 Januari lalu, Bashar al-Assad melakukan wancara panjang dengan Wall Street Journal. Sangat jarang pemimin Suriah itu mau menerima  media Barat. Tetapi, Bashar merasa sangat percaya diri, dan mengatakan tidak akan menyerah kepada para penentangnya, seperti yang terjadi di Tunisia dan Mesir. Di mana El Abidin dan Hosni Mubarak harus menyerah kepada kekuatan oposisi.

Bulan yang sama Majalah Vogue telah melakukan wawancara dengan "first lady"  Suriah, Asma al-Assad, dan menggambarkan dirinya sebagai "mawar di padang pasir."

Namun dalam wawancara dengan Wall Street itu, al-Assad  mengakui adanya "kemarahan dan rasa putus asa" di negaranya, terutama rakyatnya yang menginginkan perubahan. Di kawasan ini  perlu adanya reformasi, khususnya  di Suriah. "Rakyat menginginkan adanya keterbukaan," seperti yang dikatakan Al-Assad.  Perubahan bukan seperti, "Hanya karena  faktor Tunisia dan Mesir", ujarnya. Nampaknya, Al-Assad tidak menginginkan gerakan seperti yang terjadi di Tunisia dan Mesir, yang berakibat tergulingnya kekuasaan El Abidin da Mubarak.

Aksi protes yang sudah memasuki hari ke 11, yang memperlihatkan semakin meningkat tidak ada tanda-tanda gerakan oposisi mengendor. Aksi ini menjadi konflik terbuka antara gerakan rakyat yang menginginkan perubahan dengan kekuatan militer yang mendukung pemerintah. Ini sepertinya sudah menjadi karakter rezim otokrat yang  menggunakan kekerasan saat kekuasaannya menjadi terancam.

Langkah-langkah Al-Assad menghadapi gerakan rakyat itu dengan janji mengumumkan  kenaikan yang substansial  upah bagi pegawai pemerintah, dan  mengakhiri hukum darurat militer, dan membuka ruang kebebasan  politik di Suriah. Persoalannya konstitusi yang memberikan kekuasaan yang lebih besar kepemimpinan Partai Baath, menjadi kekuatan politik tunggal di Suriah, dan sebelumnya ayahnya Hafez Al-Assad, yang meninggal tahun 2000, dan digantikan oleh anaknya Bashar Al-Assad.

Jika di Libya ada Benghazi yang menjadi pusat gerakan kaum oposisi, maka di Suriah ada kota  Daraa yang menjadi pusat gerakan oposisi. Sekarang kota Daraa telah dibanjiri pasukan militer yang dilengkapi senjata berat. Sejumlah laki-laki yang menggunakan pakian hitam-hitam yang berpatroli dengan aparat militer, dan pasti akan terjadi pertumpahan darah.

Tentu, menghadapi situasi yang sangat pelik itu, kemungkinan Bashar Al-Assad dapat meminta dukungan dari Iran dan  milisi Hizbullah di Libanon.  Beberapa laporan dari Daraa mengatakan bahwa kekuatan Iran dan Hisbullah telah memasuki kota itu. Bashar Al-Assad akan menggunakan kekuatan militer yang didukung oleh Iran dan Hisbullah untuk menghadapi aksi protes rakyatnya. Ini akan menimbulkan krisis kemanusiaan seperti yang sekarang dialami oleh rakyat Libya.

Sebelumnya, ayahnya Hafez Al-Assad yang berkuasa di Suriah menggunakan kekuatan udara dan darat, menghadapi kekuatan oposisi negerinya, khususnya di kota Aleppo, sampai kota seluruhnya rata dengan tanah. Puluhan ribu orang tewas, dan sejak itu tidak ada lagi pemberontakan dari rakyatnya yang menuntut kebebasan. Bashar Al-Assad telahm mengirimkan ribuan tentara ke kota Daraa dan Latkia, yang sangat mungkin akan terjadi pembantaian.

Rezim Al-Assad yang minoritas  dari Aliwiyyin ini akan memainkan kartu Iran dan Hisbullah, yang menciptakan situasi yang lebih dahsyat dibandingkan dengan krisis yang sekarang di Libya. Tidak tertutup kemungkinan AS dan Sekutunya akan melakukan intervensi militer ke Syria. Wallahu’alam.