Cukup Menerima Dalil dari Ulama Zaman Dahulu?

Assalamu’alaikum wr. wb.

Semoga ustadz senantiasa dirahmati Allah SWT. Saya pernah mendengarkan sebuah ceramah dari seorang ustadz setelah si ustadz menerima pertanyaan dari seorang jamaah. Si jamaah bingung dengan berbagai macam perbedaan yang dialami oleh umat Islam, terutama dalam masalah furu’ (ibadah ). Kemudian si ustadz menjelaskan bahwa sebagai orang yang awam (tidak mampu mengkaji dalil ), cukuplah menerima dalil-dalil yang sudah eksis hasil kerja keras para ulama zaman dahulu yang tidak perlu diragukan kredibilitasnya (Imam Bukhari, Imam Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i, Imam Ahmad dan lain-lain).

Jadi tidak usah memikirkan pendapat para ulama kontemporer (misal: Nasirudhin al-Albani) yang pada kesimpulannya terkadang mendhaifkan hadist si anu, menghasankan hadist si anu atau menshahihkan hadist si anu. Hal inilah yang terkadang semakin membuat para jama’ah menjadi bingung. Benarkah?

Jazakallah

Wassalam,

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apa yang disampaikan oleh penceramah itu memang ada benarnya. Sebab tidak semua orang mampu melakukan studi kritis terhadap keshahihan hadits nabawi. Juga tidak semua orang punya akses kepada mujtahid di masa sekarang ini.

Tetapi sebaliknya, kita juga tidak boleh menutup pintu atas ijtihad-ijtihad baru selama masih dalam koridor yang benar.

Sebagaimana yang dilakukan oleh al-‘allamah Syeikh Nasiruddin Al-Albani rahimahullah. Pendapat dan kritik yang beliau lontarkan merupakan bagian dari ijtihad sebagai ahli hadits kontemporer. Dan sebagai ahli hadits, adalah hak beliau untuk melakukan studi kritik hadits, bahkan terhadap hadits yang oleh kebanyakan ulama salaf di masa lalu sudah dianggap shahih dan diterima.

Namun apa yang telah beliau ijtihadkan itu tidak harus menggugurkan hasil ijtihad ulama lain sebelumnya. Sebab dalam dunia ijtihad, kita tidak mengenal gugurnya sebuah ijtihad lama karena adanya ijtihad baru. Yang berlaku adalah gugurnya nash yang lama dengan nash yang baru di masa risalah. Ini yang kita sebut dengan nasakh mansukh.

Maka sekiranya ada orang yang tidak merasa harus mengikuti hasil ijtihad Syeikh Al-Albani, tentu tidak boleh disalahkan. Demikian juga kita tidak boleh melarang orang yang merasa lebih nyaman dengan ijtihad dari ulama sebelumnya yang juga tsiqah dan diterima oleh mayoritas muslimin.

Ijtihad Fiqih

Dan kalau kita mau lebih dalami lagi, ijtihad para ahli hadits saja sebenarnya belum cukup. Sebab tugas para ahli hadits itu masih terbatas pada kritik keshahihan suatu riwayat hadits. Padahal setelah diketahui keshahihannya, masalahnya belum tentu sudah selesai. Masih ada problem menarik kesimpulan hukum (istimbath ahkam), yang juga tidak kalah pentingnya.

Sebagai ilustrasi sederhana pentingnya masalah menarik kesimpulan hukum dan tidak berlakunya kritik hadits adalah bila kita bayangkan bahwa kita hidup di masa Rasulullah SAW bersama dengan para shahabat beliau yang ‘udul. Di masa itu kita tidak perlu melakukan kritik sanad hadits. Sebab semua hadits yang keluar dari mulut para shahabat yang mulia, nilainya semua shahih.

Ini sudah menjadi kesepakatan para ahli hadits, yakni studi kritik sanad hadits itu hanya dimulai dari generasi tabi’in ke bawah. Adapun para shahabat nabi tidak perlu lagi dikritisi keshahihan periwayatannya.

Meski nilai semua periwayatan shahabat atas sabda nabi bernilai shaih semuanya, tapi tetap saja di kalangan para shahabat nabi SAW sendiri masih dibutuhkan ijtihad.

Mengapa?

Sebab sangat boleh jadi sabda nabi yang didengar oleh para shahabat itu masih melahirkan perbedaan penafsiran dan kesimpulan hukum. Sehingga para shahabat pun berijtihad dalam menarik kesimpulan hukumnya.

Hal itu terjadi meski semua shahabat mendengar langsung sabda nabi. Bahkan meski tidak ada perbedaan teks hadits yang mereka dengar. Namun giliran mereka harus menerapkan sabda itu, ternyata mereka punya sudut pandang yang berbeda pula. Itu terjadi di masa shahabat yang mulia.

Kasus perbedaan teknis pelaksanaan shalat Ashar di pemukiman Bani Quraizdah adalah contoh yang paling sering dikemukakan. Dan masih begitu banyak lagi perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan shahabat, meski mereka sama-sama berangkat dari dalil yang sama.

Karena itulah maka di masa sekarang ini, yang menjadi urusan kita bukan hanya sekedar bicara tentang keshahihan suatu riwayat hadits, tetapi juga kita masih perlu bicara tentang perbedaan para ulama fiqih dalam menarik kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang shahih itu. Sebab boleh jadi meski kita sudah sepakat atas suatu keshahihan hadits, tapi para ulama masih berbeda pendapat dalam istidlalnya.

Boleh jadi suatu dalil sudah sampai derajat qath’i dari segi tsubutnya, tetapi belum tentu qath’i dari segi dilalahnya. Apalagi bila dali itu sendiri masih zhanni dari segi tsubutnya, maka sudah bisa dipastikan akan zhanni dari segi dilalahnya.

Awam Boleh Berittiba’ Kepada ‘Alim

Kembali kepada pertanyaan anda, maka tidak pada tempatnya memang bila kita bebankan orang awam untuk selalu mengikuti perkembangan terbaru hasil ijtihad para kritikus hadits kontenporer. Sebaliknya, orang-orang awam boleh mengikuti apa yang bisa mereka dapatan dari ijtihad para ulama di masa lalu.

Bahkan tidak mengapa bila mereka mengikuti hasil ijtihad dari salah satu ulama ahli fiqih di masa lalu. Sebab hasil ijtihad para ahli fiqih sudah pasti juga di dalamnya hasil ijtihad para ahli hadits. Bahkan para fuqaha di masa lalu sebenarnya berangkat dari keahlian mereka dalam bidang kritik hadits. Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah, selain merupakan para ahli fiqih, sebenarnya mereka juga adalah para ahli hadits.

Maka ketika orang awam di masa sekarang ini berittiba’ dengan salah satu mazhab mereka, tentu boleh hukumnya dan memang sudah selayaknya. Sebab pada dasarnya tidak ada ketentuan bahwa setiap muslim harus melakukan istimbath hukum sendiri dari semua dalil yang ada. Namun sebaliknya, bila ada dari umat Islam yang punya kemampuan di bidang hadits dan fiqih belajar untuk mengenal dan melakukan kritisi atas apa yang telah menjadi hasil ijtihad di kedua dunia itu, tentu tidak pernah tertutup pintunya. Selama dia tidak menafikan hasil-hasil ijtihad yang sudah ada sebelumnya.

Wallahu a’alam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.