Tenda di Luar Batas Mina

Asalamu’alaikum Wr. WB.,

Ma’af saya langsung saja dengan pertanyaan:

Sekarang Isteri saya sedang miqot di MINA, yang jadi masalah: Rombongannya dapat tenda di LUAR BATAS MINA.

Pertanyaannya:

1. Apakah wajib bermalam di MINA? (Biro Haji nya berpendapat TIDAK WAJIB)

2. Kalau Wajib (mengacu pada QS. Al-Baqarah:203), Apakat Sah, bila MIQOT di LUAR BATAS MINA?

3. Jika harus membayar DAM (Kalau MIQOT TIDAK SAH), Bagaimana prosedurnya?

Terima kasih sebelumnya, Semoga Pak Ustadz dapat memberikan wawasan serta HUKUMnya agar kami dapat memutuskan sesuatu dengan benar.

Wassalamu’alaikum wr. Wb.,

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebelum kami jelaskan bahwa istilah tinggal di Mina bukan miqot tetapi mabit. Miqat adalah batas titik awal memulai ibadah haji atau umrah. Sedangka mabit adalah menetap di suatu tempat untuk masa waktu tertentu, terutama pada malam hari. Mabit bisa kita terjemahkan secara bebas sebagai bermalam.

Mabit di Mina merupakan kewajiban haji. Itulah pendapat jumhur ulama, meski memang ada pendapat yang mengatakan bahwa bermalam di Mina bukan termasuk kewajiban haji.

Jadi dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, seandainya kita menggunakan pendapat yang mengatakan bahwa mabit di Mina adalah wajib, maka bila sebuah kewajiban di dalam rangkaian ibadah haji tidak dilaksanakan, wajib untuk membayar dam. Bentuknya adalah menyembelih seekor kambing.

Kedua, seandainya kita menggunakan pendapat yang mengatakan bahwa mabit di Mina bukan merupakan kewajiban, berarti tidak perlu membayar dam.

Mabit di Mina: Antara Sunnah atau Wajib?

1. Pendapat Yang Mengatakan Tidak Wajib Hanya Sunnah

Pendapat yang mengatakan bahwa mabit di Mina hukumnya sunnah adalah pendapat mazhab Al-Hanafiyah. Mereka mendasarkan pendapatnya apa yang dilakukan oleh Rasululah SAW yang mengizinkan paman beliau, Al-Abbas bin Abdul Muttalib untuk tidak bermalam di Mina karena beliau punya tugas memberi minum dan air di kota Makkah.

Sedangkan bermalamnya Nabi SAW di Miina, menurut mereka karena beliau SAW dan para shahabat tidak punya rumah di dalam kota Makkah, maka untuk mudahnya mereka pun bermalam di tenda-tenda di Mina.

Hal itu mereka lakukan karena mereka akan mengerjakan ritual jamarah (melontar) pada siang hari. Jadi dari pada harus bolak balik ke dari Makkah ke Mina, mereka pun menginap di tenda-tenda.

Bagi mereka yang berpendapat sunnah, mabitnya Rasulullah SAW bukan bagian dari kewajiban, melainkan untuk praktisnya saja. Sehingga bila di zaman sekarang ini kita bisa menginap di hotel-hotel Makkah tanpa bermalam di tenda di Mina, memangtidak ada salahnya.

Para shahabat nabi SAW yang punya pendapat seperti ini antara lain Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah salah satu fuqaha’ di masa shahabat, yang sejak kecil telah didoakan Rasulullah SAW: Ya Allah, jadikanlah Ibnu Abbas orang yang faqih dalam agama dan ajarilah ilmu takwil (tafsir Al-Quran)."

Selain itu dari kalangan tabiin ada Al-Hasan Al-Bashri yang punya pendapat bahwa mabit di Mina bukan wajib tetapi sunnah. Dan hal yang sama dikemukakan oleh mazhab Imam Ahmad bin Hanbal (Hanbali).

2. Pendapat yang Mewajibkan

Sedangkan di antara mereka yang mewajibkan adalah jumhur ulama (mayoritas). Di antaranya mazhab Al-Malikiyah dan mazhab Asy-Syafi’iyah.

Menurut Al-Malikiyah, bermalam di Mina bagi jamaah haji pada malam tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah hukumnya wajib. Namun mazhab ini memberi keringanan bagi para penggembala unta untuk tidak bermalam, juga bagi para pemberi minum (siqayah). Tapi siangnya mereka wajib datang untuk melontar jamarah.

As-Syafi’iyah mengatakan wajib hukumnya bermalam di Mina pada hari tasyriq, dengan dasar sabda nabi SAW, "Contohlahpraktek hajiku dalammanasik haji kalian." Dan siapa yang meninggalkannya, wajib atasnya membayar dam.

Apabila jamaah haji tidak bermalam (mabit) di Mina, maka termasuk meninggalkan salah satu kewajiban haji. Sebagai denda atau hukuman, wajib atas mereka untuk menyembelih seekor kambing, atau istilah yang lebih populernya membayar dam.

Dalilnya adalah sabda Nabi SAW berikut ini:

عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه قال (من ترك نسكاً أو نسيه فليرق دماً

Dari Ibnu Abbas ra, "Siapa yang meninggalkan kewajiban haji atau lupa, wajiblah atasnya menumpahkan darah (menyembelih kambing).

Ulama zaman sekarang yang termasuk berpendapat seperti ini adalah Syeikh Abdullah bin Bazz, mufti besar Kerajaan Saudi Arabia. Dalam fatwa beliau yang ditulis pada beberapa media, seperti Harian An-Nadwah (11/11/1411H), Harian Ar-Riyadh (11/12/1416) dan Harian Ukadz (7/12/1418). Dalam tanya jawab syariah ketika ditanya tentang hukum bermalam di luar Mina bagi para jamaah haji di hari tasyrik, beliau berfatwa:

"Bermalam di Mina pada malam tanggal 11 dan 12hukumya wajib menurut para ahli muhaqqiq dari ahli ilmu bagi para jamaah haji baik laki-laki maupun perempuan." Namun apabila mereka tidak mendapatkan tempat di sana, gugurlah kewajiban untuk bermalam. Sebaliknya, bila tidak bermalam di Mina tanpa udzur syar’i, wajib atas mereka menyembelih kambing (membayar dam)."

Prof. Dr. Ahmad Al-Hajji Al-Kurdi mengatakan bahwa mabit di Mina wajib hukumnya menurut sebagian ulama hingga pertengahan malam. Dan menurut sebagain yang lain hukumnya sunnah (Al-Hanafiyah).

Sehingga bila alasannya karena Mina terlalu padat sehingga seseorang memilih tidak bermalam di Mina, maka tidak mengapa dan tidak harus membayar dam. Tapi bila alasannya bukan karena hal itu, wajiblah atasnya untuk membayar dam.

Jadi kesimpulannya, ada dua pendapat. Mana saja yang mau diikuti, tentu tidak akan dipersalahkan. Tapi kalau mau afdhalnya, bila memang tidak bermalam di Mina, cobalah membayar dam, seandainya ada keluasan rizki. Tapi bila tidak menyembelih pun juga tidak mengapa.

Membayar Dam

Membayar dam di Makkah, Mina, Muzdalifah sangat mudah. Di sana tersebar banyak bank yang menerima uang pembelian dam. Cukup bayar ke bank dan insya Allah semua akan dikerjakan oleh para petugas yang sudah profesional.

Jadi tidak perlu beli kambing sendiri, atau menyembelih sendiri. Cukup bayar dan selesai.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc