Zakat Persewaan

Assalamu ‘alaikum, ustadz

Saya mau tanya tentang zakat persewaan, saya perah mendengar bahwa rumah kontrakan itu wajib dizakati. Namun disisi lain, ketika saya tanya ke ustadz di pesantren, beliau menjawab bahwa tidak pernah dikenal zakat kontrakan sejak zama nabi hingga sekarang. Maka bingunglah saya, mana yang benar.

Jadi ustadz, sebenarnya bagaimana pendapat para ulama tentang keberadaan zakat persewaan? Adakah dasarnya dari kitab dan sunnah? Dan siapakah mereka yang mengadakan zakat sewa menyewa itu?

Mohon dijelaskan ya pak, dan sebelumnya saya ucapkan terima kasih ustaz.

Wasalamu’alaikum wr, wb.

Assalamu ‘alaikum warahamtullahi wabarakatuh,

Zakat persewaan dalam bahasa arab disebut dengan istilah mustaghallat.
Harta mustaghallat punya beberapa karakteristik.

Pertama, secara sosoknya sebenarnya jenis harta mustaghallat itu tidak
wajib dizakatkan. Tidak seperti emas, perak, uang, ternak yang memang
pasti terkena kewajiban zakat tiap tahun, selama telah melewati nishab.

Kedua, harta itu tidak dijual, tetap masih dimiliki oleh pemiliknya.
Tidak seperti harta yang diperdagangkan, di mana harta itu berpindah
kepemilikan. Harta mustaghallat itu masih tetap menjadi kepunyaan
pemiliknya.

Ketiga, harta mustaghallat itu memberikan manfaat kepada pemiliknya.
Baik berupa hasil barang atau jasa.

Contoh harta mustaghallat adalah harta yang disewakan. Yang dalam
bentuk tempat tinggal misalnya rumah kontrakan, rumah kost, villa,
kondominium, hotel, cottage, apartemen dan seterusnya. Yang dalam bentuk
kendaraaan seperti ojeg, taksi, angkot, bus, truk, kereta api, pesawat terbang
dan seterusnya. Dan bisa juga dalam bentuk pabrik atau industri yang
menghasilkan beragam produk.

Kesemuanya bisa dimasukkan ke dalam jenis harta mustaghallat. Di mana
barangnya tidak dijual, namun memberikan pemasukan kepada pemiliknya
lewat jalur penyewaan.

Kalau anda bertanya tentang pendapat para ulama tentang zakat
persewaan, harus diakui bahwa mereka terpecah menjadi dua bagian kelompok.

1. Kelompok Pertama

Kelompok pertama kita sebut kalangan mudhayyiqin, yaitu mereka yang
agak selektif dalam memilih atau mewajibkan jenis zakat. Mereka tidak mau
begitu saja menetapkan adanya kewajiban zakat yang tidak ada nashnya.
Maka bagi mereka, zakat harta yang disewakan ini tidak pernah ada, tidak
wajib dan tidak perlu dilaksanakan.

Intinya mereka ingin mengatakan bahwa tidak ada zakat persewaan.

Landasannya karena ada bebarapa argumentasi yang lumayan kuat,
di antaranya:

A. Al-Quran dan As-Sunnah sama sekali tidak pernah menyebut adanya
kewajiban zakat harta yang disewakan. Tidak ada satu pun ayat dan tidak
juga hadits yang secara sharih (lugas) menyebutkan tentang kewajiban jenis
zakat ini.

Maka selama tidak ada dalil yang langsung dari nash syar’i, tidak ada
kewajiban untuk menjalankannya.

B. Sepanjang sejarah, sejak dari masa para shahabat, tabi’in,
atba’ut-tabi’in dan seterusnya hingga berabad-abad lamanya, tidak satu pun dari
para ulama fiqih yang menulis di dalam kitab-kitab fiqih mereka yang
tebal-tebal itu tentang adanya zakat mustaghallat.

Tidak satu pun ulama baik yang hidup di Maghrib seperti Andalus,
Marokok, Tunis, maupun yang di tengah-tengah seperti Mesir hingga ke Syam,
Damaskus, Baghdad, Kufah, Bashrah, Hijaz, Yaman, yang pernah menyebutkan
tentang adanya zakat barang yang disewakan. Tidak satu pun sepanjang
sejarah.

Bagaimana mungkin di zaman sekarang ini bisa muncul pendapat yang
‘baru’ yang tidak dikenal sebelumnya?

C. Sebaliknya, para ulama sepanjang zama itu justru menegaskan bahwa
tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat, kecuali atas harta yang
telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya langsung. Dan tidak ada petunjuk
sedikit pun bahwa Allah dan Rasul mewajibkan barang yang disewakan
untuk dikeluarkan zakatnya.

2. Kelompok Kedua

Mereka adalah para ulama di zaman sekarang ini, yang berijtihad dengan
berbagai kelengkapannya. Di antara mereka yang bisa disebut sebagai
pelopor kelompok kedua ini adalah: Syeikh Abu Zahrah, ulama besar Mesir
di abad lalu. Juga Syeikh Abdul Wahhab Khallaf dan Syeikh Abdurrahan
Hasan.

Di antara argumentasi mereka adalah:

A. Ketika mewajibkan seseorang untuk mengeluarkan zakat baik di dalam
Al-Quran, Allah SWT tidak menetapkan jenis harta tertentu saja yang
wajib dizakati. Tidak ada ayat yang secara khusus memerintahkan pedagang
untuk bayar zakat, atau petani, atau pemilik emas dan perak, atau jenis
kekayaan tertentu.

Ayat Al-Quran hanya bicara tentang kewajiban mengeluarkan harta zakat
secara umum. Tanpa memilahnya menjadi jenis-jenis tertentu. Bagaimana
kita hanya membatasi jenis harta tertentu saja yang wajib dizakati, lalu
jenis harta lainnya tidak?

Ambillah zakat dari harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a
kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.(QS. At-Taubah: 103)

Di ayat ini Allah hanya bicara tentang mengambil zakat dari harta
mereka. Tanpa menetapkan jenis harta yang manakah yang wajib dizakati.

Maka mereka tidak membatasi jenis harta tertentu, yang penting harta
itu adalah kekayaan milik seseorang, telah cukup nishabnya dan telah
memenuhi semua persyaratannya. Maka wajiblah untuk dikeluarkan zakatnya.

Kesimpulan:

Masalah ini memang telah dan akan tetap terus menjadi khilaf di
kalangan ulama, antara yang mendukung dan menolak. Khilaf itu wajar dan
sesuatu yang mustahil dihindari. Lagi pula, berbeda pendapat itu tidak dosa.

Yang berdosa adalah saling mencaci, saling hujat dan saling mencemooh
terhadap sesama muslim. Padahal yang diperdebatkan memang masalah yang
mutlak pasti terjadi khilaf di dalamnya.

Apalagi bila yang melakukanya justru mereka yang statusya hanya
muqollid, bukan mujtahid. Kalau mujtahid berbeda pendapat, mungkin masih
wajar. Tapi kalau hanya muqollid tapi sok beda pendapat, apalagi menyalahkan
para mujthaid, sungguh merupakan sikap yang kurang tepat.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahamtullahi
wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc