Gendong Anak di Bahu, Nanti Besarnya Durhaka, Benarkah?

Eramuslim – AGAR sebuah tradisi bisa lestari di masyarakat, terkadang mereka menggunakan cara dengan memberikan ancaman atau dorongan, seperti:

– Kalau nyapu tidak bersih, suaminya brewokan.
– Duduk di atas bantal nanti jadi bisulan.
– Anak gadis yang duduk di depan pintu dipercaya sulit dapat jodoh.
– Kalau makan harus habis, jika tidak, ayamnya akan mati.
– Menyapu diarahkan keluar, menjauhkan rezeki.
– Dan seterusnya

Meskipun kita mengakui, sebagian dari adab itu diajarkan untuk keteraturan. Hanya saja yang menjadi masalah, terkadang dikaitkan dengan ancaman takdir buruk, padahal bisa jadi sama sekali tidak ada hubungannya.

Karena itu, kita perlu memisahkan antara tradisi, hukum, dan takdir. Adab bisa saja mengacu kepada urf (kebiasaan) yang berlaku di masyarakat. Sementara untuk hukum, mengacu kepada penjelasan sumber syariat (al-Quran dan Sunah), sedangkan takdir, itu rahasia Allah, hanya Allah yang tahu. Selama tidak ada keterangan dari dalil tentang masalah takdir, tidak selayaknya pelanggaran adab kita kaitkan dengan takdir.

Termasuk dilarang menggendong anak di atas pundak, karena anak bisa menjadi berani atau durhaka kepada kedua orang tua. Larangan menggendong anak di pundak, ini tradisi. Anak menjadi berani kepada orang tua, ini takdir. Dan belum tentu tradisi ini memberi efek samping ke hal yang buruk, sebagaimana pula, belum tentu tradisi ini secara hukum terlarang. Ada sebuah riwayat yang bisa kita jadikan acuan, bolehnya menggendong anak di atas pundak.