Fikih Al-Banna dan Sikap terhadap Hukum Manusia

hasan al banna 3Buku: Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna.

Penulis: Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris.

***

Fiqih Al-Banna Dalam Mencegah Kemungkaran Dengan Kekuatan

Beliau menilai bahwa mencegah kemungkaran dengan tangan (kekuatan), lidah maupun hati merupakan sebuah keniscayaan. Sikap ini tertera dalam sebuah hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanad Abi Sa’id Al-Khudry ra. ia berkata, Ra¬sulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِن لَّمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِن لَّمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

Artinya: siapapun di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia merubah kemungkaran tersebut dengan tangan, jika tidak sanggup merubah dengan tangannya, hendaklah dia rubah dengan lidah dan jika masih tidak sanggup, hendaklah ia rubah dengan hati. Dan itulah iman yang paling lemah. (HR Imam Muslim)

Sebagai wujud nyata dari pengamalan hadits di atas, semenjak kecil Imam Hasan Al-Banna sering terlibat dalam melakukan upaya mengubah kemungkaran maupun kemaksiatan yang terjadi di tengah masyarakat dengan menggunakan media lidah, hingga akhirnya Beliau mendirikan jamaah Ikhwanul Muslimin.

Sementara pandangan Beliau tentang metode mengubah kemungkaran dengan tangan, seperti penghancuran cafe-cafe minuman keras dan pusat-pusat kemaksiatan lain yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum syari’at, maka Beliau berpendapat bahwa pemerintah bertanggung jawab menjaga dan meng-hormati perasaan umat Islam dengan tidak mengeluarkan surat izin pembangunan tempat-tempat maksiat seperti: cafe-cafe minuman keras dan tempat-tempat makisat lainnya. Bila pemerintah sempat mengeluarkan surat izin pembangunan tempat-tempat semacam itu, maka pemerintah sendiri yang akan bertanggung jawab penuh jika di kemudian hari nanti ada penghancuran dan penyerangan dari warga yang bukan dari jamaah Ikhwanul Muslimin. Oleh karenanya, pemerintah mesti mengeluarkan perundang-undangan yang melarang pembangunan tempat-tempat tersebut.

Dan terbukti pada masa Beliau, terjadi penyerangan dan penghancuran tempat-tempat maksiat yang dilakukan oleh salah satu kelompok pemuda Mesir. Menanggapi peristiwa tersebut, Imam Hasan Al-Banna menyatakan posisi Ikhwan sebagai berikut: “Sesungguhnya tak satupun di antara mereka yang memiliki spirit agama yang berkeinginan melihat satupun tempat lokalisasi dibangun di tanah Mesir ini. Sebelum peristiwa ini, Ikhwan sendiri telah melayangkan surat kepada pemerintah yang berisi tentang konsekwensi yang akan ditanggung pemerintah jika tidak memperhatikan tempat-tempat tersebut. Karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap persoalan itu membuat masyarakat menjadi risih dan tidak tenang. Sayangnya, pemerintah tidak mau mendengarkan ungkapan yang bersumber dari jiwa-jiwa yang ingin menegakkan kesucian Islam dan kebanggaan terhadap ajaran-ajaran Islam. Ada pepatah lama yang mengatakan: “Sebelum Anda menyuruh anak kecil supaya berhenti dari tangisannya, selayaknya Anda terlebih dahulu meminta orang yang memukul anak kecil tersebut agar menjatuhkan tongkatnya”.

Ikhwan sendiri meyakini bahwa penentangan kebijakan pemerintah dengan cara-cara kekerasan dan anarkis seperti kejadian di atas, merupakan cara-cara yang tidak tepat waktu, karena kita mesti memilih dan menimbang waktu yang paling tepat atau mungkin dengan cara-cara lain yang lebih bijaksana dan tentu-nya dengan dampak negatif yang dapat diminimalisir serta lebih menggugah perhatian aparat-aparat pemerintahan terhadap kewajiban-kewajiban mereka sebagai Muslim. Dan kenyataannya, pelaku penghancuran yang telah tertangkap tidak pula mau mengakui perbuatannya. Ikhwanul Muslimin telah melayangkan surat kepada menteri kehakiman agar secara serius membahas persoalan itu dan segera mengeluarkan kebijakan dan perundang-undangan yang akan menyelamatkan anak bangsa dari dekadensi moral .

Imam Hasan Al-Banna menilai bahwa pembangunan pusat-pusat lokalisasi maksiat merupakan kemungkaran dalam pandangan hukum Islam. Oleh karenanya pemerintah telah dianggap berbuat mungkar bila terbukti mengeluarkan surat izin pembangunan lokalisasi tersebut. Sementara itu Imam Hasan Al-Banna juga menilai bahwa para pelaku penghancuran tempat-tempat kemaksiatan tersebut melakukan hal tersebut karena kecemburuan (ghirah) karena nilai-nilai agama dikesampingkan serta dalam rangka merubah kemaksiatan dan kemungkaran. Hanya saja menurut Beliau, waktunya yang tidak tepat bila harus menentang pemerintah dan menghancurkan tempat-tempat tersebut secara frontal dan dengan kekuatan.

Sikap terhadap Hukum Ciptaan Manusia dan Pengadilan Negeri

Mereka yang sering mengamati wacana dan pemikiran Imam Hasan Al-Banna yang tertuang dalam tulisan-tulisannya menyangkut persoalan di atas akan mengerti bahwa Beliau merupakan seorang yang memahami dan sering mengkaji maupun menganalisa substansi dari hukum ciptaan manusia yang berlaku, maka mereka niscaya akan berkesimpulan bahwa wawasan dan pengetahuan Imam Hasan Al-Banna dalam ranah ini sangat luas sekali. Di samping itu, Beliau juga menerangkan bagaimana pandangan Islam terhadap penerapan hukum (undang-undang) ciptaan manusia serta pandangan Islam terhadap pengajuan dan penyelesaian masalah-masalah hukum ke pengadilan-pengadilan negeri yang notabene menerapkan hukum ciptaan manusia tersebut.

Beliau meyakini bahwa hukum ciptaan manusia yang menyalahi aturan-aturan syariah termasuk dalam kategori hukum yang batil, sehingga seorang Muslim dilarang mempraktikkan, menyelesaikan masalah hukum, berpedoman serta loyal terhadap hukum semacam itu. Imam Hasan Al-Banna mengatakan: “Sungguh ironis dan tidak logis sekali bila hukum dan perundang-undangan yang berlaku di tengah-tengah umat Islam sangat bertentangan dan kontradiktif dengan ajaran-ajaran agama Islam, hukum Al-Qur`an dan petunjuk-petunjuk sunnah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM. Padahal Allah Ta’ala telah mengingatkan Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM tentang masalah itu sebelumnya. Allah berfirman dalam Qur’an Surah. Al-Maidah 49-50:

(وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ أَنْ يُصِيْبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوْبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيْراً مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُوْنَ، أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْماً لِقَوْمٍ يُوْقِنُوْنَ) [المائدة: 49-50]

Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin”.

Ayat ini didahului oleh firman Allah dalam Qur’an surah Al-Maidah 44:

(وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ)

Artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

Dan setelah ayat ini terdapat pula dua ayat yang menerangkan bahwa siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang zhalim dan orang-orang fasiq.

Lalu bagaimana mungkin seorang Muslim yang benar-benar beriman kepada Allah SUBHANAHU WATA’ALA dan percaya kepada Al-Qur`an bila mereka mendengarkan ayat-ayat yang sudah sangat jelas, hadits-hadits dan semua hukum yang terkait dengan masalah ini, lantas berhukum dengan perundang-undangan yang bertentangan dengannya? Itu artinya, bila Allah SUBHANAHU WATA’ALA telah mengharamkan zina, melarang praktik-prakik ribawi, tidak melegitimasi minuman keras serta memerangi perjudian dengan segala jenisnya, lantas kemudian ada undang-undang yang melindungi para pelaku zina, mengharuskan sistem riba, membolehkan minuman keras serta melegitimasi perjudian. Jadi, bagaimanakah Muslim menyikapi dua fenomena tersebut?!

Ikhwanul Muslimin secara tegas menyatakan penolakan terhadap undang-undang ini dan berjuang dengan segala daya upaya supaya undang-undang tersebut digantikan posisinya oleh hukum syari’at Islam yang berkeadilan. Adapun pengadilan-pengadilan yang mengaplikasikan dan menjalankan hukum tersebut, Imam Hasan Al-Banna telah menyatakan sikap dan kewajiban seorang akh yaitu: “Sudah semestinya seorang akh memutuskan hubungan dengan pengadilan-pengadilan negeri dan seluruh lembaga-lembaga peradilan non-Islam lainnya” .