Kondisi Objektif Gerakan Dakwah Saat Ini (4)

6. Krisis Amanah dan Kejujuran (Amanah & Shidq)

Sangat menyedihkan memang ketika melihat fakta di lapangan bahwa sebagian pemimpin dan aktivis Dakwah kurang amanah dan jujur, khususnya ketika berhadapan dengan masalah uang dan kedudukan.
Saat masih kecil ketika sekolah SD di kampung, penulis melihat pemandangan yang aneh pada salah seorang buya (kiyai) yang menjadi guru spiritual bagi mayoritas masyarakat saat itu. Beliau juga masih kerabat dekat dengan penulis. Beliua menganut paham salah stau aliran tasawuf yang terkenal di negeri ini. Beliau tidak bekerja kecuali hanya mengajarkan murid-muridnya ilmu, beribadah, tasawuf (akhlak) dan berbagai ilmu lainnya di surau yang menjadi pusat kegiatannya. Dengan pakaian dan sorban serba putih, tanpak sang guru sangat berwibawa. Badannya yang besar dan tinggi, hidungnya yang mancung, berjalan sambil sedikit agak menunduk, semakin terpancar wibawa yang luar biasa dalam dirinya.

Penulispun sempat belajar kitab Barzanji (Kisah Nabi dalam bentuk bait-bait syair Arab yang konon ditulis di zaman setelah Sholahuddin Al-Ayubi, yang menjadi gacoan mayoritas masyarakat Muslim Indonesia dalam acara mauludan). Dalam diri penulis saat itu sering bertanya: Kenapa semua muridnya memberikan zakat fitrah, zakat mal dan sumbangan lain hanya kepadanya? Padahal orang miskin masih banyak di kampong? Kenapa Beliau tidak memberikan sebagiannya kepada orang-orang miskin itu?

Ketika masuk pesantren tahun 1979, penulis juga melihat indiksai kurang amanah dan jujur itu dilakukan oleh pimpinan pesantren. Padahal Beliau (yarhamuhullah) adalah tokoh besar Gerakan Dakwah moderen yang sempat berkibar tahun 1950an. Untuk kelas propinsi, nyaris Beliau sangat dihormati. Soal keilmuan dan keberanian menyampaikan kebenaran tiada duanya. Menurut cerita, ia pernah mengusir gubernur ketika datang berkampanye ke pesanteren mempromosikan partai yang berkuasa saat itu.

Beliau selalu mensyaratkan tidak boleh bicara politik atau partai politik bagi pejabat yang ingin berkunjung ke pesantren yang ia pimpin. Penulis sendiri pernah menyaksikan sekitar 1981 saat salah seorang gubernur berkunjung ke pesantren. Sebelum berkunjung sudah disepakati tidak boleh biacara politik atau partai politik. Namun sang gubernur, mungkin karena merasa jadi penguasa daerah, saat berpidato melenceng ke soal politik dan keharusan mendukung partai berkuasa saat itiu. Spontan sang Buya merah mukanya dan langsung memebelakangi sang gubernur sedang bicara di atas podium. Setelah gubernur selesai bicara, Buyapun langsung naik ke podium menguliahi sang gubernur dan hadirin sambil berkata : Ini pesantren harus steril dari urusan politik praktis. Karena politik praktis sekarang jauh dari nilai-nilai kebenaran. Pesantren ini kami dirikan untuk mencetak ulama yang akan mengajarkan masyarakat bagaimana hidup benar dan mendapat ridha Allah.

Cerita lain, pernah suatu kali di tahun 1982. Saat itu kampanye pemilu sedang berlangsung. Penulis sangat tertarik pada partai yang berlambang Ka’abah. Bahkan sejak 1977 (belum cukup umur), penulis sudah terlibat mengikuti kampanye sampai ke pelosok-pelosok yang jaraknya lebih dari 100 km. Di kampung, penulis aktif mengampanyekan partai tersebut. Pada pemilu 1982 penulis menjadi saksi di TPS kampung sehingga partai yang berlambang Ka’bah itu akhirnya menang. Lucunya, yang menjadi rival utama penulis tidak lain adalah kakak kandung sendiri yang menjadi tokoh masyarakat dan sekaligus pegawai negeri. Semua itu penulis lakukan hanya karena kepercaan yang tertanam dalam hati bahwa inilah satu-satunya partai Islam dan harus didukung agar partai tersebut menang, Kepercayaan itu lahir begitu saja, tanpa didukung informasi yang cukup.

Ketika gegap gempiatannya kampanye pemilu 1982, penulis datang menghadap sang Kiyai (Buya) dan bertanya : Buya? Kenapa Buya tidak mau berpolitik praktis padahal Buya sangat besar pengaruhnya? Bukankah partai yang berlambang Ka’bah itu partai Islam? Bukankan buya sering memotifasi kami untuk selalu hidup dalam naungan Islam dan memperjuangkan nilai-nilai Islam tegak dalam masyarakat? Lalu Beliau dengan tenag menjawab sambil tersenyum : Sama saja ketiga partai itu. Kalau kamu bedah dada saya, kamu akan lihat di dalamnya tertulis ……. Kalau dengan bahsa sekarang mungkin dapat kita tafsirkan seakan Buya tersebut mengatakan : Ah? Itu cumna 3 in 1. Penulispun saat itu heran, kenapa Buya berkata demikian? Akhir 1982 Penulis hijrah ke Jakarta. Nah, setelah tinggal di Jakarta beberapa lama, barulah penulis memahami hakikat dan kebenaran apa yang Beliau katakan.

Sungguh luar biasa ilmu, keberanian dan berbagai kelebihan yang dimiliki sang Buya. Penulis termasuk murid yang sangat disayanginya. Sering diajak kerumahnya, diskusi, makan dan sebagainya. Bahkan Ummi (panggilan istri Beliau) sudah menganggap penulis bagian dari keluarga besar mereka. Ketika masih kelas dua Aliyah, penulis sudah diangkat menjadi tenaga pengajar tetap untuk kelas satu dan kelas dua Tsanawiyah. Penulis menyadari betul betapa hebatnya ilmu, keyakinan dan keberanian Beliau menyampaikan kebenaran. Sulit dicarikan tandingannya saat itu. Beliau adalah guru yang sesungguhnya dalam masalah-masalah tersebut. Namu, ketika penulis sering mengusik manajemen keuangan pesantren yang kurang professional dan tidak transparan yang telah menjadi confort zone ( zona nyaman) sejak sekian puluh tahun, Beliau marah luar biasa sehingga penulis terpaksa tidak bisa menyelesaikan sekolah di pesantren tersebut, kendati tinggal beberapa bulan saja.

Begitu pula setelah kuliah di Jakarta Januari 1983. Penulis juga mendengar cerita-cerita tidak sedap terkait lembaga-lembaga dakwah seperti pesantren, yayasan sosial, pengurus masjid, yang “kurang amanah dan jujur” dalam hal uang dan dana. Dana-dana bantuan masyarakat dari dalam maupun luar negeri sering menjadi persoalan. Apalagi jika dana tersebut berasal dari bantuan pemerintahan atau pejabat atau partai berkuasa di zaman Orde Baru, maka nuansa ‘kurang amanah dan jujur’ –terkenal dengan istilah sunnat menyunat- tersebut sangatlah ketara.

Penulis ingat betul ketika gunung Galunggung meletus, betapa banyak dana bantuan bencana alam saat itu disunat dan bahkan digelapkan. Ironisnya, sunat-menyunat dan gelap mengelapakan dana pemerintah sampai saat tulisan ini ditulis masih berjalan dengan baik dan lancar. Bahkan menurut Iman Sugama, seorang pengamat ekonomi dari IPB, sunat menyunat itu bermuara dari APBN yang dimurk-up sampai 300 %. Inilah sumber korupsi yang telah menjadi budaya di negeri yang mayoritas Muslim ini. Allahu Al-Musta’aan (Hanya Allah Penolong kita) mengahdapi kejahatan seperti ini, kepada-Nya kita bertawakkal dan kepada-Nya jua kita akan kembali.

Sungguh menyedihkan, ketika mendapat kesempatan beaisiswa belajar di Pakistan tahun 1986, penulis juga menemukan fenomena kurang amanah dan kejujuran. Syahdan, penulis sekolah dan tinggal di kawasan kompleks salah satu Gerakan Dakwah terbesar pertengahan abad 20. Berkat Gerakan Dakwah tersebutlah Negara Republik Islam Pakistan berdiri 1947. Penulis memang selalu berdoa selama tahun 1986 agar diberi Allah kesemapatan belajar di Pakistan. Ketika mendapat berita beasiswa itu, penulis hanya berucap : Alhamdulillah. Sugguh banyak sekali doa hamba yang Engkau kabulkan yaa Allah…

Apa yang terjadi setelah penulis belajar di sana? Sugguh sebuah pemandangan tak sedap seperti yang penulis lihat di kampung, di pesantren dan di Jakarta serta tempat-tempat lainnya di Indonesia. Terjadi kirisis amanah dan kejujuran yang sangat luar biasa. Betapa banyak dana-dana yang masuk, khususny atas nama lemabaga pendidikan yang penulis sempat belajar di sana sekitar satu tahun. Berabagi upaya mereka lakukan untuk meyakinkan para donatur, ulama dan tokoh dunia Islam khususnya dari Timur Tengah bahwa mereka sedang membangun sebuah proyek besar dakwah terkait pembinaan generasi muda Islam dari berbagai penjuru dunia, khususnya dari kalangan Muslim minoritas seperti Cina, Eropa Timur, Afrika dan sebagainya.

Bagi penulis yang sudah terbiasa kritis sejak tinggal dikampung, tidaklah sulit membuktikan tidak amanah dan ketidak jujuran tersebut. Berkali-kali penulis mencoba berdialog dengan pimpinan lembaga tersebut agar memperbaiki kinerja dan manajemen lembaga pendidikan tersebut supaya tiadk hanya menjadi show room pemuda-pemuda Muslim dari berbagai negara di dunia. Apa yang dipromosikan kepada para tokoh, pemimpin, pengusaha Muslim, khususnya dari Timur Tengah dan apa yang mereka realisasikan kepada para pemuda tersebut jauh panggang dari api. Namun, pimpinan lembaga tersebut tetap saja menghindar dan selalu mengalihkan pembicaraan ke tema-tema lain.

Pada suatu hari, datanglah salah seorang tokoh besar dari Timur Tengah sambil berkunjung dan melihat nasib sekitar 300 pemuda Muslim dari berbagai negara yang sedang menuntut ilmu di sana. Dalam pertemuan dengan tokoh tersebut, penulis terpilih menjadi pembicara/kata sambutan mewakili mahasiswa dengan teks yang sudah disiapkan oleh lembaga pendidikan tersebut. Sebelum acara di mulai, penulis minta izin pada salah seorang dosen dari Palestina bahwa kesempatan ini akan penulis gunakan untuk menjelaskan realitas para mahasiswa, baik dari segi konsep pendidikan, kesejahteraan dan sebagainya. Dosen tersebutpun setuju. Syahdan, saat penulis menyampaikan kritikan terkait dengan konsep pendidilkan, manajemen, kesejahteraan mahasiswa dan sebagainya, suasanapun menjadi hangat dan seru. Sang tokoh besar terlihat sangat antusias, demikian juga mahasiswa yang hadir. Namun, para pengelola lembaga dan pimpinannya menjadi sangat gelisah dan muka merka merah padam.

Setelah acara selesai, penulis dipanggil pimpinan lembaga tersebut. Penulis sudah menduga akan terjadi perdebatan yang sengit. Dengan tenag penulis masuk ke ruangan pimpinan. Kata-kata yang masih terngiang yang diucapkannya sambil menangis kepada penulis ketika itu ialah : Kenapa kamu berani-beraninya mengungkapakan hal-hal tersebut di hadapa tamu kita? Bukankah kamu sudah kami anggap sebagai anak sendiri? Kalau kamu tidak mau belajar di sini, silahkan cari lembaga lain. Penulispun menjawab : semua yang saya sampaikan itu adalah fakta. Saya sudah berkali-kali minta pada Bapak untuk membenahi lembaga ini secara profesional. Namun tidak ada perbaikan sama sekali. Kami tidak mau hanya sebagi barang dagangan yang ditawar-tawarkan ke tokoh atau donatur, khususnya dari Timur Tengah. Masalah Bapak sudah menganggap saya sebagai anak sendiri, saya ucapkan terima kasih. Tapi bukan bebrarti saya tidak boleh bicara benar dan jujur. Kebenaran dan kejujuran itu harus ditegaggakkan pada diri sendiri dan pada orang-orang yang terdekat dengan kita. Sebab itulah saya berani mengatakan semua apa yang saya ketahui benar.

Walhasil, penulispun pindah kuliah ke tempat lain, setelah satu tahun mencoba belajar dan memberikan sumbangan pemikiran pada lembaga pendidikan yang menjadi tempat penulis belajar pertama kali di Pakistan.

Setelah kembali ke Indonesia tahun 1991, penulis banyak berinteraksi denngan berbagai lemabaga dakwah. Sampai saat ini, sudah sekitar 17 tahun, penulis dan juga para aktivis dakwah yang sensistif dan concern terhadap hidup bersih, khususnya terkait makanan, minuman, pakaian dan dana-dana dakwah lainnya, masih menyaksikan adanya krisis amanah dan kejujuran itu. Sampai kapan umat ini, khususnya Gerakan Dakwah mampu menanggulangi krisis tersebut? Allahu A’lam.

Sesunggguhnya amanah dan kekujuran itu bukan hanya kewajiban masyarakat awam. Akan tetapi, amanah dan kejujuran itu kewajiban semua kaum muslimin, terlebih lagi para pemimpin mereka. Bahkan dua dari empat sifat utama Nabi Muhammad Saw adalah amanah dan shidq (jujur). Tanpa amanah dan kejujuran, rumah tangga, jamaah, organisasi, partai dan bahkan negara akan menjadi kacau yang mengakibatkan kezaliman tersebar di mana-mana.

Demikianlah, amanah menjadi kunci kelurusan semua sistem kehidupan; sejak dari akidah, hukum, budaya, muamalah (ekonomi), takaful ijtima’i (gotong royong), politik pemerintahan dan akhlak. Tanpa amanah semuanya akan jadi berantakan.

Amanah dengan pengertian dan batas-batas seperti ini merupakan rahasia kebahagiaan dan kesuksesan manusia. Ketika umat kita (Islam) umat yang paling jujur dalam mengemaban sifat amanah dan melaksanakannya secara maksimal, ketika itu pulalah mereka menjadi umat terbaik yang ditampilkan di tengah-tenga manusia. Tapi, lihatlah kondisi mereka hari ini? Mereka tertindas oleh hegemoni musush mereka dan rercabik-cabik menjadi puluhan Negara, kelompok dan partai.

Pernah seorang wanita ternama mencuri di zaman Rasul Saw. Keluarganya mencoba mendapatkan keringanan (dispensasi hukum) dari Rasul Saw. agar tidak diterapkan padanya hukuman potong tangan. Mendengar dan melihat gelagat mereka, Rasulpun marah sambil berkata : “Wahai manusia! Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur karena mereka (menerapkan hukum tebang pilih). Ketika yang mencuri (korupsi) itu dari kalangan terhormat, mereka membiarkannya. Namun, bila yang mencuri itu dari kalangan lemah (rakyat jelata), mereka terapkan hukum pada mereka. Demi Dzat (Allah) yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Sekiranya Fathimah anak kesayangan Muhammad mencuri, pasti Muhammad potong tangannya”.

Ini adalah amanah seorang penguasa dalam menerapkan undang-undang/peraturan terhadap semua rakyatnya.

Salah seorang anak Umar Ibnul Khattab pernah meminjam modal untk berdagang dari Abu Musa Al-Asya’ari yang ketika itu menjadi Gubernur Kufah (Irak). Abu Musa meminjamkannya dari uang simpanan negara dengan syarat dikembalikan utuh, tanpa ada pemotongan sedikitpun. Perdaganganpun dijalankan sampai anak Umar tersebut meraih keuntungan besar. Berita itu sampai kepada Umar. Lalu Beliau berkata kepada anaknya : Ketika kamu membeli barang, para penjual pasti mendiscount harganya karena mereka mengetahui kamu adalah anak seorang Amirul Mukminin. Ketika kamu menjual barang daganganmu pasti dibeli dengan harga yang lebih tinggi karena para pembeli juga mengetahui kamu adalah anak Amirul Mukminin.

Okelah… Jika demikian keadaannya, kaum Muslimin memiliki hak terhadap keuntungan yang kamu peroleh (karena modalnya dari harta mereka). Lalu Umar membagi dua (50 : 50) keuntungan tersebut – sebagian untuk anaknya dan sebagian yang lain diserahkan ke Baitul Mal-Umarpun meminta agar modal yang dipinjam anaknya itu segera dikembalikan ke kas negara dan mengingatkan dengan keras akan perbuatan anaknya. Bukan hanya sampai di situ, Umar juga menegur Abu Musa dengan keras atas perbuatannya yang meminjamkan harta negara kepada anaknya yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Ini adalah amanah penguasa yang tidak tidur di malam hari demi menjaga harta rakyatnya serta tidak pandang bulu; teman atau keluarga terdekat sekalipun.

Sholahuddin Al-Ayubi, rahimahullah, adalah Raja yang amat popular di zamannya dalam penaklukan dan kemenangan. Di tangannya negara memperoleh ghanimah (harta rampasan perang) yang sangat banyak. Semuanya Beliau gunakan untuk wakaf pengembangan pendidikan, rumah sakit dan masjid yang bekas peninggalannya masih kita temukan sampai hari ini. Sungguh demikian, sedikitpun tidak ada yang Beliau tinggalkan untuk dirinya dan anak-anaknya. Bahkan sejarah mencatat, ketika meninggal dunia, Beliau adalah manusia yang paling miskin, tidak ada dirham, dinar, tanah dan rumah yang ditinggalkan untuk anak-anaknya.

Ini adalah amanah seorang pemimpin yang Mujahid yang tidak tergoda memperdagangkan jihad (perjuangan)-nya. Dia hanya mencari ridha, syurga dan ganjaran dari Allah sebagai ganti semua itu.
Ketika Khalifah Utsman Ibnu Affan – radhiyallahu ‘anhu – hendak meminjamkan sebagian harta negara kepada beberapa orang (kawannya), ia memanggil direktur Baitul Mal dan memerintahkan agar merealisasikan permintaannya itu. Sang Direkturpun menolak perintah Utsman. Lalu Utsman berkata padanya : Kenapa kamu tidak mau merealisasikannya sedangkan kamu pegawai kami? Sang Direkturpun lari menuju Masjid (Nabawi) dan berkata dengan suara yang amat keras sehingga terdengar semua orang yang ada di Masid : Wahai manusia! Utsman menduga bahwa saya adalah pegawainya. Saya sesungguhnya adalah pegawai yang menjaga Baitul Mal kalian. Baitul Mal ini milik kalian, bukan milik pribadinya. Ini kunci Baitul Mal itu, sekarang saya serahkan kepada kalian. Kemudian sang Direktur melemparkan kunci-knuci Baitul Mal itu dan langsung pergi.

Ini adalah amanah seorang pegawai yang terhormat. Dia tidak mau melecehkan peraturan demi hanya mencari keridhaan presiden atau pimpinannya.

Ali Khalifah Rasul keempat – karromallahu wajhah- pernah melewati sebuah masjid. Dia melihat seseorang sedang memberikan pelajaran agama kepada para hadirin. Lalu Ali berkata kepada sang Ustadz tersebut : Apakah Anda menguasai hukum-hukum dalam Al-Qur’an, nasikh (ayat-ayat yang membatalkan/dihapus hukum sebelumnya) dan mansukh (ayat-ayat yang dibatalkan/dihapus)? Sang Ustadz menjawab : Saya belum mengetahuinya. Spontan Ali berkata : celaka engkau dan engkau mencelakakan masyarakat. Kemudian Ali melarang orang tersebut memberikan pelajaran agama kepada masyarakat.

Ini adalah amanah seorang Presiden dalam menjaga kemurnian ilmu dan aqidah umat agar tidak dirusak oleh orang-orang bodoh/ tidak berilmu.

Pernah suatu kali, Syekh Izzuddin Abdussalam, sang Jaksa Agung Damaskus berseberangan dengan Sultan Damskus karena ia (Sultan Damaskus) bekerjasama dengan pihak asing untuk memerangi Sutan Mesir; saudara muslimnya. Syekh Izzuddin menganggap perbuatan itu adalah sebuah pengkhianatan terhadap kaum Muslimin dan sebuah tindakan kriminal terhadap negerinya. Ketika Sultan Damaskus memecatnya, Sykeh Izzuddin tidak mau tinggal di negeri yang penguasanya adalah para pengkhianat atas hak-hak masyarakat, kemerdekaan dan kedaulatan mereka. Beliau tidak mau pulang ke Damaskus kendati sang Sultan sudah berupaya dengan segala cara seperti janji-janji manis nan menggiurkan.
Ini adalah amanah seorang alim (ulama) yang tegas menegakkan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim dan membongkar pengkhiatannya terhadap masyarakat, tanpa takut menghadapi berbagai ancaman penguasa demi berjalan di jalan Allah.

Pada suatu hari, Aisyah – radhiyallahu ‘anha- bersedekah sebanyak 100.000 dirham sedangkan ia berpuasa dan memakai pakaian yang bertambal. Lalu pembantunya berkata kepadanya : Wahai sekiranya engkau tinggalkan sedikit untuk membeli makanan untuk buka puasa kita hari ini. Tidak ada lagi yang bisa kita makan hari ini. Aisyahpun menjawab : Kalau kamu ingatkan sejak awal, aku akan lakukan itu.

Ini adalah amanah orang kaya Mukmin yang lupa rasa lapar dalam dirinya. Pada waktu yang sama, ia malah ingat rasa lapar orang lain dari masyarakatnya.

Itulah sekelumit contoh kongkrit amanah dan kejujuran dalam semua lapangan dan level kehidupan yang dilahirkan Islam sepanjang masa. Pertanyaannya adalah : Kapan aktivis dan pemimpin Gerakan Dakwah hari ini mampu menerarpkan amanah dan kejujuran dalam semua aktivitas kehidpan mereka sebagaiman yang dilakuakn oleh generasi-generasi Islam sebelum kita?

Adapun penyebab kurang amanah dan kejujuran, anatara lain ialah :

1. Kurang menghayati ancaman akhirat bagi yang tidak mampu menunaikan amanah di dunia dengan baik, jujur dan sempurna. Dalam Hal ini dijelaskan Rausul Saw :

Dari Abu Dzar ia berkata : Wahai Rasulullah! Mengapa engkau tidak mengangkat saya jadi pejabat? Beliau berkata sambil menepuk bahuku : Wahai Abu Dzar! Kamu adalah seorang yang lemah. Jabatan itu adalah sebuah amanah dan di hari kiamat nanti bisa menyebabkan kehinaan dan penyeselan, kecualai orang yang menerimanya dengan hak (profesional) dan menunaikan semua konsekuensinya” (H.R. Imam Al-Bukhari)

2. Kekeliruan pendapat atau pandangan yang mengatakan demi untuk dakwah dan perjuangan umat, boleh memperoleh harta dengan berbagai cara, tanpa harus mempertanyakan dari mana asal usul harta tersebut diraih. Hal tersebiut disebabkan hilangnya sifat “’iffah” (menjaga kebersihan diri dari harta yang haram dan syubhat). Rasul Saw bersabda :

“…..Dan siapa yang mencari ‘Iffah (kebersihan diri dari Allah), maka Allah akan berikan kepadanya dan siapa yang mencari kecukupan (harta) dari (tidak dengan meminta-minta kepada manusia) maka Allah akan berikan kecukupan padanya” (H.R Imam Al-Bukhari)

3. Kurang mendapatkan tarbiyah khususnya tazkiyatunnafs (menyucikan jiwa). Ketika jiwa tidak memperoleh tazkiyah secara maksimal, maka akan terjadi dualisme yang mengerikan dalam diri seorang Muslim. Saat itulah jiwanya terpecah antara prilaku lahiriah keislaman yang tercermin pada perkataan dan perbiuatan tertentu, dan antara jiwa yang bergejolak, tersesat dan tenggelam dalam angan-angan duniawi dan cita-cita pribadinya.

Keistimewaan keislaman orang yang memiliki jiwa seperti ini ialah paling maksimal hanya sebatas ucapan-ucapannya yang yang mencerminkan prilaku islami. Sesungguhnya yang menjadi daya tariknya adalah keuntungan dunia yang diperolehnya tanpa modal. Sehingga kelihatannya ia sedang menunaikan hak Allah dan berjihad di jalan-Nya. Sedangkan dalam dirinya memberikan warna lain berupa ketamakannya pada kehidupan dunia dan angan-angan pribadinya. Orang seperti ini, beragama (dalil-dali agama) pada hakikatnya tidak lebih dari tempat bersandar yang ia jadikan untuk menutupi hal-hal yang mungkin sebagai kemungkaran, atau tidak lebih sebagai alat yang menutupi hakikat dalam dirinya di hadapan orang lain. Jauh, amat jauh masyarakat muslim bangkit di tangan orang-orang yang beragama (berdakwah) seperti itu, tanpa mereka mau menanggung beban yang terkadang amat meletihkan jiwa atau bertentangan dengan hawa nafsu dan keinginan-keinginan pribadi