Rahasia Manhaj Rabbani (6)

D.6. Tata cara Amar makruf dan nahyu munkar

Allah swt berfirman :

وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al Anam : 108)

Hukum yang bisa kita ambil dari ayat ini adalah larangan menggugah kemarahan orang-orang yang melakukan kemunkaran karena kemarahan kita atas kemunkaran yang mereka lakukan, sehingga mereka jatuh ke dalam kemunkaran yang lain dan lebih berlipat. Hal ini terjadi ketika kita mengolok-olok sesembahan selain Allah yang disembah oleh para pemujanya, kemudian mereka membalas mengolok-olok Allah karena kemarahan dan fanatisme jahiliyyah mereka. Inilah yang disebut dengan Istitsarah, yang seperti ini dalam syariat Islam tidak masuk kategori Amar makruf dan Nahyu munkar, karena yang kita lakukan justru menjadi sebab kita jatuh dalam keharaman, sementara Allah telah memerintahkan kita agar menutup pintu keharaman ini, sekalipun pada awalnya adalah sebuah bukti ghirah keIslaman kita yang diijinkan oleh syariat atas hal yang dihormati dalam agama kita.

Hikmah hukum ini adalah sangat jelas, tujuan disyariatkannya amar makruf dan nahyu munkar adalah memasyarakatkan kebenaran dalam masyarakat dan mengenyahkan kebathilan dengan maksimal, sarananya adalah nasihat dengan ikhlash untuk agama Allah swt. Nasihat ini menjadi benar ketika lahir dari hati yang ikhlash, bersih dari keinginan, hawa nafsu dan dendam, disampaikan dengan bahasa yang membangkitkan penalaran dan logika bukan menusuk perasaan dan jiwanya yang kita nasihati, dilakukan pada waktu yang tepat di mana tidak dalam rangka membuka aib dan menyngkapnya dalam pandangan orang banyak.

Dalam kondisi seperti inilah Amar makruf dan nahyu munkar disyariatkan untuk umat Islam semuanya. Adapun dalam kondisi yang lain, maka bias makna amar makruf dan nahyu munkar membuka ruang keburukan dalam bentuk yang lain, inilah yang tidak diridhai oleh Allah swt.

Karena itulah wajib bagi kita memahami adab amar makruf dan nahyu munkar sebelum kita terjun dalam medannya, karena seringkali keterlibatan kita dalam amar makruf dan nahyu munkar adalah lebih berbahaya daripada kemunkaran yang hendak kita enyahkan.

Apabila kita melihat kemunkaran yang ada di jalan atau dilakukan oleh tetangga dekat kita, lalu kita tergesa-gesa mengingatkan mereka tanpa memperhatikan adab yang telah kami jelaskan di muka, kemudian orang tersebut bangkit kemarahannya, semakin menjadi-jadi kemunkarannya. Yang mendorong kita melakukan ini pada hakikatnya adalah kesombongan sekalipun kelihatannya sebuah usaha pengingkaran terhadap kemunkaran, kita tidak menyadari telah melakukan kerjasama dalam dosa, sekalipun sebenarnya kita mengharap pahala dan ganjaran dalam amr makruf nahyu munkar.

Hal terpenting yang harus kita perhatikan adalah, kita harus mampu membedakan antara marah dan ghirah karena Allah dan marah karena nafsu kita. Banyak orang yang ingin mengingkari kemunkaran dengan motivasi membela diri pribadi dibanding membela agama mereka, motivasi ini sangat jelas dan nyata dalam pandangan banyak orang, sehingga respon yang muncul dari yang dinasehati adalah ketakabburan dan pembangkangan.

Betapa banyak guru yang melihat siswanya melakukan kemunkaran di depan matanya, lalu bangkit kemarahannya, karena ia merasa siswanya telah melukai dan menusuk kehormatan agamanya, dan tidaklah yang dilakukan siswanya keuali penghinaan dan perendahan terhadap kedudukannya sebagai guru, sebaliknya si siswa merasa di sakiti dan dimusuhi, sehingga ia semakin meningkat kemunkarannya. Si guru pada hakikatnya melakukan pengingkaran karena keinginan pribadinya dan si siswa tahu ketidakikhlasan gurunya, karenanya ia semakin membangkang dan menjadi-jadi dalam kemunkarannya.

Betapa banyak orang yang memiliki semangat agama ketika melihat di jalan ada orang yang tidak puasa makan di depan matanya, lalu ia marah sejadi-jadinya, karena ia yakin orang yang tidak berpuasa itu telah menodai kehormatan agamanya, ia manfaatkan segala yang ada di sekitarnya untuk mengungkapkan kemarahannya, kalau bukan karena sempitnya semangat agamanya pasti dia tahu bahwa kemunkaran yang dilakukan itu tidak ada pengaruhnya terhadap dirinya, sehingga dia tidak terpengaruh dan tidak memperdulikannya.

Dorongan-dorongan yang bersifat pribadi inilah yang menyebabkan pelaku amar makruf dan nahyu munkar jatuh dalam sikap yang tidak disyariatkan dan sia-sia tanpa hasil, bahkan justru melahirkan kemunkaran yang lebih besar.

Seorang muslim yang sungguh-sungguh dalam keIslamannya seharusnya diam dalam kasus seperti ini, sehingga dia tidak jatuh dalam sikap tidak ikhlash dalam amar makruf dan nahyu munkar, atau ia lupakan sisi pribadinya lalu berusaha untuk memberikan nasehat yang baik sesuai syariat yang dibarengi dengan niat membela agama Allah semata.

Ayat ini dan ayat-ayat lain yang serupa dalam Al Quran mengingatkan para ulama Islam akan salah satu prinsip dasar dalam syariat Islam, yang dikenal dengan saddudz dzariah.