Trauma dengan Keputusan Masa Lalu

Assalamu’alikum wr. Wb.

Saya adalah anak laki-laki yang termasuk dekat dengan ibu. Pesan-pesan ibu yang disampaikan ketika sedang memasak di dapur terekam di benak saya. Salah satunya adalah melarang saya menikah terlalu cepat seperti kakak pertama saya, sehingga tidak bisa membantu adik-adiknya.

Waktu itu saya bertekad untuk memenuhi pesan ibu tersebut. Namun pada akhirnya seiring berjalannya waktu, saya melanggar pesan ibu tersebut. Saya menikah di usia 22 tahun, dan ketika kedua adik saya masih membutuhkan bantuan saya. Lingkungan pergaulan saya serta pembimbing saya waktu itu memang menggebu-gebu memberikan pemahaman tentang keutamaan menikah. Apalagi kondisi calon yang disebutkan perlu ‘diselamatkan’ sehingga saya dengan ‘semangat heroik’ menikahinya. Pesan ibu yang selalu terekam, menjadi tidak prinsip menurut pemahaman saya dan teman waktu itu.

Singkat cerita, karena kondisi perekonomian saya yang terus pas-pasan hingga saya memiliki lima anak, menjadikan saya tidak bisa membantu kedua adik saya untuk melanjutkan kuliah.

Mereka kecewa pada saya. Mereka yang pada awalnya respek terhadap ajakan saya untuk mengikuti kajian sekarang menjadi apatis. Mereka beranggapan keputusan menikah saya yang terlalu cepat adalah keliru.

Saat ini saya selalu teringat hal tersebut dan menjadikan saya tidak semangat mengikuti kegiatan bersama teman-teman.

Mohon saran.

Wassalamu’alaikum wr. Wb.

Rasa penyesalan Anda dapat kami pahami sebagai wujud kecintaan Anda yang tinggi terhadap orang tua Anda hingga Anda kini telah berkeluarga.

Kita mungkin sering mendengar ungkapan ‘nasi telah menjadi bubur’. Dan sudahlah apa yang sudah terjadi menjadi lembaran hitam yang kita tutup rapat untuk menjadi pelajaran di masa yang akan datang.

Namun bukan tidak berusaha menyembuhkan luka lama itu, masih banyak cara yang bisa kita tempuh dan memperbaiki hubungan minimal janganlah hal ini menjadikan hubungan anda dengan orang tua menjadi renggang.

Tiadalah salahnya Anda ‘mengambil hati’ orang tua dengan sering-sering bersilaturahmi dan tidak lupa pula membawakan keperluannya yang disesuaikan dengan kemampuan Anda tentunya. Misalnya. datanglah dengan membawa kebutuhan sembako, pakaian atau memberikan uang kepada orang tua dan adik-adik Anda walaupun sedikit tetapi berkala (sering).

Perlihatkan rasa perhatian Anda yang tinggi terhadap keluarga, seringlah bertanya-tanya tentang kondisi keluarga walaupun hanya sekedar sapa. Bantulah bila mereka ada keperluan dengan apa yang dapat kita bantu.

Terbalik bila Anda menjadikan hal ini mengganggu kegiatan Anda. Namun seharusnya dijadikan sebuah tekad bahwa kegiatan kajian ini lah yang justru menjadikan Anda amat sangat besar cinta dan perhatiannya terhadap keluarga