Integritas Moral Ulama

عليكم بمجالسة العلماء و استماع الحكماء فان الله تعالى يحي القلب الميت بنور الحكمة كما يحي الارض الميت بماء المطـر.

“Hendaknya kalian membiasakan terlibat dalam majelis para ulama dan menyimak kata-kata para hukama*. Sesungguhnya Allah Swt. menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana Ia menghidupkan tanah yang mati dengan air hujan.” (Rasulullah Saw)


Ulama adalah komunitas manusia yang dengan keluasan ilmu dan integritas moralnya dapat mentransformasikan pengetahuan dan bimbingan masyarakat menuju cita-cita individual dan kolektifnya. Nabi Muhammad Saw melukiskan bergaul dengan orang-orang berilmu dan shalih tak ubahnya seperti berteman dengan penjual minyak wangi. Walaupun kita tidak mendapatkan percikan minyak wanginya secara langsung, namun semerbak wanginya mengharumkan tubuh kita.

Oleh sebab itu, selalu terlibat dalam majelis-mejelis para ulama dapat memperluas wawasan, memperoleh berbagai ilmu yang mencerahkan pikiran, kalbu, dan aktivitas kita.. Sebab dalam majelis itu tidak sekedar digelar pengajian-pengajian yang bersifat keilmuan yang mencerahkan akal dan pemikiran tetapi juga dipadukan dengan majelis dzikir yang menjadi salah satu makanan ruhani paling bergizi yang dapat mencerahkan kalbu dan spiritual kita.

Selain itu, kita akan memperoleh keteladanan dari para ulama yang kredibiltas keilmuan dan integritas moralnya diakui. Tanpa keberadaan ulama yang memiliki ilmu yang luas dan integritas moral yang tinggi bisa jadi hidup kita akan kehilangan bimbingan yang menyebabkan perjalanannya tersungkur-sungkur dalam kesesatan yang menjeratnya.

Posisi penting ulama dilukiskan Rasulullah Saw sebagai "pewaris para nabi". Melalui keberadaan ulama pula kita dapat mengikuti keteladanan Nabi Muhammad Saw. Rasulullah Saw mengingatkan betapa kritisnya kehidupan masyarakat yang telah kehilangan ulamanya.

"Sesungguhnya Allah Swt tidak mencabut ilmu dengan cara mencabutnya langsung dari hamba-hamba-Nya melainkan Dia mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama, hingga tiada seorang ulama pun yang tertinggal. Akibatnya manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu mereka ditanya tentang masalah agama, maka mereka memberikan fatwanya tanpa pengetahuan, karena itu mereka menjadi sesat dan menyesatkan." (HR, Bukhari Muslim)

Sedangkan hukama dengan kata-kata hikmah dan ungkapan-ungkapan bijaknya yang sarat makna terus-menerus memberikan pencerahan spiritual dan menyingkap berbagai selubung kegelapan kalbu, menyingkirkan keraguan dan kebimbangan, serta menghidupkan kembali hati yang telah membeku.

"Allah Swt telah menciptakan hati dan menjadikannya sebagai tempat bahkan singgasana yang paling tinggi untuk memahami, mencintai, dan menjalankan iradah-Nya." Begitulah Ibnu Qayyim al-Jauziyah melukiskan posisi hati manusia dalam kitabnya al-Fawa`id.

Memang, hati atau kalbu adalah karunia besar yang diberikan Allah Swt kepada manusia. Hati adalah tempat cahaya Ilahi, rumah bagi kebenaran yang datang dari Allah ‘Azza wa Jalla. Di dalamnyalah kesejahteraan yang sejati bersemayam.

Dzunnun al-Mishri mengatakan, "Orang yang mengenal Allah akan menjadi orang yang setia, hatinya cerdas, dan amalnya bersih." Oleh sebab itu tanpa pembiasaan menyimak kata-kata hikmah para hukama bisa jadi kegelapan akan bertahta di kalbu seseorang.

Sedangkan dalam kalbu yang penuh kegelapan, setan akan membangun istananya yang akan menjadi pusat pengendalian seluruh aktivitas dan amal perbuatan syaithaniyah. Dari istana itulah setan mengobarkan nafsu keserakahan yang tidak pernah mengenal akhir dan menghancurkan seluruh tata kehidupan.

*Yang dimaksud dengan Hukama ialah ulama yang menguasai hikmah. Dalam al-Mu’jam al-Wasith hikmah (al-hikmah) didefinisikan sebagai pengetahuan tentang yang posisinya lebih utama dari ilmu. Al-Jurjani dalam keutamaan sesuatu Al-Ta’rifat mendefinisakan hikmah sebagai ilmu yang membahas tentang hakikat substansi sesuatu sesuai dengan kadar kemampuan manusia. Ia menggolongkan hikmah sebagai ilmu nazhari. Tentang hikmah ini dalam al-Qur`an antara lain disebut, "Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman…" (QS, Luqman [31]: 13). Orang yang dikarunia hikmah disebut Hakim, yang dalam bentuk plural (jamak) menjadi Hukama. Oleh sebab itu Luqman diberi gelar hakim, sehingga namanya populer dengan sebutan Luqmanulhakim. Al-Jurjani menyebut hukama adalah orang-orang yang perkataan dan perbuatannya sesuai dengan sunnah. Sementara itu Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi dalam kitabnya Nasha`ihu al-‘Ibad, yang merupakan syarah (komentar) atas kitab Al-Isti’dad li Yaumi al-Ma’ad Ibnu Hajar al-‘Asqalani ini membedakan antara ulama dan hukama. Ulama ialah orang yang sangat memahami hukum-hukum Allah yang tertuang dalam wahyu dan sunnah Rasulullah Saw sehingga disebut ahli fatwa. Hukama ialah orang yang sangat memahami tentang eksistensi Tuhan yang meliputi nama, sifat, dan af`al (pekerjaan-pekerjaan)-Nya. Selanjutnya pengetahuannya itu mewarnai kalbunya sehingga mata hatinya menjadi cemerlang dalam memandang segala sesuatu. Mereka kemudian disebut hukama. (Maktabah Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah Indonesia, tanpa tahun).