Pelaksanaan Hudud: Apakah Harus Mendirikan Negara Islam?

Assalamu alaikum ustad.

Jika yang merajam harus negara yang berdasarkan syariat Islam (berdasarkan jawaban ustad), berarti orang-orang yang berzinah dan tak dihukum harus menanggung dosa di akhirat.

Pertanyaan saya: apakah negara Islam harus didirikan di indonesia. hal ini juga untuk menjawab keraguan sebagian orang atas kredibilitas pemerintah sekarang dalam penentuan awal/akhir ramadhan.

Terima kasih atas jawaban ustad

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pelaksanaan hukum rajam tidak mengharuskan terwujudnya sebuah negara bernama negara Islam. Tapi yang penting negara itu mengesahkan hukum hudud sebagaimana yang telah Allah SWT perintahkan. Meski negara itu tidak berembel-embel Islam.

Buktinya, di Aceh umat Islam dapat menikmati terlaksananya hukum hudud, mulai dari potong tangan hingga merajam pezina. Padahal Aceh merupakan bagian dari NKRI, bukan bagian dari NII.

Peran Lembaga Legislasi

Daerah lain di Indonesia juga bisa menerapkan hukum hudud ini, kalau memang mau. Jalurnya tentu lewat DPRD. Dan karena DPRD itu pilihan rakyat, ujung-ujungnya rakyat itulah yang menentukan apakah wilayahnya akan diberlakukan hukum hudud atau tidak.

Rakyat bertanggung-jawab di hadapan Allah SWT ketika memilih wakilnya untuk dikirim ke DPR. Apakah wakilnya itu mau memperjuangkan hukum hudud atau tidak, tentu menjadi sebuah pertanggung-jawaban tersendiri nanti di yaumil kiyamah. Kalau anggota legislatif yang dipilihnya sudah ketahuan punya sikap masa bodo dengan hukum hudud, tapi masih dipilih juga, silahkan jawab sendiri pertanyaan Allah nanti.

Maka wajib bagi umat Islam untuk memilih wakil rakyat yang mau memperjuangkan hukum hudud, apa pun partai yang mengusungnya. Dan haram memilih wakil rakyat yang tidak mau tahu dengan urusan yang satu ini, meski partainya bernuansa Islam. Sebab yang menjadi ukuran bukan aroma dan warna ke-Islaman, melainkan platform perjuangan serta implementasi dari visinya.

Peran Media

Tapi di sisi lain, perjuangan untuk menegakkan syariat Islam tidak mungkin hanya lewat parlemen. Yang paling utama justru lewat penyebaran ide dan pembentukan opini umat. Sehingga peran itu berada di pundak para da’i lewat media dakwahnya. Salah satu yang terpenting adalah media massa.

Namun teramat disayangkan, ternyata media massa milik umat ini sangat minim, baik dari sisi kuantitas apalagi kualitas. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari, itu pun jari sebelah tangan. Jangan tanya kualitasnya, nafasnya saja sudah Senin Kemis. Bahkan tidak sedikit yang sudah lama gulung tikar. Alih-alih bisa menerangi umat, bahkan menghidupkan diri sendiri pun tidak mampu.

Maka penyebaran ide tentang pentingnya hukum Islam dan penerapannya menjadi sangat tersendat. Karena begitu banyak potensi umat yang belum lagi tersalurkan di jalur media massa. Umat ini masih lebih asyik bagaimana membangun pisik masjid ketimbang membangun opini dan menyebarkan fikrah lewat jaringan media.

Media Destruktif

Sementara di sisi lain, jaringan media milik yahudi termasuk milik para sekuleris hedonis nan atheis semakin membanjiri rujukan umat. Mulai dari koran, tabloid, majalah, radio hingga ke televisi.

Satu bentuk keberhasilan kaum sekuleris dalam merusak gaya hidup umat ini adalah ideologi bencongisme. Media-media itu kompak menyuarakan aspirasi para bencong laknatullahi ‘alaihim ajma’in. Kalau kita perhatikan dengan baik, nyaris hampir semua group lawak di TV pasti selalu menampilkan gaya bencong ini dan tidak pernah berhenti menyuarakannya.

Bahkan salah satu yang paling parah, idoelogi perbencongan itu sudah masuk lewat bahasa gaul sehari-hari yang telah terserap dengan baik di tengah masyarakat muslim. Sampai anak-anak kita pun seringkali tertular bahasa para bencong salon itu. Dan kita pun rasanya sudah tidak asing lagi dengan idiom-idiom itu, bahkan jangan-jangan kita termasuk yang sering mengunakannya tanpa tahu dari mana asalnya.

Ungkapan seperti, "cape deh" sambil meletakkan punggung tangan ke dahi adalah khas para bencong mulai dari kelas pinggir jalan sampai kelas gedongan. Sadar atau tidak, kita telah menyerap misi perbencongan itu dengan nyaman. Dan yang mepublikasikanya adalah media massa sekuler. Sedikit pun kita tidak ingat bahwa Rasulullah SAW telah melaknat para pria yang bergaya wanita dan para wanita yang bergaya pria.

Demikian juga idiom, "kaciaan deh lo" sambil menjulurkan telunjuk ke wajah lawan bicara sambil digoyang-goyangkan, lagi-lagi itu berasal dari gaya bicara para bences.

Jadi jelas sekali betapa media massa telah berhasil bukan sekedar membentuk opini tetapi sekaligus juga gaya hidup. Dan seribu kali sayang, umat Islam nyaris tidak punya perhatian untuk urusan yang satu ini, kecuali dengan jumlah yang sedikit.

Maka bagaimana kita bisa bermimpi untuk punya hukum hudud, kalau umat pun tidak pernah punya media untuk menyebarkan fikrah tentang pentingnya hukum hudud?

Bagaimana teman-teman kita di DPR bisa memperjuangkan tegaknya syariah, kalau ternyata umat Islam sendiri malah menentang syariah, lantaran mereka tidak pernah mendapat asupan gizi yang benar tentang syariah Islam?

Kesimpulan:

  1. Untuk bisa merajam pezina, kita tidak harus mengubah dulu negara kita menjadi negara Islam, yang penting DPR mengesahkan hukum itu.
  2. Tapi DPR butuh dukungan dari rakyat yang mendesak diberlakukannya hukum hudud
  3. Rakyat tidak mungkin tiba-tiba menuntut diberlakukan hukum hudud, kalau tidak pernah diarahkan, dibina, dibentuk opininya oleh media massa Islam.
  4. Tapi sayangnya, media massa Islam malah memble. Yang unggul justru media anti Islam yang 24 jam dalam sehari mengajarkan kemungkaran tanpa henti.
  5. Kesimpulan akhirnya, mendirikan media massa yang menyuarakan Islam hukumnya wajib dan fardhu kifayah. Sebaliknya, membiarkan media massa Islam mati dan hidup senin kamis adalah sebuah pengkhiatan terhadap perjuangan

Wallahu a’lam bishshawab, Ahmad Sarwat, Lc