Wali Bukan Saudara dari Kedua Mempelai

Assalamu ‘alaikum

Apabila menikah dengan dihadiri oleh seorang wali yang bukan saudara dari kedua mempelai, bagaimana hukumnya? Sah atau tidak?

Terima kasih, wassalamu ‘alaikum

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dalam akad nikah memang harus ada beberapaunsur utama yang menjadi rukun dan harus dipenuhi. Dan tanpa keberadaan unsur-unsur itu, maka akad nikah itu menjadi tidak sah.

Yang harus ada saat akad nikah itu adalah suami, wali, ijab qabul dan dua orang saksi laki-laki.

Khusus untuk wali, yang punya hak preogratif adalah ayah kandung pengantin wanita. Posisinya adalah wali mujbir. Sebagai wali mujbir, seorang ayah kandung berhak menikahkan anak gadisnya bahkan tanpa seizinnya. Boleh dibilang semua tergantung si ayah.

Dalam prakteknya, seorang ayah kandung berhak untuk menguasakan hak perwaliannya kepada seseorang yang memang memenuhi syarat sebagai wali. Tidak harus famili atau keluarga. Syarat-syarat itu adalah:

1. Beragama Islam

Apabila orang diserahkan amanat untuk menggantikan diri ayah menjadi wali ternyata bukan beragama Islam, maka akad nikah itu tidak sah.

2. Laki-laki

Hanya laki-laki saja yang boleh dijadikan wakil dari seorang ayah kandung untuk menjadi wali pengganti dalam sebuah akad nikah. Waanita dan bencong tidak boleh dijadikan wali.

3. Baligh

Seandainya orang yang ditunjuk sebagai pengganti atau wakil ayah sebagai wali masih belum baligh, maka akad nikah pun tidak sah. Harus mereka yag sudah baligh.

4. Berakal Sehat

Atausering juga disebut dengan istilah ‘aqil. Jadi kalau kebetulan yang jadi wali pengganti punya penyakit ayan dan kumat saat akad nikah, tentu jadi tidak sah.

5. Merdeka

Syarat ini dituliskan oleh para ulama di masa lalu pada saat masih ada sistem perbudakan. Mereka tidak bisa terima kalau seorang wali ternyata berstatus budak. Karena budak tidak punya kemerdekaan diri sendiri. Dirinya diatur di bawah hegemoni tuannya.

6. Al-‘Adalah

Meski terjemahan bakunya adalah adil, tapi maknanya bukan bersikap adil sebagaimana seorang hakim. Sebab wali itu bukan hakim. Sifat al-‘adalah dilawankan dengan sifat fasik. Jadi terjemahan bebasnya adalah: tidak fasik.

Itulah syarat seorang wali sekaligus juga syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang diberi mandat dari ayah kandung untuk menggantikan dirinya menjadi wali yang melakukan ijab.

Maka ayah kandung yang sudah menyerahkan mandat itu memang tidak lagi diharuskan hadir dalam akad nikah. Yang harus hadir hanyalah orang yang memenuhi syarat di atas dan yang terpenting adalah bahwa orang itu telah mendapat mandat resmi untuk menjadi bertindak sebagai wali.

Tanpa mandat dari orang tua kandung, maka dia tidak berhak untuk menjadi wali. Jadi kuncinya adalah penunjukkan, mandat atau serah terima wewenang dari ayah kandung.

Ayah Kandung Sudah Wafat

Dalam kasus ayah kandung sudah wafat, maka yang berhak menjadi wali secara berturut-turut adalah orang-orang berikut ini, selama mereka punya syarat-syarat di atas:

  • Ayahnya ayah (kakek), dan bukanayahnya ibu
  • Saudara laki-laki, baik posisinya saudara laki-laki seayah dan seibu atau pun hanya seayah saja sementara ibunya berbeda. Tapi kalau saudara laki-laki seibu saja sementara ayahnya berbeda, tidak bisa dijadikan wali.
  • Anak laki-laki dari saudara laki-laki (no. 2)
  • Saudara laki-laki ayah (paman), dan bukan saudara laki-laki ibu.
  • Anak laki-laki dari paman yang disebut di atas. dan bukaanak laki-laki bibi (saudara perempuan ayah)

Posisi ini sudah ditertibkan berdasarkan ashabah dalam ilmu waris, jadi tidak boleh saling mendahului. Harus tertib urutannya.

Semua Wali Sudah Wafat

Dalam kasus tertentu, ternyata dimungkinkan adanya wanita yang sudah tidak ada wali lagi dari keluarganya. Misalnya seorang gadis sebatang kara, tidak punya ayah kandung, kakek, saudara laki-laki atau anak laki-lakinya, paman dan anak laki-laki paman.

Maka dalam kasus seperti ini, pemerintah yang sah adalah wali bagi dirinya. Dalam hal ini presiden RI. Bila dia berhalangan, maka dia boleh mewakilkan kepada bawahannya sampai level KUA.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc