Khotib Kematian

Tidak seperti biasanya, kali ini saya shalat jumat di masjid dekat rumah. Maklum kampus lagi libur.Saya pun berangkat ke masjid kurang lebih satu jam sebelum waktu adzan. Sesampainya di mesjid ternyata masjid masih lengang, hanya ada beberapa orang saja yang mengisi shaf-shaf. Saya pun langsung shalat tahiyatul masjid. Selesai shalat, sambil menunggu khotib jumat naik mimbar, saya manfaatkan dengan membaca Al-Quran.

Tapi sayangnya setelah membaca beberapa lembar tiba-tiba kantuk menyerang, saya berusaha melawannya, karena sebentar lagi khotib naik mimbar. Tapi apa daya, memang kantuknya sangat dahsyat sehingga membuat saya sedikit terlelap, merem melek melawan kantuk. Bahkan ketika khotib memulai khutbahnyapun, kondisi saya masih seperti itu.

Entah syaithan apa yang telah membuat saya mengantuk, padahal ketika sebelum shalat jumat, badan terasa begitu fit, segar dan bugar. Akhirnya apa yang di bicarakan khotib pun seperti suara orang mengigau, karena memang ketika itu saya dalam kondisi setengah sadar. Sampai ketika khotib menceritakan kisah atau lebih tepatnya dialog antara seorang ulama salaf dan seorang pemuda, barulah saya melek. Memang kalau khutbah dibumbui dengan cerita atau dialog, terasa fresh dan tidak bikin mengantuk.

Khotib menceritakan dialog antara seorang ulama dengan seorang pemuda. Ulama tersebut ditanya oleh pemuda itu: "Siapakah yang terdekat dengan saya? apakah ibu saya? atau bapak saya? atau saudara saya?" Saya berpikir ketika itu: "Pasti jawabannya, ibu adalah orang terdekat." Tapi ternyata apa jawaban ulama tersebut? Dia menjawab: "Yang terdekat dengan kamu adalah maut /kematian. " Saya pun tercengang, kok bisa begitu? Khotib menjelaskan ibu memang memiliki kedekatan dengan kita, begitu juga dengan bapak dan saudara, tapi mereka tidak selalu dekat dan terus mengiringi kita. Berbeda dengan kematian, ia selalu mengiringi dan mengikuti kita kapan saja dan dimana saja.

Subhanallah, perkataannya menyentuhku, seolah-olah itu teguran dari Allah kepadaku melalui lisannya. Tiba-tiba aku ingat dosa-dosaku, aduhai bagaimana seandainya Allah tiba-tiba mencabut nyawaku sedangkan aku banyak berbuat dosa seperti sekarang ini? Bagaimana kalau maut menjemputku sedangkan aku belum mempunyai bekal amal yang cukup untuk menghadapi kehidupan setelah ini?

Kemudian khotib itu berkata lagi: "Ketika maut menjemput dan mengantarkan kita ke kubur, maka dimana jabatan kita selama ini di dunia? Dimana kekayaan yang selama ini kita kumpulkan? Mana ketampanan dan kecantikan yang selama ini kita bangga-banggakan? Yang ada ketika kita di kubur hanyalah tanah yang menumpuk kita, kafan yang membungkus kita, kegelapan dan rayap yang menggerogoti tulang dan daging kita! "

Subhanallah, perkataannya sekali lagi menyentuhku bahkan menohok hatiku, Allah benar -benar menegurku melalui lisannya. Aduhai, apa yang mau aku banggakan sehingga aku meremehkan saudara-saudaraku seiman? Apakah aku memiliki kedudukan yang tinggi bak raja? Apakah aku memiliki kekayaan seperti Nabi Sulaiman? Ataukah aku memiliki wajah tampan seperti Nabi Yusuf? Tentu jawabannya tidak. Lantas untuk apa berbangga-bangga dengan sesuatu yang fana, sedangkan semuanya itu tak bisa menolong seorangpun dari siksaan kubur dan di akhirat nanti?

Kemudian khotib menerangkan betapa lemah dan tidak berdayanya manusia dalam menghadapi kematian. Beliau menyebutkan beberapa contoh:
Adakah yang bisa mencegah tsunami tatkala menerjang Aceh?
Apa yang bisa orang-orang lakukan tatkala air bah Situ Gintung meluluhlantakan satu desa?
Dan bagaimana mereka menghadapi gempa bumi ketika menerpa yogyakarta?

Sekali lagi ucapannya terasa begitu menyentuh, apakah manusia memiliki kemampuan untuk menolak maut tatkala menjemputnya tiba-tiba? Apakah manusia bisa melawan takdir Allah dengan segala kekuatan yang ia miliki? Tentu tidak, manusia sangat lemah dan fakir di hadapan Sang Penguasa alam! Kalau begitu, mengapa kita menyandarkan keberhasilan dan keberuntungan kepada diri kita semata ? Mengapa kita merasa tidak membutuhkan pertolongan-Nya? Bukankah di sana ada Dzat yang di tangan-Nyalah suka dan duka, kesengsaraan dan kebahagiaan?

Ya Allah, aku bersyukur kepada-Mu karena telah menegurku melalui lisan hamba-Mu….
Ya Allah, aku hamba-Mu yang berlumuran dosa, maka ampunilah aku…
Ya Allah, jadikanlah aku hamba-Mu yang selalu bersyukur atas nikmat-Mu dan selalu bertaubat atas kedurhakaanku kepada-Mu…
Amin ya Rabbal’alamin

Jakarta, 2 Juli 2010
[email protected]