Buruh Asal Nepal Itu …

Gedung tempat kami tinggal tergolong baru. Berlantai lima. Masih tampak cukup bagus. Meski bukan Barak Obama yang tinggal, tapi cocok jika namanya Nobel Residence. Belum juga 3 tahun umurnya. Di Doha, tinggal di gedung semacam ini, tidak semua orang mampu membayar biaya sewanya. Mahal sekali buat ukuran Indonesia. Per bulannnya, bisa mencapai tidak kurang dari 20 juta. Di Jakarta, jumlah yang sama, kita bisa tinggal di rumah mewah. Tapi lain Jakarta, lain pula Qatar. Di dalamnya, tentu orang-orang yang penghasilannya cukup mapan. Semua penghuninya punya mobil. Setidaknya itu yang saya tahu. Dan yang kedua, mereka pasti menduduki posisi yang tidak sembarangan di tempat kerja. Jika tidak, jangan harap mampu menyewa apartemen seperti itu.

Di depan gedung kami, justru berbanding terbalik. Jangankan gedungnya punya nama. Nomer saja juga tidak terpampang. Apalagi yang bermobil. Kalaupun ada mobil di parkir di depannya, paling-paling juga pembeli di toko grocery sebelah, yang kesulitan mencari tempat parkier. Atau paling banter bis bercat kuning yang setiap pagi-pagi sekali menjemput pegawai perusahaan, juga pada petang harinya. Saya tidak tahu berapa penghuninya, yang pasti puluhan yang berdesakan.

Setiap pagi pagi sekali, sekitar jam 5, saya biasanya melihat segerombolan orang pada duduk-duduk di emperan gedung bercat putih yang sudah usang itu. Ada yang merokok, ada pula yang sambil menyantap makanan, sarapan pagi. Beberapa orang juga tidak jarang menguap, tanda masih ngantuk. Banyak juga yang berjalan, ngobrol, sambil mengenakan baju seragam kerja. Pertanda bahwa mereka besar kemungkinan tidak memiliki waktu untuk mandi. Saya yakin, bahwa jumlah kamar mandinya amat terbatas, sehingga mereka tidak sempat mendapatkan giliran. Kalaupun dapat nantinya, mereka sangat kuatir ketinggalan bis yang umumnya tidak kenal maaf atas keterlambatan para pekerja ini.

Orang-orang yang tinggal di depan gedung kami, dan banyak lagi di sekitar area di mana kami tinggal, adalah pekerja kecil, alias buruh di Qatar, sebuah negara Islam yang tergolong kaya. Tidak saya lihat mereka yang berasal dari Indonesia. Rata-rata, sepengetahuan saya, mereka berasal dari Nepal, India, Banglades dan atau Srilanka.

Dari penampilannya, orang dapat dengan gampang sekali menebak taraf sosial-ekonomi mereka. Mulai dari wajah, cara bicara, sikap dan tingkah laku, hingga cara berpakaian. Orang-orang kebanyakan ini berangkat kerja pagi-pagi sekali, ketika para eksekutif masih tertidur lelap. Mereka adalah pekerja kasar. Pekerjaan mereka tidak lain kecuali disuruh. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk ‘berinisiatif’ dalam bekerja. Paling banter, jika diijinkan, di dalam sebuah bangunan,hanya sebatas membetulkan kayu yang roboh, atau mengambil paku yang tergeletak keluar dari tempat yang semestinya. Mereka tidak berani bicara di perusahaannya. Mereka tetap diam ketika gajinya terlambat. Ketika tidak diijinkan untuk makan siang lebih awal, atau ketika badan terasa tidak nyaman pun, harus berulang kali meminta ijin kepada supervisornya.

Berat sekali sepertinya pekerjaan orang-orang kecil yang setiap pagi hari berbaris di depan mata kepala saya ini. Meski demikian, Allah memang Maha Adil. sesekali saya melihat mereka begitu nikmat dalam tidur lelapnya dalam perjalanan menuju tempat kerja mereka yang menurut saya rata-rata adalah pekerja bangunan. Sementara para eksekutif yang kaya raya sulit sekali bisa tidur di rumah mewah di atas kasur yang mahal sekali pun.

*****
Adalah Shafiq (Baca: Syafiq). Orang asal Nepal ini secara fisik kelihatan seperti orang Banglades. Orang Nepal umumnya berkulit agak kekuningan. Sementara Banglades coklat tua. Dugaan saya salah, ketika saya tanya: “Are you from Bangladesh?” Dia jawab: “No! I am Nepali.” Dia satu di antara para pekerja yang tinggal di depan gedung kami. Setiap hari saya amati Shafiq selalu rajin ke masjid, terutama saat Maghrib dan Isya.

Postur tubuhnya pendek, kecil, berat badannya tidak lebih dari 55 kg menurut saya. Ketika saya tanya lagi apa profesinya, dia bilang ‘miscellaneous’. Sembarangan alias campuran. Jika bosnya butuh dia untuk kepentingan pekerjaan yang ada hubungannya dengan maintenance, dia akan garap. Demikian pula dengan perkayuan, pipa, listrik, dan lain-lain. Padahal, orang-orang yang tinggal di gedung kami, pasti mengaku orang-orang spesialis. Tidak mau disuruh jika bukan pekerjaannya. Tapi soal penghasilan, Shafiq ini minim sekali untuk ukuran orang-orang Qatar. Perkiraan saya sekitar 10% dari biaya sewa apartemen kami. Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin orang semacam Shafiq bisa tinggal di tempat layak di negara semacam Qatar ini.

Bila malam Jumat tiba, ba’da maghrib, dia selalu jalan lurus dari masjid, bukannya belok ke gedung di mana dia tinggal. Saat saya tanya pergi ke mana, dia bilang menelepon keluarganya di Nepal, lewat komputer yang katanya jauh lebih murah disbanding lewat Telkom (QTel). Maklum, orang seperti Shafiq pasti tidak memiliki komputer. Jangankan punya komputer, koneksi listrik untuk nge-charge HP nya saja harus gantian antri dengan kawan-kawannya yang jumlahnya puluhan di gedung tersebut. Jadi bagaimana mungkin dia bisa punya akses internet? Shafiq tidak pernah mimpi untuk memilikinya.

Bapak lima orang anak ini suatu ketika raut mukanya menyembunyikan kesedihan. Ketika saya dekati dia katakan akan menelepon keluarganya. Siang hari ketika sedang kerja, dia mendapatkan berita duka dari seorang kerabatnya, bahwa Ibundanya telah berpulang ke rahmatullah. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Ditengah kesediahnnya, tersirat keteguhan jiwa seorang bapak yang sedang berjuang demi keluarganya di negeri orang.

Shafiq ternyata bukan seperti orang yang saya duga. Saya jadi merasa bersalah. Di bulan Ramadan, di masjid di mana kami biasa Salat berjamaah, pada waktu berbuka, selalu ramai makanan. Saya juga melihat begitu banyaknya makanan yang tersaji saat berbuka ini, sehingga banyak pula yang mubazir, terbuang. Padahal, makanan ini terlihat lezat sekali. Daging kambing, sapi dan ayam selalu menyertai, di samping buah-buahan, sayuran dan aneka menu berbuka puasa lainnya.

Dalam perjalanan dari masjid usai Salat Asar, saya bertanya kepada Shafiq, mengapa dia harus repot-repot dia belanja dan masak makanan di rumah, sementara begitu banyak makanan yang tersaji di masjid. Dalam pikiran saya, kan dia bersama rekan-rekannya bisa saja gabung duduk bersama pada saat berbuka puasa.

Tapi apa jawabannya: “Makanan itu untuk orang-orang yang tidak mampu. Bukan seperti kita, saya atau anda!” katanya. Subhanallah! Padahal, saya tahu persis, berapa jumlah penghasilan orang-orang seperti Shafiq. Jangankan untuk menyewa rumah sendiri, untuk sharing satu kamar yang berisi 4 tempat tidur saja di Doha, bisa jadi dia tidak mampu. Meski demikian, dia merasa tidak patut dikasihani dengan makanan gratis di masjid.

Sementara orang-orang eksekutif di negeri ini, banyak yang memiliki mentalitas yang rendah. Sudah mendapatkan penghasilan besar, masih juga ingin mendapatkan tambahan lagi yang lebih banyak. Jikalaupun makanan akan bisa diperoleh dengan gratis, seperti yang ada di masjid di atas, jangan-jangan yang memenuhi bukan para buruh sekelas Shafiq. Malahan penuh dengan para eksekufi kita. Astaghfirullah!

*****
Di lain kesempatan…….dalam perjalanan ke masjid menjelang Maghrib tadi, di depan saya, tiga orang asal Nepal, bersarung dan mengenakan peci putih, keluar dari gedung di mana Shafiq tinggal. Tiga orang ini selalu saya lihat bareng ketika berangkat dan pulang dari masjid. Usia mereka sebaya, sekitar 40 tahunan. Ketiga-tiganya juga buruh kasar. Pakaiannya tampak sudah tua termakan usia. Warnanya juga tidak lagi bisa dikenali aslinya. Sesekali saya melihat mereka membetulkan ikatan sarungnya yang melorot. Orang Islam Nepal ternyata juga gemar mengenakan sarung kita, Indonesia.

Dengan santainya, mereka berjalan bersama, seolah-olah jalan yang mereka lewati adalah milik mereka bertiga. Saya tahu mereka pasti tahu dan kenal Shafiq. Bedanya, Shafiq bukan kelompoknya. Sama seperti di negeri kita saja, yang kenal pun bukan berarti satu kelompok.

Orang-orang seperti para buruh asal Nepal ini kelihatan begitu bersahaja. Kelihatan sekali dari pancaran wajah mereka, bukan seperti orang-orang yang banyak bicara dan suka menuntut. Apakah karena itu membuat banyak buruh-buruh di Qatar didominasi oleh orang-orang Nepal? Wallahu a’lam. Saya lihat di banyak sektor, orang-orang Nepal ini ‘bertaburan’ di mana-mana, tidak terkeluali di tempat saya bekerja. Rendah diri, sederhana dan baik hati.

Tapi jangan dikira dibalik penampilan fisik yang kecil ini mereka lemah. Karena kita tahu, pasukan Gorka yang terkenal adalah dari Nepal yang bekas jajahan dan binaan Inggris. Hingga saat ini, Security Group yang terkenal di Timur Tengah direkrut dari Nepal.

Tiga orang yang saya amati di depan saya ini saat di masjid ternyata tidak memilih di sembarang barisan atau tempat. Mereka pilih di depan atau paling tidak baris kedua. Subhanallah! Dalam soal dunia, barangkali mereka tidak punya pilihan lain kecuali sebagai buruh karena keterbatasan kualifikasi mereka. Namun dalam soal ibadah, mereka tidak mau ketinggalan. Mereka ingin di barisan depan. Buruh-buruh ini ingin dan berani ‘bersaing’ dengan bersegera menjawab azdan serta salat di garda terdepan!

*****
Buruh. Di manapun berada, biasanya selalu dipandang dengan sebelah mata. Kelebihannya tidak pernah dicatat. Kesalahannya senantiasa dicari. Kebenarannya dianggap biasa, kekhilafannya dilipat-gandakan. Mereka bukan hanya tidak punya dalam arti materi, tetapi juga acapkali diinjak-injak martabat dan harga dirinya. Tidak jarang mereka serba salah dalam banyak hal.

Di negeri seberang, buruh-buruh kita, tidak sedikit yang mendapatkan perlakukan sewena-wena dari boss dan atau majikan mereka. Layaknya mereka tidak pernah memberikan kontribusi positif sama sekali bagi perusahaan mereka.

Buruh-buruh asal Nepal di sekitar gedung kami ini sepertinya bukan manusia-manusia istimewa di dunia modern yang sudah diwarnai dengan berbagai polusi ambisi dan reputasi, sebagaimana yang banyak terjadi di sekitar kita. Mereka membikin saya terpukau!

Mereka memang tidak memimpikan punya mobil pribadi dan memiliki tempat parkir sendiri seperti di Nobel Residence. Tapi mereka adalah sosok manusia yang berlomba-lomba menuju kebaikan guna mendapatkan ridha Allah Ta’ala.

Barangkali, demikian pikir saya, sekalipun tidak mendapatkannya di dunia ini, siapa tahu dengan seijin Allah SWT, dengan untaian kebajikan meski hanya berpredikat buruh, kelak bakal di dapatkannya ‘Nobel Residence’ yang keindahannya melebihi Puncak Himalaya di Surga kelak. Wallahu a’lam!

October 20, 2009

[email protected]