Dasyatnya Peran Komunikasi

Agung namanya, salah seorang peserta pelatihan yang saya adakan di tempat kediaman saya, bercerita dua hari lalu tentang sikap dan perangai manajer tempat perusahaan dia bekerja. Dikatakannya, bahwa pimpinan perusahaan konstruksi bangunan yang asal Irak namun berkebangsaan Amerika itu sungguh sangat tidak bijaksana.

Salah seorang rekan kerjanya, terlambat dua jam kerja, lantaran mengantarkan istrinya yang mengalami gangguan kesehatan, ternyata tidak membuatnya simpati. Dia potong gajinya lima hari. Sumpah serapah dia lontarkan mengha dapi sikap seorang pimpinan seperti ini. Bahkan, salat di masjid pun , konon , ‘dilarang’. Sebaliknya, dianjurkan di gedung tempat mereka bekerja saja. Saya turut sedih mendengar penuturan Agung tentang peristiwa ini.

Ada banyak yang perlu dipelajari dan dikaji di balik semua ini. Mengerti dan turut sedih saja tidak cukup. Apalagi langsung menyalahkan. Sepertinya kesannya terlalu keburu. Kita yang berada di luar ‘pagar’, bisa saja memiliki beragam komentar. Namun yang berada langsung di bawah ‘kendali’ sosok Irak-Amerika ini tetaplah sebagai pihak yang paling merasakan. Betapa tidak nyamannya bekerja dengan seorang manajer model ini.

Terlepas dari semua ini, kita setuju, bahwa komunikasi, di manapun, pegang peran penting dalam kehidupan ini. Di perusahaan macam apapun kita bekerja. Komunikasi begitu penting kedudukannya. Keberhasilan ataupun kegagalan perusahaan atau kita sebagai karyawan, teraih lantaran komunikasi ini.

Yang saya ingin kemukakan di sini adalah, pengalaman saya siang tadi, sesudah salat Dzuhur, dengan pimpinan perusahaan di tempat saya bekerja. Orang Arab, Qatar tepatnya. Orang asli sana tentunya.

******
Seperti biasa yang saya ketahui, bos kami ini, sejauh pengetahuan saya, sangat senang humor. Rasanya terlalu berlebihan kalau bilang bahwa saya adalah salah satu orang terdekat dengannya, yang acapkali diajak humor oleh beliau. Meski suka humor, bukan berarti beliau mengobral humor dengan siapa saja. Maklum, yang namanya juga manajer, kelasnya beda, harga diri juga beda. Tapi tidak saya sangkal, beliau pernah berkata kepada saya bahwa obrolan ‘bebas’ di kantor, beliau mengaku, hanya dengan saya. Bikin saya GR, sebagai bawahan.

Setiap kali kami bertemu, ada saja yang jadi bahan lelucon. Anehnya, selalu saya yang menjadi obyek pembicaraan di antara rekan-rekan, bilamana di tengah-tengah staf yang berasal dari Oman, Jordan, Pakistan, India dan Sudan serta, tentu saja jika si bos ada di sana. Saya juga tidak mengerti, kok saya terus….? Saya pun nggak tersinggung meski dibuat seperti bola. Dilempar ke sana ke mari. Dasarnya saya juga senang humor di tengah keseriusan kerja. Apa salahnya? Begitu pikir saya.

Beberapa hari terakhir ini bos sering rapat di luar, sehingga kami jarang ketemu. Terkadang ada rasa kangen ngobrol dengan beliau. Saya akui, sepanjang perjalanan pengalaman kerja, saya tidak pernah menemui seorang manajer seperti orang Qatar yang satu ini. Meski kaya, tapi sederhana sekali gaya hidupnya. Baju yang beliau pakai, misalnya, kayaknya gitu-gitu aja. Orangnya tidak gampang diajak membicarakan kejelekan orang lain. Suka puasa sunah. Dan tentu saja rajin ke masjid. Pokoknya, untuk manajer jenis ini, kayaknya sulit dicari di negeri ini. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan beliau sebagai manusia, saya menyukai sebagai seorang pimpinan saya. Itulah yang menyebabkan saya betah kerja di sana.

 Nah, siang itu, beliau baru saja datang dari meeting. Saya menemui beliau di kantor. Sekretarisnya seorang ibu asal Malaysia. Saya tanya kepada si sekretaris apakah ada tamu di dalam. Dijawabnya ‘tidak’. Saya ketuk pintu. Tanpa menunggu jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ biasanya saya langsung masuk. Karena, kalau saya bertanya dulu, misalnya: ”May I come in Sir?” beliau pernah jawab: “No!” makanya, saya nylonong aja . Yang penting sudah ngetuk pintu dan mengucap salam.

 “Yesss!!!” katanya mantap. Saya pun membuka pembicaraan dengan, seperti kebiasaan orang Arab, menanyakan kabar berkali-kali. Saya merasa tidak lepas dari tradisi yang satu ini. Nggak ada jeleknya, kecuali dalam Bahasa Indonesia, akan terkesan membosankan kalau kita hanya menggunakan kata yang sama sampai tiga kali ‘Apa Kabar?’. Lagian, nggak umum kedengaran di telinga kita ekspresi seperti ini.

 Di tengah-tengah pembicaraan kami, saya mengatakan bahwa pekerjaan yang dilimpahkan kepada saya itu adalah tepat. Saya bilang: “Otherwise who else who will do it ?” sebuah pernyataan yang memang kedengaran kurang bagus dan terkesan ‘sombong’. Seolah-olah tidak ada orang lain yang mampu melakukan pekerjaan itu. Beliau timpali dengan pertanyaan: “Who are you so powerful?” lanjutnya, “They can work without you!” lanjutnya lagi, menekankan. Kali ini dengan ekspresi yang agak berbeda. Tidak seperti biasanya.

 ‘Deg!’ begitu batin saya. Detik itu juga saya merasa sangat bersalah sekali. Detik itu dan selanjutnya, hati merasa tidak tenteram. Hingga dua-tiga rekan kerja saya mengatakan: “You look tired today!” saya mengiyakan. Memang, saya merasa terganggu sekali dengan kejadian tadi. Padahal maksud saya tidak sungguh-sungguh.

Selama di perjalanan pulang, masih pula dihantui perasaan bersalah. Sungguh, saya tidak pernah merasakan seperti ini . Terganggu sekali. Barangkali karena si bos yang ngomong. Makanya berpengaruh besar . “Gimana cara memecahkan masalah ini ya?” saya mencoba bertanya kepada diri sendiri di perjalanan. Saya putuskan untuk menelepon bos saja, minta maaf. Begitu pertimbangan terakhir yang saya ambil. Insyaallah beres! Saya mencoba yakinkan diri sendiri.

Jam menunjukan pukul 3 sore. Saya coba telepon. Hingga dering yang ke lima, HP nya tidak juga terangkat. Saya ke dapur, mengambil makanan yang saya hangatkan di microwave. Sepuluh menit sudah berlalu. Saya telepon lagi. Sambil berseliweran di ruang tamu, sangat kentara seperti orang ‘bingung’ . Cemas, menunggu tuts-tuts HP nya tersentuh. Kali kedua ini tidak juga. Ah! Apa masih di masjid solat Asar ya? Bis a jadi!

Saya putuskan meneruskan makanan yang ada di meja computer. Biasa, pulang dinas sambil buka dan ngecek email, atau membaca beberapa website berita kesukaan saya. Tapi, sekali lagi, sungguh, makan rasanya nggak enak. Pikiran lagi terganggu. Belum juga mengunyah lima menit, HP yang tergeletak tidak lebih dari setengah meter di samping saya , tiba-tiba berdering. Wow…bos nelepon balik! Batin saya berteriak : Yesss!!!!

“Assalamu’alaikum….!!!!” Saya bersemangat sekali. Beliaupun menjawab dengan kalimat yang sama. Tidak apa! Lagian saya bukan ahlinya ngurus benar tidaknya urusan salam ini. Tanpa ba-bib-bu lagi, saya langsung menyampaikan kata ‘Sorry’ atas kejadian siang tadi. Namun, bukannya, kata ‘ya’ yang saya dapatkan, tapi malah beliau tanya balik: “What sorry?” seolah-olah lupa sama sekali dengan persoalan serius yang saya hadapi. Lebih aneh lagi, ternyata beliau juga meminta maaf, karena jawaban yang di lontarkan tadi katanya: “Just joking!”

Mendengar penjelasan dari seberang sana, rasanya saya mau melompat saja kegirangan kayak anak kecil. Tapi nggak pantes lah, meski nggak ada yang melihat. Begitu lega! Ah! Ternyata orangnya juga gurau. Empat jam lebih awak ini stress banget gara-gara bos, ternyata yang di sana nggak mikirin.

******
Pelajaran yang saya dapat dari pengalaman ini adalah, hati-hati jika mengajak gurau. Pertimbangkan beberapa segi yang berpengaruh, terutama obyek pembicaraan, situasi serta kondisi lawan bicara. Dan yang paling penting, komunikasikan agar tidak terjadi salah persepsi yang bisa jadi akan berakhir sangat merugikan beberapa pihak, termasuk diri kita sendiri.

Tanpa bermaksusd membela orang Irak-Amerika, bos nya Agung di atas, saya yakin, beliau pasti menyembunyikan secercah kebaikan yang merupakan potensi jika dikomunikasikan. Saya juga yakin bahwa dia pula memiliki kebaikan yang dia selalu berikan kepada orang lain, minimal bagi keluarga dan teman-teman dia sendiri. Semuanya, bergantung kepada bagaimana kita mengkomunikasikannya.

Satu lagi yang perlu kita tahu, orang Arab pun, kalau sudah senang jokes, bisa mengalahkan lawakan Betawi negeri ini. Wallahu a’lam!

Doha, 24 January 2010

[email protected]