Ibu dan Kaumnya Ibu Kita

Sebuah mitos superioritas gender yang menjustifikasi seseorang untuk menasihati bocak laki-laki yang menangis karena terjatuh dengan ucapan,”Eh, jangan nangis. Kamu kan laki-laki!” Lebih jauh, bahkan Sigmund Freud, dalam kerangka teori psiko-analisanya membedakan lelaki dan perempuan hanya pada satu hal, ada tidaknya phallus (lingga, penis) sebagai lambing kemaluan laki-laki.

Definisi lelaki adalah makhluk yang memiliki phallus, sementara perempuan adalah makhluk yang “tidak punya apa-apa”. Jadi, menurutnya, kerap terjadi persaingan dan kecemburuan perempuan terhadap laki-laki atas “apa yang tidak dipunyainya” itu. Kelak, muncul derivat teori Freud tersebut dalam seksologi untuk menjustifikasi kecenderungan perempuan dan laki-laki terhadap fellatio dan cunnilingus.

Namun kegelapan tak abadi. Selalu ada pagi ketika malam kian gelap. Ketika gerakan Women’s Lib mengusung emansipasi perempuan pada awal 60-an, dengan puncaknya pada 1978, perempuan bergerak menuntut hak-hak kebebasan di segala bidang. Akan tetapi jika air bah terlalu lama dibendung maka bendungan akan jebol juga. Dari ekstrem ditindas pun pendulum perubahan meluncur menuju ekstremitas yang lain. Wacana pro-choice (pro-aborsi) dan sederet anomali yang menentang hukum besi alam dan fitrah Tuhan meruyak merujuk pada prinsip Women’s Lib bahwa “perempuan berhak sepenuhnya atas tubuhnya dalam melakukan aborsi, hubungan seks dan menampilkan keindahan tubuhnya di depan khalayak”.

Atas dasar itu video-video mesum beredar, atas dasar itu banyak rumah tangga karam karena perselingkuhan, dan atas dasar itu pula ribuan bocah perempuan ternistakan sebelum mekar karena kawan-kawan pria mereka tak kuat menahan syahwat dengan VCD porno dan majalah syur. Sementara regulasi pemerintah tentang pornografi dan pornoaksi rebah babak-belur dihajar cukong-cukong media yang bersikukuh menampilkan keindahan perempuan sebagai bumbu utama. Mumpung sebagian aktivis perempuan menganggapnya bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal HAM yang sejatinya diakui pada 10 Desember 1948 di San Francisco adalah “the rights of all human being to fair treatment and justice and to all basic needs such as food, shelter and education.” (World Book Dictionary).

Mumpung presiden dan petinggi negara lebih sibuk mengurusi poligami (lebih tepatnya polygyny) yang sebenarnya sejarah awalnya sebagai katarsis pelacuran dan seks bebas yang notabene merupakan pelecehan terhadap perempuan. Perempuan, kaum yang mulia, semulia ibu yang telah melahirkan kita semua. Ada hukum besi pergaulan yang banyak dikutip para begawan motivasi mulai dari Napoleon Hill hingga Stephen Covey bahwa kita harus menghargai diri kita dahulu sebelum menghargai orang lain. Seberapa layak kita menghargai diri kita sendiri semelimpah itu pula orang akan menghargai kita. Demikianlah semestinya kita memposisikan perempuan dalam fitrah Tuhan.

Mulialah perempuan, muliakan ibu kita. Jika bunda masih di sisi, ambil tangannya dan ciumi mesra dengan janji takkan lagi kita menyakiti dia punya hati. Jika bunda telah tiada, panjatkan doa untuknya dan perpanjang silaturahmi dengan sahabat-sahabatnya.

Dedicated to all mothers in the world especially to my beloved mother in heaven…

[email protected] http://nursalam.multiply.com