Kampung yang Kusanjung

Oleh:  Hasan Bisri BFC

Lebaran sebentar lagi. Insya Allah, Sabtu pagi aku mudik dari Jakarta ke Pekalongan. Menuju sebuah kampung 7 km sebelum kota. Ah, ingat kampung, ingat peristiwa lebaran tahun lalu. Sebuah peristiwa yang mengkhawatirkan. Mengenaskan. Mencemaskan. Dan menusuk-nusuk hatiku yang paling dalam.

Berawal dari cerita Al, keponakanku yang merantau ke Bali. Kami bertemu pada hari lebaran ketiga.

“Sungguh aku tidak mengerti kenapa anak-anak muda itu tidak tahu malu,” cetus Al membuka pembicaraan. “Masak takbir keliling mulutnya bau alkohol,” sambungnya kemudian. Al bisa cerita karena dia berpapasan langsung dengan pemuda-pemuda yang melakukan takbir keliling itu. Bahkan sempat menegurnya. “Biasa kang, anak muda,” kilah mereka tak merasa berdosa, seperti yang dituturkan Al.

Lebih lanjut Al bercerita bahwa pemuda-pemuda di kampung kami sudah malas sekolah. Mereka lebih senang bekerja setelah lulus Sekolah Dasar atau Madrasah. Dengan bekerja mereka bisa memperoleh uang. Dengan uang, mereka bisa mencicil sepeda motor.

Dengan motor, pemuda-pemuda yang masih ABG itu bisa menggaet perempuan sedesanya ( atau tetangga desa ) untuk menjadi pacarnya. Tentu saja sangat memprihatinkan karena orangtua mereka masih bersemangat untuk menyekolahkan anak-anaknya.

Namun, pemuda-pemuda itu tidak membutuhkan ilmu ( sekolah ). Mereka lebih senang kongkow-kongkow di gardu permanen yang dibangun oleh salah satu partai. Di gardu itulah mereka bisa nonton tv dan minum-minuman keras.

Kampungku yang malang. Dulu, kampungku sangat kusanjung. Anak-anak berlomba-lomba sekolah di madrasah. Sorenya mengaji. Taklim semarak dan rutin. Para pemuda akan malu kalau rambutnya gondrong. Apalagi pakai anting-anting di telinganya. Kini bukan pemandangan asing lagi. Bahkan rambutnya dicat warna-warni.

Dulu pemudi-pemudinya malu memakai celana panjang. Rambut dipotong pendek. Dan merasa risih apabila bajunya ketat dan berlengan cekak. Kini, menjadi pemandangan yang jamak. Dan dandanan serta gayanya sudah mirip bintang-bintang sinetron. Dulu, sulit mencari kerumunan bapak-bapak yang sedang berjudi.

Mereka malu dan risi karena akan dicibir masyarakat. Kini, satu dasawarsa terakhir, sangat mudah mencari orang-orang yang berjudi kartu. Meski tidak mencolok mata tempatnya, tapi sangat gampang dicari. “Herannya, mereka selalu lolos dari grebegan polisi. Begitu juga para penjual minuman keras,” cerita adik Al yang memang tinggal di kampungku. “Bahkan, pelapor malah diinterogasi polisi karena dianggap menyampaikan laporan palsu.”

Tentu tidak benar kalau menyalahkan masyarakat saja, sementara diriku tidak berperan apa-apa. Apalagi  masyarakat menganggap diriku lebih berpendidikan. Sarjana. Mana kiprahnya untuk kemajuan kampung? Akankah membiarkan warga kampung merosot terus akhlaknya? Bukankah cita-citaku menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya?

Khoirunnaas anfa’uhum linnaas. Mengapa ungkapan ini hanya tinggal ungkapan dan tidak pernah aku praktekkan di kampungku? Hari-hari ini mestinya lebih gampang berbuat bagi kampungku. Bukankah Kepala Desanya lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Agama? Bukankah suami Bupati saat ini adalah adik kelasku di madrasah dulu? Dan, bukankah ia juga warga kampungku?

Ya Allah, jadikanlah diriku sebagai bagian yang akan membentuk kampungku menjadi baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur. Dan lebaran ini, mudahkanlah ya Allah untuk memulainya. Amien.

Jakarta, 27 Ramadhan 1430H