Niat Memberi Dibalas Kontan

Udara terasa sangat dingin ketika saya melangkahkan kaki ke luar rumah, menuju kampus di daerah Uji. Saat itu, Jepang memasuki akhir musim dingin dengan suhu mendekati nol derajat untuk wilayah Kyoto.

Baru beberapa langkah berjalan, saya melihat seorang bapak berdiri di depan vending machine dengan posisi kepala agak nunduk seperti sedang mencari sesuatu. Usianya diperkirakan lima puluh tahunan. Bajunya lusuh, rambut acak-acakan dan kondisinya yang dekil sepertinya dia seorang tunawisma.

Saya perhatikan bapak itu tidak memasukkan uang, dia hanya melihat-lihat tempat keluarnya botol minuman, mungkin mencari minuman yang ketinggalan. Setelah itu, dia berjalan lagi sampai ketemu vending machine yang kedua. Lalu dia melakukan hal yang serupa, yaitu mencari-cari minuman tanpa memasukan koin.

Kemudian dia jalan lagi, sampai akhirnya tiba di vending machine yang ketiga. Di tempat tersebut dia melakukan hal yang sama, melongok-longok tempat keluarnya botol minuman. Namun sayangnya, meski sudah tiga vending machine dia datangi, belum ada satu kaleng pun yang dia temukan. 

Saat itu saya berdiri dibelakang Bapak tadi. Saya berniat menolongnya dengan membelikan sebotol air minum, tapi tidak tahu bagaimana cara ngomongnya. Bahasa Jepang saya pas-pasan sekali. Karena khawatir terjadi salah pengertian, akhirnya dengan perasaan berat hati, saya pergi meninggalkan bapak tadi tanpa memberikan uang yang telah saya siapkan.

Keesokan harinya, ketika saya pulang dari kampus, saya mampir ke mall Itoyokado di Rokujizo. Sekilas mata saya melihat setumpuk tas yang sedang didiskon. Tergiur dengan potongan harga yang besar-besaran, saya menghampiri tumpukan tas tersebut. Harganya sangat murah, tas yang biasanya dijual sekitar 5000 yen, kini diobral jadi 1000 yen.

Sempat lihat-lihat, tapi akhirnya saya tinggal pergi. Namun baru saja beberapa langkah, saya balik lagi sambil mikir, "diskon seperti ini sayang sekali untuk dilewatkan". Setelah pilih-pilih, akhirnya dapat juga satu tas yang saya sukai. Tapi kemudian saya ingat, kalau di rumah masih punya tas cadangan yang jarang dipakai. Dalam hati saya "sayang juga beli tas lagi kalau hanya disimpan di lemari".

Ketika sedang bingung antara membeli atau tidak, seorang nenek tiba-tiba menghampiri saya, dengan sebuah tas yang telah dibungkus plastik di tangannya. Nenek tersebut memberikan tas tersebut pada saya sambil berucap "purezento!" yang artinya hadiah (present).

Kaget juga dikasih tas sama orang tak dikenal. Sempat ragu untuk menerimanya, namun nenek itu memaksa saya untuk mengambilnya. Setelah mengucapkan terimakasih akhirnya saya terima tas tersebut, lalu saya bawa pulang.

Sesampainya di rumah saya buka tas pemberian si nenek tadi. Betapa senangnya saya mendapatkan tas tersebut, karena tas itu sesuai dengan selera saya. Lalu saya sampaikan kejadian ini pada suami. Dia hanya tersenyum sambil berkata "nenek itu diutus oleh Allah untuk ngajari kita agar tidak ragu dalam memberi".

Saya bahagia mendapatkan sebuah tas yang saya inginkan. Meski saya mampu membeli tas tersebut, namun tetap saja merasa senang kalau ada yang memberi. Saya juga yakin kalau si nenek tadi bergembira melihat pemberiannya saya terima.

Tiba-tiba saya teringat dengan si bapak yang kemarin sedang mencari air minum. Saya membayangkan bagaimana perasaan dia, bila saya jadi membelikannya air minum. Mungkin dia akan senang seperti saya saat ini, bahkan boleh jadi dia akan lebih bahagia, karena kondisi dia benar-benar membutuhkan pertolongan.

Ada perasaan sesal di hati, kenapa tidak jadi membelikan dia air minum. Saya sadar bahwa memberi akan mendatangkan kebahagiaan bagi si pemberi dan si penerima. Selebihnya, ternyata hanya dengan niat ingin memberi saja, Allah berkuasa untuk membayar kontan dengan balasan (nilai) yang jauh lebih besar.

***** Semoga bisa menjadi renungan *****

yeni_ys(at)yahoo.com