Rangking, Perlukah Dielu-Elukan?

Terharu anak sulung saya mendapat ranking delapan dari seluruh siswa kelas satu. Seluruhnya berjumlah 95 siswa di Sekolah Menengah Pertama Negri Yukuhashi, Jepang. Memang sedikit jumlah siswa di desa ini. Ia tidak mendapat rangking satu. Tapi saya girang nih, karena anak-anak pernah meninggalkan Jepang hampir dua tahun lamanya.

Walau sebenarnya di keluarga kami, terutama suami tidak suka melihat prestasi belajar anak lewat rangking. “Ih, saya bingung mulanya..lewat apa dong?” Saya sih tetap berfikir namanya saja di sekolah, belajar ya pasti ada hubungannya dengan rangking, kalau ingin mengukur kecakapan studinya.

Pernah ketika si sulung mendapat piagam dari propinsi Fukuoka untuk tulisan kanji terbaik. Kami diundang untuk hadir di hall pertemuan wilayah kota Yukuhashi. Suami hanya tersenyum, walaupun akhirnya ikut hadir, tapi enggak bawa kamera..! Kesal sekali saya saat itu “Duh, kenangan gak ada dong..” protes saya. Saya ingin mengirim photo sebagai bukti prestasi ke omanya di Bekasi. Gambar berdampingan dengan bapak, ibu walikota, buat kenangan (kebanggaan) gitu loh.

Si bungsu di SDnya, juga pernah terpilih di urutan ke dua, untuk lukisan tangannya dalam kategori keluarga dan pertanian di tingkat propinsi. Lukisannya katanya sih dinilai karena asli ‘ndeso. Si bungsu memang sering berkubang di sawah bersama nenek. Tetapi sang suami mendapat kabar ini, tidak melonjak-lonjak seperti saya. Kalem banget. Hanya bilang, “Alhamdulillah, syukur ya," wajahnya kembali tenggelam di balik koran Yomiuri.

Ketika saya mendesaknya untuk memberi hadiah, Ia keluar rumah sebentar naik sepeda, tak lama kembali membawa segenggam es krim teh hijau mungil, sebagai hadiah untuk si bungsu, harganya 205 yen saja. Padahal saya berencana membelikan palet yang bagus untuk menggambar.

Dari rasa kesal, akhirnya mencoba merenung, memang latar belakang kebangsaan kami berbeda. Hm..entah Indonesiana, atau keluarga saya saja yang dulu selalu ngitung-ngitung rangking. Uh, pandangan suami terasa lain untuk saya.

Pada sistem pendidikan Jepang, yang tentu menjadi prinsip hidup suami, sepertinya selalu mengutamakan keadaan sekeliling. Akan tetapi saya pun, yang berasal dari sekolah Indonesia, tidak merasa buruk di masa lalu karena pernah juga dipuji. Dan tidak terlena karena pujian, tidak menjadi sombong dan gede rasa tuh. Begitu juga teman saya yang pintar, tetap keren dalam studi!

Ingat sewaktu di SD? Kalau pengalaman saya, ibunda, tante, ataupun tetangga, suka sekali membicarakan rangking. Bahkan seorang guru pernah saya dengar memberi kabar seperti ini; “Syukur yah nak kamu rangking satu!” atau ibunda yang memberi tahu, “Selamat ya, masuk 10 besar.. nduk!”…

Mungkin saja sih buruknya; anak jadi tidak begitu tahu untuk mengempati rasa, bagaimana dengan si kawan yang kebetulan tidak bernasib baik. Di sekitar hanya terdengar gaungan; “Rangking berapa-pa-pa-pa..!” ketika semesteran atau hari ambil rapot tiba.

Kebanyakan anak asyik saja mendapat pujian, hadiah buku dan tas baru atau dihadiahi plesir ke Ancol. Bahkan teman lain ada yang berlibur ke pulau seribu, sampe merangsek nyebrang ke Santosa Island, Singapur, gara-gara naik kelas doang! Saya yah enggak lah..mungkin orangtua punya rencana lain, alias gak punya duit. Apalagi saya bukan sang juara nomor wahid..hiks.

Di sini ketika saya berkeluarga, mempunyai dua anak, tidak ada sambutan “wah” untuk rangking ketika buah hati berprestasi. Sang suami hanya bilang “ganbatta na…(sudah berjuang kamu)” Kemudian ia menambahkan, “Semua teman-teman kalian sama juga telah berjuang.” Ia mencoba menyamaratakan nilai anak-anak. Hanya berjuang saja yang dianggap sebagai nilai prestasi.

Hm…dari kejadian di atas, saya sih selalu berpikir fair saja. Di kedua perlakuan tetap ada sisi baik dan tidak, semua tergantung teknik olahan orangtua.

Untuk anak yang tidak disambut secara gemah riang, Banyak juga yang tetap cool, terus berprestasi walau tidak dielu-elukan. Tidak lantas menjadi jatuh.

Untuk anak yang disambut dengan riang, juga banyak yang semakin berprestasi. Ada sih yang menjadi pongah, atau hanya mengejar nilai. Akan tetapi lebih banyak yang bertambah pintar dan rendah hati. Dan mau membantu teman di sekitarnya.

Bagi saya, untuk menyikapi itu tetap langkah di tengah lah yang terbaik. Kalau yang seperti suami saya lakukan, adem dan sejumput senyuman atau secuil hadiah saja, oke. Dan saya datang sebagai penyeimbang membuatkan kue super enak. Memberinya palet menggambar yang bagus, atau menggelar syukuran berbagi rezeki untuk anak yatim piatu. Keduanya sah saja bukan!

Sore kemarin saya tetap saja gembira. Sambil membawa rapot keduanya, saya melonjak girang. Pipi dan kening si sulung dan adeknya sudah ramai oleh kecupan saya. “Sugoii..Barakkallah, thanks to Allah Nak!” Si Bungsu juga sudah dalam dekapan. Celemek memasak saya sambar, bergegas untuk membuatkan apple pie kesukaan mereka. Kebetulan si papa belum pulang. Jadi luapan bahagia saya, yang memang begini adanya, terlampias sudah. (end)

……..

sugoi: hebat