Saya Pun Melakukannya

Sebagai mahluk sosial, saya pribadi sangat membutuhkan seorang atau beberapa teman di setiap sesi kehidupan ini. Baik di kala saya sedang bersedih maupun saat-saat bahagia sedang menemani. Teman memang di ciptakan untuk tempat berbagi suka maupun duka.

Ketika saya merasakan sebuah kegembiraan, maka saya tidak bisa menyimpannya seorang diri. Saya memerlukan minimal seorang teman untuk meluapkan rasa gembira itu. Saya sangat senang berbagi cerita tentang hal-hal yang sedang membuncahkan dada ini, dan berharap mereka pun gembira dengan kegembiraan yang saya alami.

Bila saya mengalami sebuah kesedihan, biasanya tidak lantas menceritakan kesedihan.. Sering-kali saya berusaha untuk menyimpannya sendiri, agar tidak membuat teman terdekat saya turut dalam kesedihan saya. Saya memang selalu berusaha orang terdekatku tidak mencemaskan diriku.

Saat kesedihan memuncak, saya terpaksa harus menyerah. Perhatian seorang teman sangat saya butuhkan, untuk mencurahkan perasaan yang sedang berkabut. Teman yang akan setia mendengarkan setiap ucapan yang meluncur dari bibirku. Mereka temanku, lebih tahu bagaimana menerima semua kisah-kisahku.

Setiap kisah, apabila yang berhubungan dengan sebuah perasaan akan mudah disalurkan kepada sesama wanita. Bukan berarti suamiku, bukan tempat yang pas. Tapi, kadangkala kita sebagai wanita ingin di “dengar” sesuai kemauan kita, dan itu berarti pendengar kita harus dari jenis kita sendiri, yaitu para wanita.

Tapi yang seringkali terjadi, ternyata apa yang diinginkan tidak sesuai dengan yang direncanakan. Misalnya saya sudah menyiapkan sebuah cerita, tapi saya kedahuluan oleh mereka. mereka ternyata punya kisah sendiri, dan saya pun tentu saja hanya diam untuk mendengarkannya. Sebagai teman tentu saja saya akan mengesampingkan tujuan awalnya saya bersilaturahim, hingga sampai pulang pun saya tetap menyimpan kisah yang akan saya hamparkan padanya.

Untuk urusan berbagi perhatian, memang selayaknya harus ada. Agar ikatan antara teman terasa sebuah pertemanan yang sangat menyenangkan. Hal tersebut akan membuat orang yang berada di dalam lingkarannya, akan merasa punya tempat untuk bersandar. Tapi harapan tidak selamanya sesuai kenyataan. Pernah saya dan anak-anak sakit bergantian hingga beberapa minggu. Maka saya pun mengharapkan sapaan mereka untuk menjenguk kami.  Ternyata harapan itu tak terwujud. Kelihatannya teman yang saya harapkan itu sedang sibuk dengan segala aktifitas keseharian dan organisasi yang di gelutinya. Kedatangannya pun seperti tergesa-gesa sekali. Kedatangan mereka bagaikan hanya sebuah kewajiban. Ada pula yang lebih membuat saya miris! Yah tidak menunjukkan mukanya, tapi malahan hanya SMS! Bayangkan saja, bagaimana bisa begitu. Padahal jarak rumah tak terlalu jauh. Saya pun menerima perlakuan mereka dengan  selintasan pikiran. Karena saat itulah saya merasakan sebuah kesedihan, “dimana kedekatan kami selama ini?”

Saya pun akhirnya membuat sebuah keputusan, untuk menarik diri dari pergaulan yang telah lama terjalin. Karena  merasakan sebuah kekecewaan yang dalam akan pertemanan kami.

Bulan pun berganti. Akhirnya saya betul-betul betah untuk tidak banyak keluar dari rumah. Bila harus keluar, maka itu adalah sebuah kebutuhan. Jarang sekali saya menghadiri perbincangan sore hari ba’da Ashar di sekitar rumah. (Kebiasaan di lingkungan saya, adalah saling berkomunikasi di sore hari untuk melepas lelah sejenak sambil membawa anak-anak balita kami. )

Kekecewaan yang saya pendam, dengan terpaksa harus saya sudahi. Saya sangat menyadari kesalahan saya untuk menyimpan sebuah kecewa di hati. Karena beberapa bulan kemudian, ternyata saya pun berlaku seperti mereka.

Saat seorang kawan sakit keras dan di rawat di rumah-sakit, saya tidak sempat menjenguknya. Saya hanya bisa SMS dan mengatakan tidak sempat menjenguknya dengan berbagai alasan. Tentu saja alasan yang benar-benar membuat saya tidak bisa keluar rumah, karena anak-anak sedang tidak enak badan dan ayahnya berangkat ke luar kota.

Hati saya pun berkata :”Sekarang kamu juga melakukan apa yang tidak kamu sukai pada mereka!” Saya pun tersentak!  Merenungi apa yang sebenarnya yang telah saya pikirkan selama ini. Ternyata saya menghakimi mereka, tanpa dasar yang benar. Saya egois sekali! Sebuah sikap yang tak terpuji yang telah saya hadirkan. Padahal mereka pun ternyata punya kesibukan maupun alasan yang lain, seperti alasan saya saat itu, untuk tidak menjenguk kawan yang sakit tersebut. Saat tidak bisa menjenguk itulah, saya merasakan sebuah rasa yang tidak enak menjalar di sekujur tubuhku. Malu nian rasanya diri ini. Mempertanyakan sikap mereka, tapi akhirnya saya pun melakukannya.

Begitulah pertemanan yang terjadi pada saya. Saya yang seringkali menginginkan sebuah pertemanan sesuai dengan sudut pandangku, ternyata harus  lebih berlapang dada untuk setiap harapan yang tidak sesuai yang saya harapkan. Karena boleh jadi pada suatu saat, saya pun tidak bisa memenuhi harapan-harapan mereka.

 Kejadian yang telah saya alami itu, membuat saya sadar agar tidak cepat menarik kesimpulan atas apa pun yang terjadi pada orang sekitar kita, atau pun orang di lingkuingan kita. Berusaha untuk selalu memahami orang lain, ternyata lebih menyenangkan hati dan pikiran.

 Bukankah ada pepatah yang mengatakan, “ lebih baik tangan di atas dari pada tangan di bawah?’  Maknanya, agar kita selalu siap memberi, jangan selalu berharap menerima. Begitulah perumpamaan itu, yang dapat dijadikan sebuah pegangan, agar sadar untuk tidak ambil peduli pada seseorang yang tidak pernah memberi kita perhatian, tapi yang paling utama adalah kita memberi tanpa menunggu kapan mereka membalasnya.

 Kehidupan yang didasari untuk selalu memberi dengan ikhlas, adalah sebuah perbuatan yang pada dasarnya sangat menyejukkan hati. Dalam agama kita pun telah memberikan sebuah perintah, apabila memberi, maka memberilah secara ikhlas karena Allah Swt. Bukan karena ingin mengharapkan balasannya.

 

 31  Juli 2009

[email protected]