Tantrum

Definisi literalnya kemarahan, kemurkaan. Secara istilah mungkin begini: bagaimana seseorang mengeluarkan amarah yang hebat (untuk mencapai maksudnya). Saya persempit lagi di sini dalam lingkup tantrum balita (dan juga tantrum orang tuanya dalam menghadapi tantrum balitanya). Secara saya sedang punya kesulitan yang cukup menguji kesabaran saya dalam mendampingi si sulung 4,5 tahun.

Entah kapan mulainya sulung kami ini mulai bertantrum ria. Terasa oleh saya sih mulai adeknya lahir. Dan semenjak sulung mulai masuk TK. Tangisannya yang lumayan menjengkelkan tanpa jeda, ck bener-bener awet. Istiqamah banget sulung menangis sampai tercapai keinginannya. Hmmh, ego yang luar biasa. Saya masih menganggap itu wajar karena masa perkembangan balita memang demikian adanya. Terutama mulai umur 2 tahun. Sampai umur berapa, itu masih bervariasi. Kemungkinan besar tergantung pada bagaimana orang-tua atau pendampingnya (care taker/custody) memberikan treatmen terhadap tantrum balita ini.

Terus terang, kalau saya lagi capek fisik atau pun lagi futur ruhiyah, tantrum balita ini bener-bener membuat ‘monster’ dalam diri saya bangun. Jadi, saat si monster ini kemudian mengambil alih kendali hati terhadap semua indera saya, dia mulai mengancam sulung. Bahwa kalau sulung ga berhenti dari rengekannya, dia akan mencubitnya, atau memukulnya (tentu saja dia ga bakalan membunuhnya, kurasa). Apakah itu menghasilkan keberhasilan? Apakah ancaman-ancaman itu membuat sulung menghentikan terornya? Saya yakin Anda sudah tahu jawabannya. Tentu saja tidak. Sebaliknya, sulung makin memperkeras volume jeritannya. Oh My God! Mercy me! Allah tolong kasihani saya. Batin saya.

Memang luar biasa proses yang terjadi dalam diri saya saat itu. Di saat si monster menggerung marah dan melontarkan kata-kata yang tak cukup bijak, kata-kata yang tak diedit, sisi lain hati saya berteriak memberi peringatan. Sabar Bunda! Dia cuma seorang anak kecil. Masih 4,5 tahun. Dia bahkan ga tau mana yang benar dan mana yang salah. Jangan harapkan dia bersikap kayak kita yang udah dewasa. Maha Suci Allah yang menciptakan nafsu lawwamah pada diri manusia untuk bisa mengingatkan diri sendiri saat berbuat kesalahan.

Saya benar-benar menyadari, bahkan saat si monster lebih memegang kendali, bahwa balita memang butuh selalu diingatkan, diarahkan tentang mana yang benar, mana yang salah. Jangankan yang balita, yang dewasa saja masih harus sering diingatkan.

Tapi terkadang saya bener-bener ga bisa menahan diri lagi. Benarlah sabda Rasulullah saw. setelah perang Badar pada para sahabat, bahwa jihad yang terbesar adalah jihad melawan diri sendiri. Acap kali saya kalah melawan diri saya sendiri. Terutama dalam menundukkan kemarahan, si monster dalam diri saya. Ha ha. Saya jadi ingat suatu masa lalu, sahabat dekat saya mengatakan bahwa muka saya kalau lagi marah bener-bener kayak hantu. Mungkin lebih tepatnya kayak setan ya. Ya, saya pernah sangat marah padanya sampai gemetar badan dan suara saya saat kemarahan itu mencapai ambang batasnya. Tak heran, seseorang bisa sampai bener-bener kerasukan/kesurupan. Kondisi dimana dia tidak punya kendali apapun terhadap dirinya sendiri. Tak ingat lagi siapa dirinya. Na’udzu billahi min dzaalik. Semoga kita terlindung dari yang demikian.

Energi kemarahan kadang membuat saya takjub. Besar sekali. Sering saya coba mengalihkan energi itu pada hal lain, misal mencuci piring dan alat dapur kotor yang menggunung. Subhanallah. Bisa selesai dalam waktu yang sangat singkat. Atau untuk membuka tutup galon air minum (merk Aq atau Cl atau yang lain). Dalam kondisi normal saya akan memerlukan alat bantu, misalnya pisau, untuk mengoyak tutup plastik yang cukup tebal itu. Subhanallah, jika sedang marah saya sanggup menyentakkan tutup itu tanpa pisau. Dan hanya sekali sentak, langsung lepas. Bukan berarti saya menyukai kondisi hati saya saat marah sih.

Sekedar untuk mengilustrasikan besarnya energi marah itu saja. Jadi, jangan heran jika seseorang bahkan bisa melukai bahkan membunuh jiwa lain saat dia marah. Bila sudah gelap mata, tak bisa lagi akal sehatnya mengukur kekuatannya. Seseorang bahkan bisa membanting barang berat hingga hancur lebur. Atau dia bisa meninju pintu sampai pintu itu jebol. Apakah kondisi itu sangat familier? Jangan-jangan saya sedang membicarakan kemarahan Anda ya? Ha ha. Tak perlu malu lah. Ini sangat manusiawi. Tapi tentu saja, sebagai manusia kita diberikan panduan/tuntunan bagaimana untuk mengendalikan monster dalam diri kita ini. Beruntung kita punya Pencipta Yang Maha Pemurah, juga Penyayang. Dia mengutuskan seseorang untuk bisa memandu manusia mencapai kondisi terbaik dalam dirinya. Self control.

Tentang tantrum balita, saya tahu sekali bahwa sebenarnya saya jauh lebih beruntung dari mereka yang tantrum balitanya lebih dashyat. Pernah saya melihat balita nangis dan menggelosorkan badannya di Mall. Berteriak-teriak dan menendang-nendang ngga karuan membuat muka ibunya merah padam.

Sulung saya pun lebih over tantrumnya saat ada orang lain. Apakah itu ayahnya, atau kakek-neneknya atau orang lain di luar lingkar keluarga besar. Hanya saja, tantrumnya, alhamdulillah, tidak sampai secara fisik banget seperti balita di Mall tadi. Hanya tangis dan rengekannya jauh lebih keras dan lebih awet.

Lalu, bagaimana solusinya? Membentak dan mencubit atau memukul tentu bukan pilihan jika kita memilih ikut panduan/tuntunan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita. Saya yakin, haqqul yakin, Rasulullah saw tak sekalipun membentak balita. Kita pasti pernah merasakan diri kita mencapai versi terlembut saat hati kita tersentuh oleh suatu hal. Tapi lebih sulit mempertahankan si lembut itu saat si monster muncul, rasanya.

Solusi yang ditawarkan dalam panduan/tuntunan kita antara lain: berlindung pada Yang Maha Kuat dari kemarahan yang ditiupkan setan pada kita, berlindung dari provokasi setan yang merindu-dendam agar bisa membawa kita ke kerak jahannam.

Apa lagi? Saya membayangkan setan pun bisa terluka, bisa berdarah, tapi tentu dengan cara-cara yang syathoni lah. Dan bacaan Al-Qur’an bisa benar-benar melukai dan membuat setan berdarah-darah, dan meninggalkan kita, lari terbirit-birit dari sumber bacaan Al-Qur’an. Ayat kursiy, Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas memang terkenal sebagai ajian pelindung dari setan, tentu saja dengan cara membacanya dengan penghayatan, bukan dengan tulisan atau fotokopian yang disimpang di dompet,h cara ikat pinggang, atau dipajang di atas pintu rumah. Kalau dipajang gitu, apakah maksudnya setan disuruh untuk baca sendiri? Geli saya jadinya. Sudah pasti setan ga mau berhenti sebentar untuk baca Al-Qur’an kan.

Nah, apa lagi tuntunan untuk meredakan atau melibas sama sekali si monster dalam diri kita? Tahukah Anda, bahwa kemarahan adalah juga sebuah dosa? Bukan dosa besar memang. Tapi kalau dosa kecil ini bertumpuk-tumpuk? Bukankah akan jadi dosa yang lumayan berat? Jadi, baik sekali seandainya kita berusaha beristighfar, memohon ampun pada Yang Maha Pengampun, agar dosa-dosa kecil ini dihapus dari kita, sekaligus mengingatkan diri sendiri agar bisa menekan atau membunuh sama sekali si monster ini, seandainya mungkin.

Tuntunan lainnya lagi antara lain: Mengubah posisi badan. Jika tadinya berdiri, berusahalah untuk duduk. Jika masih terasa marah, berusaha rebah. Jika masih marah lagi, sebaiknya berwudhu’ dan shalat.

Yang sering terjadi, saat si monster muncul, kita sering terlanjur marah dan lupa untuk sekedar berlindung dari setan yang meniup-niupi dada kita. Lawan! Berusaha untuk ingat pada Allah, minta perlindungannya dari setan, dari diri kita sendiri.

Itu kira-kira solusi untuk tantrum orang tua yang menghadapi tantrum balitanya. Lalu, bagaimana mengarahkan tantrum balitanya sendiri? Hmmm, karena saya sendiri juga sedang learning by doing it, saya hanya bisa memberika alternatif yang memungkinkan, bagi saya terutama

Pernah nonton Nanny 911 di Metro TV? Sabtu, jam setengah lima sore kalau tak salah. Sering dicontohkan bagaimana sang Nanny menjinakkan tantrum balita-balita dalam keluarga-keluarga yang kesulitan dalam menangani balita mereka. Saya pun kadang habis akal memikirkan caranya sampai saya melihat cara-cara sang Nanny.

Pada dasarnya, dia akan membiarkan si balita meluapkan tantrumnya dulu. Berusaha mengajaknya bicara, kalau memungkinkan. Jika terlalu berontak dan balita mengganggu atau menyakiti orang tua atau saudaranya yang lain, maka Nanny akan menghukumnya. Menyuruhnya duduk di kursi hukuman. Hanya duduk saja di sana sampai dia diam dan bisa diajak bicara. Sering kali balita (atau anak seusia SD) berontak melarikan diri, tapi hanya untuk didudukkan lagi di kursi itu. Dan hal ini bisa butuh waktu banyak. Bisa belasan kali sampai si balita/anak menyerah, duduk diam di kursi itu. Wah, hanya menceritakannya saja, saya harus menarik napas dalam-dalam Baru setelah itu si balita/anak diajak bicara baik-baik, tanpa menyalahkan. Kita juga harus mendengarkan apa yang membuat dia kesal/marah/sedih. Kadang anak belum tahu emosi apa yang dia rasakan itu. Makanya kita perlu mengenalkanpada anak jenis-jenis emosi.

Memang bukan latihan yang gampang untuk bisa membantu anak melewati masa-masa penuh tantrum ini. Tapi bukankah memang itu tujuan Allah memberikan amanah ini pada kita? Selamat menikmati proses segala macam tantrum, dari balita, anak, remaja, hingga dewasa. Good luck