Ketika Zahra Kecil Ingin Menjadi Sebuah Laptop

“Mana mama..?” Bu Euis bertanya dengan lembut pada Zahra kecil yang manis berkerudung dengan renda indah namun nampak jelas bahwa kerudung itu terstrika dengan asal-asalan alias tidak licin. Namun kemanisan wajah Zahra yang berusia 7 tahun tidak mengurangi keinginan Bu Euis untuk menjawil pipinya sedikit.

Zahra memang anak yang manis, dan berperangai lembut, dia suka menyendiri dan bercakap-cakap sendiri entah dengan siapa di pojok kelas. Menurutnya di rumah juga bila semua orang sibuk, “aku sudah bisa mengajak semua benda becakap-cakap, ada pintu yang besar dan gagah dan melindungiku dengan tertutup kuat, ada juga tempat tidur berseprai putih yang membuatku nyaman dan selimut yang menutupiku dikala aku kedinginan. Selain itu ada juga boneka-boneka yang pastinya berbicara dan berdansa sendiri bila malam hari aku tidur, maka itu Bu Euis aku tidur cepat, seperti yang bu Euis sarankan, yaitu setelah sholat Isya, agar Zahra bisa memberi kesempatan bagi semua mainannya untuk bangun, main dan berkeliling ruangan ketika Zahra sudah tertidur.”

Zahra yang lembut hati, ingin semua mainannya memiliki kebebasan seperti dirinya, sungguh sebuah impian anak-anak, namun ada nilai positif dalam dirinya, yaitu: ingin berbagi pada yang lain.

Bu Euis maklum dan hanya tersenyum mendengar cerita Zahra. Maklum karena Zahra adalah anak tunggal tak ada saudara, kakak maupun adik. Oh ya, Zahra juga sholat Isya berjamaah dengan mainan mobil-mobilan abang yang besar, boneka beruang dan  boneka kelinci yang buntutnya sudah lepas, kemarin Zahra lem buntutnya dengan selotip.

Zahra, tidak punya siapa-siapa dirumah, mbok juga terlalu tua dan senangnya di dapur dan setelah selesai mengerjakan ini dan itu, mbok senangnya masuk kamar, kata mbok tulang mbok sakit jadi mbok senangnya dikamar yang kecil dan bau balsam. Tangan mbok juga gak enak kalau megang mainan Zahra atau bersihkan kamar, maka semuanya jadi bau bawang.

Ayah dan ibu sibuk, hari biasa pulang malam, hari libur ada pengajian, bahkan arisan, undangan dan Zahra jarang diajak, karena acaranya buat orang dewasa semua.   Ibu hanya mencium sesekali dan Ayah lebih banyak diam, ayah dan ibu tidak pernah marah, jangankan marah, ngomong saja juga jarang, sibuk sekali dengan laptop, blackberry dan handphone yang menyala terus-menerus.

“Kadang-kadang, Zahra pengen disulap jadi laptop, agar ayah sering melihat dan membawa Zahra kemana-mana, haha..”  Zahra tertawa sendiri. Dan Bu Euis mengerjapkan matanya dan menahan haru dihati, ketika membaca keinginan Zahra yang simple namun mengharukan.

Ketika itu ada pelajaran Bahasa Inggris, dan semua murid diminta menulis apa saja keinginanya dalam Bahasa Inggris sebanyak maksimal 3 kalimat. Dan kalau ada kata yang salah kata akan dibantu oleh Bu Euis, “jadi tulis saja kalau salah tidak apa apa,” demikianlah Bu Euis yang pandai memotivasi anak-anak untuk percaya diri dalam berbahasa Inggris.  Bu Euis berlinang air matanya tanpa dapat dicegah, ketika Zahra mengungkapkan keinginannya untuk menjadi sebuah laptop,“ I wish to be a laptop, to make me close to ayah, and ayah will bring me everywhere.” Zahra yang cantik ingin menjadi laptop. Agar bisa dekat dengan ayah dan dibawa kemana-mana, dilihat dengan lama, dan dibersihkan bila ada debu.

Ah, Zahra, bila ayahmu tahu, bahwa dirimu lebih berharga dari sebuah laptop, maka akan dicampakkan olehnya barang mahal itu, demi menatap anaknya lebih lama, karena dia tahu betapa berharga anaknya, yang ditangannya ada do’a dan di dalam dirinya terdapat  amal jariyah.