“Ibu tak akan marah padamu, bila kamu tidak nakal, tidak isengin adikmu dan nurut sama ibu. Kamu tahu tidak ? Ibu capek ! kamu harusnya faham, ibu dan ayah bekerja siang malam untuk dirimu. Bisa tidak kamu tidak membuat ibu marah selalu ?! Masuk kamarmu dan jangan keluar sampai besok pagi !!! Istighfar kamu !!!”
"Laa taghdob…wa lakal jannah, jangan marah ibu, surga untukmu, maafkan ahmadyabu….ai love yu…” Begitu bunyi sms yang dikirim sang anak lelaki berusia 10 tahun ini pada ibunya pada pukul 11 malam, tepat setelah ibunya merebahkan diri di peraduan dan bersiap mematikan lampu kamar.
Melelehlah airmata sang ibu membaca sms singkat yang menyentuh dari anaknya. Kemudian saya pun berfikir :
“Mengapa semua orangtua selalu ingin anaknya memahami dirinya, bahkan bebas marah, membentak dan mengeluarkan kata-kata yang mungkin menyakitkan hati si anak dan selalu merasa dirinya benar.”
Kalau aku menjadi si anak, dan aku diteriaki : “kamu harusnya faham !!!” bla bla bla… maka aku akan berkata: “aku tak faham ibu dan tak mungkin faham, bagaimana mungkin aku faham… aku belum pernah jadi orangtua, namun ayah dan ibu sudah pernah menjadi remaja seusiaku. Seharusnya ibu yang memahami aku.”
Tapi alhamdulillah hal itu tidak aku lakukan, karena teringat al qur’an surat 17 : 23 “janganlah kamu katakan ‘ah’ kepada kedua orang tuamu.” –bayangkan, mengatakan ah saja tak boleh, apalagi komplain ya ?
Dan cukuplah ALLAH Maha Mengetahui, dan semoga sms itu cukup mewakili perasaanku : Laa tagdob…walakal jannah…..(jangan marah ibu, bagimu surga).