Nama asliku panjang ada lebih dari 10 huruf, dipanggil pun susah, apalagi bila yang memanggilHillary Clinton. Itulah mengapa aku tidak hadir dan tidakdiundang ketika Hillary Clinton datang, khawatir membuatdiamalu(apalagi bila disorot kamera televisi) bila memanggil namaku yang ruwet lebih banyak huruf matinya daripada huruf hidup.
Bicara soal nama, ketika pertama kali aku menikah sudah jelas akupun tak tahu harus memanggil nama suamiku apa, maklum pernikahan kilat, terjadi di bulan Desember (musim hujan, banyak kilat, sayang Ponari belum lahir, he.he..he…). Pernikahan kilat kusebut, karena 2 minggu kenal nekat langsung melamar, dan dengan bodohnya aku mengangguk pasrah, sambil berfikir keras untuk menyelesaikan skripsiku yang tinggal 6 bab lagi. Sejenak aku teringat dengan nasib seorang kaisar dalam film “The Last Emperor” (Puyyee), ah si Puyyee juga gak pernah bikin skripsi satu bab pun, bisa jadi kaisar, kaisar china lagi, enak banget dia bisa makan mie ayam, bachang, siomay (makanan kesukaanku).
Kembali pada permasalahan nama, apakah panggil nama saja kepada suamiku, namun terlihat kurang sopan atau harus panggil bang (kok kayak abang becak depan gang rumahku) atau panggil yayang, sayang, sayur atau…ah..pusing. Dalam kebingungan akhirnya akad nikahyangmenegangkanbagisemua orang, kecuali orang hutan (orang hutan ada akad nikah gak ya?) maka akhirnya aku memanggil suamiku dengan nama kecilnya dari ibunya, dan tentu saja dengan didahului gelar “M-A-S“ Mas…..”. Dan sampai seminggu lebih, beliau berkata: ”sementara boleh panggil itu, tapi sambil mikir ya, kira-kira ada lagi gak panggilan yang enak didengar dan terlihat mesra..”
Waktu berlalu dan akhirnya, anakku pun lahir, dan setelah itu kupikir apapun permintaanku ataupun permintaan suamiku tentang panggilan yang mesra, bila ternyata anak keburu lahir, maka semua nama panggilan itu sirna, digantikan pada kepentingan pendidikan anak. Karena sempat loh, ketika anakku berusia 9 bulan dan bisa bicara, sambil memegang botol susu kosong, dia mendekati suamiku dan dengan tertatih-tatih, menarik baju suamiku dan memanggilnya : “ Mas….( sambil menunjukkan botol susunya yang kosong).
Sejak itu, suamiku dan aku memutuskan untuk memanggil bi (singkatan abi/ayah) kepada suamiku dan mi -singkatan umi kepada diriku. Sampai sekarang, setelah 14 tahun berlalu, walaupun tetap mesra ditengah huru-hara rumah tangga, aku tetap memanggil suamiku ’bi’ dan suamiku memanggil aku (walau berdua saja tanpa anak) dengan panggilan ’mii.’
As info, sempat loh, kami merasa bosan dengan panggilan abi dan umi, dan kemudian dengan semena-mena, aku memanggilnya “bang…” (entah terisnspirasi dari Siti Nurhaliza kepada suaminya datuk K yang memanggil bang Khe?! atau lagu dangdut dari radio tetangga sebelah; bang..sms..bang..). Lupa aku dapat inspirasi darimana memanggil suamiku bang setelah, akhirnya panggilan “bang“ itu kembali menjadi abi, setelah anak bungsuku mengatakan : “ ih ummi panggil abi, bang? ih umiii…najyoong…”
Kembali demi anak, aku memanggil suamiku lagi dengan abi, ABI: Aku Bangga Istriku…(Ge-Erku terpendam rapat).