Konsep Persatuan Dalam Islam (6)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ 

Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (QS. 49: 11)

Di dalam masyarakat Islami yang tinggi dan mulia, manusia hidup di dalamnya dalam kondisi aman jiwa, aman tempat tinggal, aman keluarga, dan terjaga aib mereka. Tiada ada alasan pembenaran—apapun itu—untuk melanggar kehormatan jiwa, tempat tingal, keluarga, dan aib. Bahkan, sarana penyelidikan dan penyidikan dalam sistem Islam tidak layak digunakan sebagai alat memata-matai aib orang. Karena manusia itu diperlakukan menurut aspek lahiriah mereka, dan tidak seorang pun berhak menyelidiki aspek tersembunyi mereka. Tidak seorang pun berhak memperlakukan mereka kecuali berdasarkan pelanggaran yang tampak dari mereka. Tidak seorang pun berhak menduga, atau mengira-ngira, atau bahkan mengidentifikasi bahwa mereka melakukan suatu pelanggaran secara sembunyi-sembunyi, lalu ia memata-matai untuk menangkap basah mereka! Yang bisa dilakukannya pada mereka adalah menangkap mereka karena suatu kejahatan pada saat terjadi dan terbukti. Di samping itu masih ada jaminan-jaminan lain yang diredaksikan al-Qur’an menyangkut setiap kejahatan.

Abu Dawud berkata: Abu Bakar bin Abu Syaibah bertutur kepada kami, ia berkata: Abu Mu’awiyah bertutur kepada kami, dari A’masy, dari Zaid bin Wahb, ia berkata, “Ibnu Mas’ud datang lalu ia diberitahu bahwa jenggot si fulan meneteskan khamer. Lalu Ibnu Mas’ud berkata, ‘Kita dilarang memata-matai, tetapi bila tampak sesuatu oleh kita maka kita mengambil tindakan dengannya.”

Dari Mujahid, “Janganlah kalian memata-matai, ambillah tindakan sesuai yang tampak oleh kalian, dan tinggalkan apa yang telah ditutupi Allah.”

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Dajin, sekretaris ‘Uqbah, ia berkata, “Aku berkata kepada ‘Uqbah, ‘Kita punya tetangga yang minum khamer, dan aku menempatkan petugas keamanan untuk mereka untuk menangkap mereka.’ ‘Uqbah berkata, ‘Jangan lakukan, tetapi nasihati dan ancam mereka!’” Dajin berkata, “Perintah itu telah dilaksanakan, tetapi mereka tidak berhenti.” Lalu Dajin menemui ‘Uqbah dan berkata, “Aku telah melarang mereka tetapi mereka tidak berhenti. Aku tempatkan petugas keamanan untuk menangkap mereka.’ ‘Uqbah berkata kepadanya, ‘Celaka kau! Jangan lakukan, karena aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa menutupi aib seorang mukmin, maka seolah-olah ia menghidupkan kembali anak perempuan yang dikubur hidup-hidup dari kuburannya.”

Sufyan ats-Tsauri berkata, dari Rasyid bin Sa’d, dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan, ia berkata, “Aku mendengar Nabi saw bersabda, ‘Bila kamu mencari-cari kesalahan manusia, maka kau merusak mereka, atau nyaris merusak mereka.’” Abu Darda’ ra berkata, “Itulah kalimag yang didengar Mu’awiyah ra dari Rasulullah saw yang dengannya Allah memberikan manfaat kepadanya.”

Demikianlah, nash mengambil jalannya dalam sistem praktis masyarakat Islami! Ia bukan sekedar pembinaan hati dan pembersihan kalbu, tetapi telah menjadi pagar di sekitar kehormatan, hak, dan kebebasan manusia, sehingga tidak disentuh dari jauh atau jauh, dengan sarana atau kedok apapun.

Bandingkan dimensi yang luas dan tinggi ini dengan apa yang dibangga-banggakan kampiun demokrasi, kebebasan, dan pemeliharaan hak-hak manusia setelah seribu empat ratus tahun kemudian?

Setelah itu datanglah larangan ghibah dalam sebuah kalimat yang mengagumkan, yang diciptakan al-Qur’an secara indah:

“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”

Janganlah sebagian dari kamu menggunjing sebagian yang lain! Kemudian al-Qur’an menampilkan sebuah pemandangan yang menjijikkan, bahkan bagi jiwa yang paling keras dan hati yang paling lemah sensitifitasnya. Yaitu pemandangan seseorang memakan daging saudaranya, dalam keadaan sudah mati! Kemudian al-Qur’an cepat-cepat menyatakan bahwa mereka tidak menyukai perbuatan yang membangkitkan rasa jijik ini, dan bahwa dengan demikian mereka tidak suka menggunjing!

Kemudian semua dugaan, tindakan memata-matai, dan gunjingan yang dilarang pada ayat tersebut diulas dengan gugahan rasa takwa dan isyarat terhadap yang melanggarnya agar segera bertaubat demi mencari rahmat Allah:

“Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (12)

Nash ini berjalan dalam kehidupan komunitas Muslim, sehingga ia berubah menjadi pagar yang melindungi kehormatan manusia, dan menjadi etika yang mengakar di dalam jiwa dan hati. Dalam hal ini Rasulullah saw bersikap keras, sejalan dengan gaya bahasa al-Qur’an yang mengagumkan dalam menimbulkan rasa jijik dan enggan terhadap gunjingan yang memuakkan.

Abu Dawud meriwayatkan: Al-Qa’nabi bertutur kepada kami, Abdul ‘Aziz bin Muhammad bertutur kepada kami, dari ‘Ala’, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata, “Seseorang bertanya, ‘Ya Rasulullah, apa itu ghibah?’ Beliau saw menjawab, ‘Kau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.’”

Seseorang bertanya, ‘Bagaimana menurumu seandainya pada diri saudaraku itu terdapat apa yang kukatakan?’ Beliau saw menjawab, ‘Bila pada dirinya terdapat apa yang ada kaukatakan, maka kau telah menggunjingnya. Dan bila pada dirinya tidak terdapat apa yang kaukatakan, maka kau telah mencemarkannya’” (HR. Tirmidzi, dan dinilainya shahih).

Abu Dawud berkata: Musaddad bertutur kepada kami, Yahya bertutur kepada kami, dari Sufyan, Ali bin Aqmar bertutur kepadaku, dari Abu Hudzaifah, dari ‘Aisyah ra, ia berkata, “Aku berkata kepada Nabi saw, ‘Shafiyyah itu kan demikian dan demikian.’ (Riwayat dari Musaddad, maksudnya ia pendek). Lalu Nabi saw bersabda, ‘Kau telah mengucapkan satu kalimat yang seandainya kaucampur dengan air laut, maka kalimat itu dapat memengaruhi air laut itu.’” ‘Aisyah berkata, “Aku menceritakan seseorang kepada beliau, lalu beliau saw bersabda, “Aku tidak suka menceritakan seseorang sedangkan aku punya sifat seperti ini dan ini.”

Abu Dawud meriwayatkan dengan isnadnya dari Anas bin Malik, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Ketika aku dimi’rajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka mencakari wajah dan dada mereka. Aku bertanya, ‘Siapa mereka, ya Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka itu orang-orang yang makan daging manusia dan menodai harga diri mereka.’”

Ma’iz mengakui telah berzina dengan wanita Ghamidiyyah, lalu Rasulullah saw merajam keduanya setelah keduanya mengakui dengan suka rela dan mendesak untuk membersihkan diri dari dosa. Ketika itu, Nabi saw mendengar dua orang yang salah satunya berkata kepada temannya, “Tidakkah kaulihat orang yang telah ditutupi aibnya oleh Allah, namun ia tidak tenang sebelum ia dilempari batu seperti anjing!” Kemudian Nabi saw berjalan hingga melewati sebuah bangkai keledai. Lalu beliau bersabda, “Mana fulan dan fulan? Kemarilah dan makanlah bangkai keledai ini?” Keduanya berkata, “Semoga Allah mengampunimu, ya Rasulullah! Apakah ini boleh dimakan?” Beliau saw bersabda, “Penistaan kalian terhadap saudara kalian tadi lebih menjijikkan daripada makan ini. Demi Tuhan yang menguasai jiwaku, sesungguhnya dia sekarang berada di sungai-sungai surga, berendam di dalamnya.”

Dengan solusi yang tetap dan konstan seperti inilah masyarakat Islam disucikan dan diangkat derajatnya, dan ia mencapai apa yang disebut “dream come true”, dan idealita terealisir dalam realitas sejarah.