Self Promotion (6)

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Bencana sebenarnya menimpa para peneliti adalah presepsi mereka bahwa realitas jahiliyah ini adalah unsur dasar, di mana agama Allah wajib menyesuaikan diri dengannya! Tetapi, perkaranya tidak demikian sama sekali. Sesungguhnya agama Allah itulah unsur dasar dimana umat manusia wajib menyesuaikan diri dengannya, serta merombak dan mengubah realitas jahiliyah mereka agar terjadi kesesuaian dimaksud. Tetapi, perombangan dan perubahan ini biasanya tidak terjadi kecuali dengan satu cara, yaitu pergerakan—dalam menghadapi jahiliyah—untuk merealisasikan uluhiyyah Allah di muka bumi dan ‘ubudiyyah-Nya semata terhadap para hamba, serta membebaskan manusia dari penghambaan terhadap thaghut, dengan menjadikan supremasi syari’at Allah semata dalam kehidupan mereka.

Pergerakan ini pasti menghadapi fitnah, gangguan, dan cobaan. Ada yang termakan fitnah, ada yang murtad, dan ada yang membenarkan janji Allah sehingga mengakhiri hidupnya sebagai syahid. Dan ada pula yang bersabar dan terus melakukan pergerakan hingga Allah membuat keputusan dengan haq antara dia dan kaumnya, dan hingga Allah memberinya kedudukan yang kuat di muka bumi. Pada saat itu sajalah sistem pemerintahan yang Islami dapat tegak, dimana para aktivis yang memperjuangkan sistem tersebut terbentuk dengan wataknya dan unik dengan nilai-nilainya.

Pada saat itulah kehidupan mereka memiliki tuntutan dan kebutuhan yang berbeda dari segi watak dan cara pemenuhannya dari kebutuhan-kebutuhan masyarakat jahiliyah, tuntutan-tuntutannya, dan cara pemenuhannya. Dalam koridor realitas masyarakat Muslim itulah hukum-hukum disimpulkan; dan fikih Islam tumbuh secara dinamis—bukan dalam ruang kosong, melainkan di tengah realitas yang definitif tuntutan, kebutuhan, dan problematikanya.

Seandainya manusia hidup dalam masyarakat Muslim dimana zakat dikumpulkan dan didistribusikan ke jalur-jalurnya, empati dan solidaritas sangat kental di antara penduduk setiap wilayah dan di antara individu-individu umat, serta kehidupan berjalan secara sederhana, tidak boros, tidak mewah, dan tidak berlomba-lomba, dan unsur-unsur kehidupan Islami lainnya, maka siapa yang bisa memberitahu kami bahwa masyarakat seperti ini akan membutuhkan perusahaan-perusahaan asuransi? Ia telah memiliki semua jaminan dan solidaritas, selain nilai-nilai dan konsepsi tersebut? Jika ia membutuhkan suatu jenis asuransi, maka siapa yang bisa memberitahu kami bahwa jenis yang dibutuhkan adalah jenis yang dikenal dalam masyarakat jahiliyah ini, yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan masyarakat jahiliyah, situasi dan kondisinya, serta nilai-nilai dan konsepsi-konsepsinya?

Begitu juga, siapa yang bisa memberitahu kami bahwa masyarakat Muslim yang melakukan pergerakan dan jihad itu akan membutuhkan program keluarga berencana, misalnya? Demikian seterusnya.
Apabila kita tidak bisa mengansumsikan dasar kebutuhan-kebutuhan masyarakat ketika ia menjadi Muslim, dan tidak pula volume kebutuhan atau bentuknya karena perbedaan struktur keanggotaan dari struktur masyarakat jahiliyah, dan karena perbedaan konsepsi, perasaan, nilai, dan kriterianya, maka mengapa kita bersusah payah berusaha merombak, mengembangkan, dan mengubah hukum-hukum yang telah terkodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang tidak diketahui, sama seperti keberadaan masyarakat Muslim itu sendiri!

Sesungguhnya titik awal labirin ini—seperti yang kami katakan—adalah asumsi bahwa masyarakat yang ada saat ini adalah masyarakat Islam, dan bahwa hukum-hukum fikih Islam akan didatangkan dari lembar-lembar kertas untuk diterapkan padanya, dengan struktur keanggotaan yang sama, serta dengan konsepsi, perasaan, nilai, dan kriteria yang sama.

Sebagaimana pangkal bencana ini adalah perasaan bahwa realitas masyarakat-masyarakat jahiliyah dan strukturnya saat ini merupakan unsur pokok dimana agama Allah wajib menyesuaikan diri dengannya, serta merobah, mengembangkan, dan mengubah hukum-hukumnya agar bisa mengejar kebutuhan-kebutuhan masyarakat ini dan berbagai problematikanya. Kebutuhan dan problematikanya yang pada dasarnya muncul dari perbedaannya dengan Islam, dan dari keluarnya kehidupan masyarakat tersebut secara keseluruhan dari bingkai Islam!

Kami kira sudah waktunya bagi Islam untuk dominan dalam jiwa para da’i-nya agar mereka tidak menjadikan Islam sekedar pelayan bagi tatanan-tatanan jahiliyah, masyarakat-masyarakat jahiliyah, dan kebutuhan-kebutuhan jahiliyah. Dan sudah waktunya mereka mengatakan kepada manusia—khususnya bagi orang-orang yang meminta fatwa kepada mereka: kalian dulu yang masuk ke dalam Islam, dan nyatakan ketundukan kalian sejak awal kepada hukum-hukumnya. Atau dengan kata lain, masuklah kalian terlebih dahulu ke dalam agama Allah, pernyataan penghambaan kalian kepada Allah semata, dan bersaksilah bahwa tiada tuhan selain Allah, dengan semua maknanya dimana iman dan Islam tidak bisa tegak kecuali dengannya. Yaitu memonopolikan uluhiyyah di muka bumi bagi Allah, seperti memonopolikan uluhiyyah di langit bagi-Nya semata; menetapkan rububiyyah-Nya—maksudnya hakimiyyah dan kekuasaan-Nya—semata dalam kehidupan manusia secara keseluruhan, menghapus rububiyyah hamba terhadap hamba lain, dengan menghapus hakimiyyah hamba terhadap hamba lain, dan penetapan aturan oleh hamba bagi hamba lain.